Saturday, May 9, 2020

Re-Read Tentang Kamu, Membaca Ulang Mutiara

Sabtu, 9 Mei 2020

di kamar gelapku, desa Nusupan saat hujan deras turun dan menerocohi kasurku.

Ini kali kedua aku membaca buku yang sama dengan ketebalan yang lumayan. Bukan buku berat memang, melainkan novel dengan bahasa yang santai, lugas, dan mudah dipahami. Alasan aku membaca buku itu untuk kedua kalinya adalah untuk mengerjakan tugas penelitianku yang mandeg beberapa lama atas novel itu, dan lainnya karena aku butuh inspirasi bacaan, pun kehidupan. Tidak salah memang jika aku menjatuhkan pilihan pada salah satu novel tebal dari penulis terkenal, Tere Liye demi kembali menggali pelajaran tentang banyak hal. Judul novel itu Tentang Kamu, dengan sampul sepatu sederhana – cenderung lusuh. Namun, isi di dalam buku itu tentu tak sesederhana sampulnya.

Pepatah lama itu benar, rasanya lebih enak mengerjakan sesuatu yang sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui. Karena selain menghemat waktu, dengan aku bisa mengerjakan tugas sekaligus mendapatkan inspirasi menulis.

Selain itu, ternyata membaca ulang buku yang sama itu tidak selalu membosankan, walaupun kita telah tahu akhirnya. Bagiku, membaca dua atau beberapa kali karya yang sama itu berbeda sama sekali dengan saat pertama kali membacanya, saat seorang pembaca belum tahu apa yang ingin disampaikan penulis, juga tentang bagaimana akhir dari karya tersebut. Namun dengan membaca ulang sebuah karya, seorang pembaca bisa naik level menjadi pengamat, peneliti. Mungkin, akan banyak bagian-bagian yang digaris bawahi atau distabilo dengan warna terang karena dirasa penting untuk dikutip. Atau mungkin juga, akan ada beberapa kata-kata yang dipikirkan lagi dengan seksama.

Saat membaca novel Tentang Kamu untuk kali kedua ini, entah kenapa dan bagaimana emosiku benar-benar teraduk, meski sebelumnya pun sama. Tapi ini lebih dalam. Aku menangis tersedu-sedu saat membaca salah satu bab pada novel tersebut. Meski hanya barisan kata-kata, ajaibnya aku juga bisa membayangkan peristiwa sedih yang berusaha penulis gambarkan. Dan benar saja, Tere Liye sukses membuat air mataku bercucuran.

Aku lupa saat kali pertama membaca novel ini aku menangis atau tidak, tapi yang jelas aku menyelesaikannya secepat kilat. Hanya sehari aku merampungkan novel setebal 500an halaman itu.

Di sisi lain aku juga belajar tentang cara penulisan sang maestro. Jujur, aku juga kagum terhadap orang-orang di balik penerbitan novel-novelnya. Nyaris tanpa cacat. Tidak ada typo atau salah ketik sama sekali, dari halaman satu sampai halaman 500 sekian. Tidak ada peristiwa ganjil atau sesuatu yang tidak bisa dilogika saat membacanya. Data yang dipakai pun sangat lengkap. Aku yakin beliau, Tere Liye sangat akurat saat melakukan riset sebelum meramunya, dan menuliskannya menjadi karya epik. Namun, pasti sulit sekali menciptakan karya seperti itu. butuh waktu bertahun-tahun dan juga banyak jam terbang, pengalaman, dan elemen-elemen lainnya untuk kemudian dikawinkan menjadi satu, dan menghasilkan karya yang tidak hanya indah, tapi juga sangat bermakna dan kaya akan nilai.

Terakhir, aku benar-benar bangga Indonesia memiliki penulis seperti beliau. Aku angkat topi untuk pak Darwis Tere Liye. Selain produktif menelurkan karya setiap tahunnya, sosoknya yang sederhana dan jarang menampilkan diri pribadi – berbicara soal kehidupan pribadinya di media sosial atu media-media lainnya membuatku iri. Sebenarnya, hidup seperti apa yang beliau jalani, hingga bisa menjadi seorang sosok hebat seperti sekarang? Memang aku belum membaca seluruh karya-karya beliau – meminjam salah satu khas tulisannya di novel Tentang Kamu, mudah-mudahan aku berkesempatan membaca seluruhnya besok lusa. Juga, karya-karya para sastrawan Indonesia, dan dunia lainnya. Semoga aku berkesempatan mengenal kehebatan mereka melalui karya-karya abadi mereka dalam bentuk tulisan, utamanya.

Dan juga, mudah-mudahan aku bisa memaksa diriku untuk menjadi pembaca yang baik dan hebat dulu, sebelum akhirnya menjadi penulis baik dan hebat kelak di kemudian hari.


NB : Sengaja aku tidak menyertakan gambar, meskipun memilikinya. Buku ini amat fenomenal sehingga mudah saja untuk mencarinya di mesin pencarian. Lagipula, terbitnya juga sudah cukup lama. Hehe.


xoxo,

Risma Ariesta

Wednesday, April 22, 2020

Sepucuk Surat Untuk Alam Semesta

Sumber : Facebook - Qureta


Nusupan, 22 April 2020.

Malam hari yang panas, setelah Isya' pukul 20.36 WIB


HAI?! Apa kabar? Sepertinya ini surat pertamaku untukmu, semesta. Mungkin, ke depannya aku akan lebih sering menulis surat-surat lain untuk menyapamu. Meski kau juga tahu, bahwa aku bicara dengan entah siapa, yang jelas aku hanya ingin menulis ini.

Hmmmm…. Fiuhhh… Ini suara napasku. Aku menariknya dalam-dalam dan membuangnya sama dalam. Rasanya, oksigen hari ini masih segar seperti biasa. Bahkan kadang-kadang, entah perasaanku saja atau memang benar, terasa lebih segar daripada yang dulu-dulu.

Baiklah, aku harus mulai dari mana, ya? Mmm.. Oh ya, aku akan sedikit bercerita sebentar. Ini tentang aku dan diriku sendiri. Mungkin juga diri banyak orang. Jadi begini, aku akan mulai membicarakan soal waktu.

Jika kukira-kira, hari saat aku menuliskan ini (22 April 2020) sudah satu bulan lamanya rupanya orang-orang di seluruh dunia hanya tinggal di rumah, dan melakukan segala sesuatu dari rumah. Kerja, ibadah, belajar, dan semua kebiasaan sehari-hari di rumah saja. Tiba-tiba pikiranku terlempar ke ingatan saat aku masih duduk di bangku sekolah. Dulu, masa libur paling lama hanyalah dua minggu, kadang bisa lebih beberapa hari, sih. Tapi rasanya sudah bosan sekali tinggal di rumah. Padahal saat masuk sekolah setiap hari, yang ada di pikiran justru liburan. (Jangan tanya aku menangi masa presiden Abdur Rachman Wahid atau tidak, karena aku juga tak pernah merasakan rasanya libur sebulan saat ramadhan, kecuali saat pandemi covid-19 ini berlangsung.) Itu berarti, aku belum terlalu tua, kan?

Kemudian bertahun-tahun setelahnya, entah bagaimana engkau, sang alam semesta berkonspirasi sehingga menyebabkan seluruh dunia lumpuh.  Maka izinkanlah aku menanyakan sesuatu padamu;

Semesta, apakah ini caramu menghukum kami?

Kami yang terlalu rakus meraup keuntungan atas kesuburanmu.

Kami yang terus mengotori alammu dengan sampah-sampah kami.

Kami yang tidak peduli pada kelestarianmu.

Lalu kemarahanmu yang tiba-tiba, menyadarkan kami betapa selama ini kami jarang bahkan tidak pernah memedulikanmu. Padahal, hidup kami jelas bergantung padamu, semesta. Engkau yang diciptakan Tuhan dengan kuasanya yang luar biasa itu jelas suatu anugerah dan nikmat yang tak terkira buat kami. Lalu, dengan sadar atau tidak, pesonamu yang indah itu melenakan diri kami. Kami tenggelam dalam debur keinginan kami sendiri terhadapmu. Kalap oleh hal-hal yang sejatinya tidak seharusnya kami nikmati sekarang.

Memang rasanya semua ini salah kami, sehingga kelalaian kami mencelakai diri kami sendiri.

Kami yang terlalu tamak mengejarmu sehingga melupakan tugas kami sendiri. Kami yang terlalu tidak ingin kehilanganmu. Kami yang terlalu percaya diri bahwa selamanya kamu memang tercipta untuk kami. Bahwa kami tidak akan kehilangan kamu. Tapi, penyakit manusia yang paling parah dan menyebalkan adalah menjadi seorang pelupa. Kami lupa akan hakikat kami hidup di dunia ini.

Lalu waktu terus berjalan mengikuti perputarannya sampai masa yang tak terbatas. Dan aku masih di sini saja dengan diriku sendiri, merenungi dan menekuri setiap peristiwa yang terjadi.

Semesta, kau pasti tahu bahwa manusia sepertiku diberi akal untuk berpikir, kan? Tapi kadang-kadang, orang sepertiku ini tidak bijak menggunakannya. Salah satunya ya ini, aku tahu aku sadar bahwa kelakuanku selama ini mungkin telah merugikan alam. Tapi apa yang akhirnya bisa kuperbuat? Setidaknya untuk diriku sendiri. Apa? Mungkin membuang sampah pada tempatnya, memungut sampah yang tidak pada tempatnya, lalu membuagnya pada tempatnya. Dan setelah itu, apa kabar dengan sampah-sampah malang itu? Berakhir ke pembuangan terakhir. Beberapa bermanfaat karena menjadi bahan penyubur tanah, didaur ulang menjadi barang baru lagi, dan tetap menjadi sampah. Beruntung jika ia bisa terurai. Jika tidak? Maka selamanya sampai sisa hidupnya yang panjang itu, ia akan tetap menjadi sampah. Tapi, yang lebih buruk adalah dibakar dan melukai lapisan ozon.

Ah, apakah belum terlambat jika sekarang aku bilang aku ingin meminta maaf?

Semesta, bagaimana bisa aku dan bangsaku terlalu jahat padamu?

Lalu saat wabah yang orang-orang sebut dengan covid-19 datang ke dunia kita, harus kunamai apa hubungan kita setelahnya?

Friday, March 1, 2019

Tantangan RCO - Puisi



Pada kedalaman Nil, aku terkesima
Oleh Alexandria, aku semakin cinta
Keharuman dan ketinggian pengetahuan
selalu jadi daya tarik dan pikatmu
semakin pula ingin kumenapaki tanahmu
negeri Kinanah yang penuh berkah
jejak para nabi masih tersisa di sana,
terekam apik dan epik dalam runtutan sejarah
yang indah

kemudian aku tersenyum membayangkan
diriku ada bersama
para pujangga yang dulu dipuja
apalah diri ini yang hanyalah titik kecil
namun apapun itu,
tengok langkahku yag tetap bediri tegak
tunggulah aku di sungai Nil
hingga suatu saat nanti
bisa kita lihat bersama alirannya
This entry was posted in

Tantangan RCO 2 - Cerita

Pendapat saya tentang sejarah yang dipaparkan dalam buku “Sejarah Sastra Arab dari Beragam Perspektif” sangat mengapresiasi para penulis. Karena buku ini disusun oleh lebih dari satu penulis. Untuk itu, saya amat menghargai jerih payah mereka dalam menyusun hingga menyelesaikan buku ini. Karena menulis tentang sejarah pastinya membutuhkan data-data yang akurat serta benar terjadi pada masanya. Untuk itu, saya yakin bahwa para penulis telah melakukan riset yang cukup panjang sebelumnya.

Saya belum pernah membaca buku sejarah seperti yang sedang saya baca kali ini. Karena di dalamnya memuat pula tujuan serta materi pembelajaran, ada pula rangkuman serta latihan soal untuk menguatkan kembali ingatan pembaca agar informasi yang disampaikan senantiasa melekat di kepala. Menurut saya, buku ini bisa dikategorikan sebagai buku pelajaran dan rujukan bagi perkuliahan jurusan Sastra Arab itu sendiri. Karena sistematika penulisannya mirip sama sekali dengan buku-buku materi lain.

Selain itu, buku ini juga menyediakan kutipan-kutipan syair yang ditulis oleh penyair Arab dari berbagai zaman. Mulai dari zaman Jahiliyah sampai zaman modern. Jadi, di buku “Sejarah Sastra Arab dari Beragam Perspektif” ini tidak hanya memuat bahasa Indonesia saja sebagai bahasa pengantarnya. Namun, ada juga bertebaran bahasa Arab yang dipakai sebagai contoh syair yang pernah ditulis oleh para penyair.
Mungkin ini saja tanggapan saya terkait buku tema sejarah yang saya baca. Jika ada tambahan, mungkin bisa dipikirkan dan disunting lain waktu. Haha.
This entry was posted in

Tuesday, February 26, 2019

Curhat Day 2 - 21 Days Writing Challenge

Ini malam kedua aku hendak memposting sesuatu di blogku. Mungkin, kesannya seperti dipaksakan. Tapi memang seperti itu adanya. Aku ingin memaksakan diri untuk bisa memiliki kebiasaan menulis tanpa harus berpikir. Membiarkan jariku menari-nari di atas tuts keyboard dengan sendirinya, tanpa harus menunggu pikiran atau kata hatiku melontarkan kalimat selanjutnya.

Bahkanpun, di tulisan kali ini aku tidak tahu hendak membahas tentang apa. Sebenarnya, aku sudah menulis di catatanku untuk mengulas sedikit tentang Okky Madasari. Namun, kurasa dengan waktu yang singkat ini tidak cukup kiranya jika kubuat tulisan tentang beliau. Selain itu, aku juga baru mengenal beliau sebagai penulis melalui bukunya, Maryam yang kemarin sudah habis kubaca itu. Jujur, setelah membaca Maryam aku memiliki ketertarikan lebih untuk menggali dan menemukan buku-buku karyanya yang lain.

Meninggalkan Okky dan karya-karyanya, sebetulnya aku juga sedang belajar menulis non fiksi. Seperti artikel, esai popular, bahkan karya tulis ilmiah yang sebelumnya belum pernah kucoba.

Cerita lucu hadir saat di hari di mana aku menulis, juga merupakan hari di mana tulisanku ditolak mentah-mentah. Haha. Sakit sih, sedikit. Tapi, rasanya justru ada sesuatu dalam diriku yang meminta untuk dikeluarkan. Seolah-olah, sakit hati yang kurasakan ini adalah sakit hati positif yang entah kenapa kuyakin bisa mengantarkan langkah-langkah kecilku menyambut kebahagiaan dan keberhasilan hakiki kelak.

Kata orang bijak, kita sebagai hamba itu jangan pernah berorientasi pada hasil terlebih dahulu. Melainkan, pada manfaat yang nantinya bisa kita kontribusikan pada masyarakat atau orang-orang yang membutuhkan kita. Intinya, pada peran nyata apa yang benar-benar kita wujudkan dalam aksi nyata selama masih hidup di dunia ini.

Kebiasaanku menulis sampai melebar ke mana-mana. Entah apa yang dibahas, yang penting menulis. Katanya senang menulis tapi jarang bikin karya. Apa saja alibi dipakainya. Huh, dasar penulis pemula!

Monday, February 25, 2019

Review Buku : Setelah Membaca Okky Madasari


Judul : Maryam
Penulis : Okky Madasari
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun Tebit : 2012
Genre : Novel
Jumlah halaman : 275
ISBN : 978-979-22-8009-8
Rating : 8/10

Kemarin saya baru saja menamatkan sebuah novel epik buah karya Okky Madasari. Siapa gerangan beliau? Perempuan kelahiran 30 Oktober 1984 ini merupakan salah satu penulis sekaligus jurnalis berbakat di Indonesia. Melalui novel Maryam yang ditulisnya sebagai buku ketiga ini, Okky dinobatkan sebagai penerima penghargaan Khatulistiwa Literary Award di tahun 2012, yang kemudian berganti nama menjadi Kusala Sastra Khatulistiwa pada tahun 2014.

Pertama kali saya mengetahui tentang perempuan bernama lengkap Okky Puspa Madasari ini ialah melalui Qureta. Sebuah portal online yang membagikan informasi dari banyak penulis. Saat itu, saya menyaksikan Okky sedang menjadi pembicara di kuliah Qureta. Dalam sebuah video yang saya tonton, beliau sedang menyebutkan karya-karyanya yang terdiri dari beberapa judul novel berikut tema besar yang digarapnya.

Bagi saya, Maryam adalah masterpiece. Tak kalah dengan dua novel sebelumnya, Entrok dan Pasung Jiwa yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Menurut saya, membaca Okky Madasari seperti menggali sejarah. Pada novel Entrok ia ceritakan tentang pemerintahan totalitarianisme dan militerianisme pada zaman orde baru. Kemudian Pasung Jiwa yang mengangkat tema besar tentang LGBT. Sedangkan untuk Maryam sendiri, Okky mengulas tentang kehidupan para jama’ah Ahmadiyah yang terusir dari tempat tinggal mereka sendiri.

Maryam yang sudah habis saya baca ini, menceritakan tentang kehidupan seorang perempuan bernama Maryam yang menganut paham Ahmadi sejak dari kakeknya. Dalam novel tersebut disebutkan bahwa meskipun Islam mereka berbeda dengan Islam kebanyakan tetangga, namun keluarga mereka sudah sejak lama berbaur dengan orang-orang sekitar. Dalam urusan muamalah, mereka memang sama saja dengan masyarakat lainnya. Namun, dari segi ibadah mereka cnederung tertutup dan eksklusif. Hal ini tergambar jelas saat para Ahmadi mengadakan pengajian rutinan, shalat Jum’at di masjid golongan mereka sendiri, bahkan tuntutan bapak ibu Maryam untuk menikah dengan laki-laki Ahmadi yang dari golongan mereka sendiri.

Seiring berjalannya cerita, Maryam sang tokoh utama memulai perjalanan cintanya yang nampak manis. Bersama Gamal, laki-laki yang juga Ahmadi, Maryam merasa dirinya akan bahagia ketika kelak mereka menikah. Karena jika itu terjadi, maka bapak ibunya juga akan senang sebab mendapat menantu yang seiman. Namun ternyata Tuhan berkata lain, Gamal pergi meninggalkan keluarganya, meninggalkan imannya, meninggalkan Maryam. Ia menganggap bahwa apa yang selama ini diyakini oleh kedua orang tuanya ialah sesat.

Lantas, setelah kejadian itu Maryam yang baru saja diwisuda merantau ke Jakarta. Di sana, ia mendapatkan sebuah pekerjaan prestisius di sebuah bank dengan gaji yang lumayan. Selain itu, ia mengenal Alam yang bukan laki-laki Ahmadi, yang berniat untuk menikahinya. Saat itu bapak dan ibunya sudah memperingatkan Maryam dari awal. Jika Alam benar-benar serius ingin mempersuntingnya, maka ia harus menjadi seorang Ahmadi. Namun, justru Maryamlah yang mengambil langkah nekat untuk keluar dari imannya. Mereka menikah tanpa persetujuan bapak dan ibu Maryam. Saat itu, hanya keluarga Alamlah yang menyetujui pernikahan mereka berdua. Dengan syarat, Maryam harus kembali mengucapkan syahadat sebagai tanda ia telah keluar dari ajaran sesat. Namun, ternyata hubungan itu tidak berjalan lama hingga kandas karena perbedaan yang dimiliki Maryam dan Alam tak akan pernah bisa disatukan.

Kegagalan dalam rumah tangga tersebut membuat Maryam ingin pulang menemui keluarganya. Namun, ternyata sudah terlambat. Keluarganya tak lagi bertempat tinggal yang sama seperti dulu karena telah diusir dari rumah mereka sendiri. Intimidasi para tetangga terhadap keyakinan yang keluarga Maryam bawa membuat mereka harus meninggalkan rumah yang telah dibangun dari keringat sendiri. Seolah perjuangan sekian lama yang senantiasa mereka lakukan tidaklah berarti apa-apa karena anggapan “sesat” yang tersemat pada ajaran yang mereka imani.

Beramai-ramai para jama’ah Ahmadiyah mengungsi dengan berdesak-desakan. Mereka berbagi tempat tinggal untuk satu sama lain sampai waktu yang tidak ditentukan. Kegigihan mereka menggenggam erat keimanan meskipun dalam kondisi terpepet, nyatanya adalah klimaks yang disuguhkan penulis untuk menguatkan identitas pemeluk paham ini. Walaupun apa yang mereka yakini berbeda dari orang-orang kebanyakan, namun hubunganya dengan Tuhan sama seperti yang lainnya.


Awalnya, saya pikir novel Maryam ini hanya akan menceritakan tentang seorang Maryam dan kehidupan pribadinya. Namun lebih dari itu, ternyata penulis menggali lebih dalam sampai ke ujung tentang kisah Maryam ini. Selain itu, Maryam menurut saya ditulis dengan cara yang tak biasa, yakni menggunakan alur maju mundur tanpa ditandai oleh pemenggalan paragraf dengan spasi atau sebuah simbol tertentu. Namun demikian, pembaca tetap bisa mengikuti alur yang disajikan dengan membayangkan adegan demi adegan yang meski tak berkesinambungan, tapi tetap bisa dimengerti. Bahasa yang digunakan juga sangat renyah untuk diikuti sampai akhir cerita di novel ini habis.

Saya menggolongkan novel ini sebagai bacaan fiksi yang cukup berat karena tema yang diangkatnya. Namun dari sisi bahasanya sendiri, jujur setelah membaca Okky Madasari, imajinasi dan alam ide saya bertambah barang satu dua tingkat lebih tinggi.

Tuesday, February 19, 2019

Tantangan 2 RCO - Cerpen "Al-Ma'un"


Aroaital ladzii yukadzibu biddiin. Fa dzaalikal ladzii yadu’ul yatiim…”

Setiap sore selepas Ashar, langgar samping rumahku selalu ramai oleh anak-anak dari usia TK sampai SD yang belajar mengaji dengan Ustadz Fanani. Aku sendiri sudah hampir empat bulanan ini mengikuti pengajian bersama beliau secara rutin. Namun, selama tiga bulan terakhir Ustadz Fanani selalu mengajari kami untuk membaca dan mengupas satu surat yang sama, yakni surat Al-Ma’un.

Aku tidak tahu mengapa beliau dengan gigih bertahan pada satu surat tersebut tanpa sedikitpun hendak beranjak ke surat lain. Seusai mengaji, aku dan beberapa teman sering berbisik-bisik tentang mengapa Ustadz Fanani tidak juga mengajarkan kami untuk naik ke surat lain. Beberapa teman bahkan mengajakku untuk berhenti mengaji kepada beliau, dan memilih mengaji sendiri di rumah. Namun, aku menolak ajakan itu karena masih penasaran dengan apa sebenarnya tujuan beliau.

Akhirnya, mau tidak mau aku memberanikan diri untuk bertanya tentang apa alasan beliau sebenarnya. Walaupun ada ketakutan tersendiri di dalam hatiku saat hendak menyampaikan pertanyaan ini, namun rasa penasaranku jauh lebih besar daripada ketakutan itu. Maka dari itu, kuputuskan setelah mengaji sore nanti, akan kuputuskan untuk bertanya langsung pada Ustadz Fanani.

Benar saja, sore ini Ustadz Fanani masih belum bosan mengajarkan kami surat Al-Ma’un. Mulai dari membacanya, mengerti artinya, dan bisa memahami per kata yang dimaksud. Setelah pengajian usai, aku memberanikan diri untuk menghadap Ustadz Fanani yang belum beranjak dari tempat duduknya.

“Assalamualaikum, ustadz. Maaf sebelumnya, apakah saya boleh bertanya sesuatu?”

“Waalaikumussalam. Baik, silakan Danu! Mau bertanya apa?” Ustadz Fanani tersenyum lebar seperti biasa. Membuatku segan lantas menundukkan kepala.

“Maaf sebelumnya ustadz. Sebetulnya, saya dan teman-teman sudah dari lama ingin menyampaikan hal ini. Namun, tidak ada di antara kami yang berani menanyakan secara langsung kepada ustadz. Jadi, selama ini kami hanya berbicara di belakang ustadz saja,” jelasku. Rasanya senyuman itu menagih segala unek-unek yang tersimpan di hatiku. Hingga semua yang tadinya tak ingin dan tak perlu untuk kukatakan keluar semua dari mulutku.

“Langsung saja, Danu,” suruh Ustadz Fanani.

“Oh, yaya. Begini tadz, sebetulnya apa motivasi atau alas an Ustadz saat mengajari kami untuk selalu membaca surat Al-Ma’un berikut artinya? Padahal, hanya mengajinya selama beberapa hari saja kami sudah hafal, tadz. Jadi, kenapa ustadz tidak juga mengajari kami surat yang lain dalam Al-Qur’an?” dadaku benar-benar lega sekarang. Meskipun saat mengucapkannya hanya beberapa kali aku menatap mata Ustadz Fanani, selebihya aku hanya menundukkan kepala.

Lagi-lagi hanya senyum yang terkembang di wajah Ustadz Fanani. Sementara itu, tidak ada sanggahan atau kata-kata yang keluar dari mulut beliau selama beberapa saat. Kurasa, beliau justru lama memperhatikanku yang terus menunduk sambil menahan berbagai perasaan yang campur aduk ini.

“Begini anakku Danu. Kamu pernah tau ceritanya KH. Ahmad Dahlan pendiri organisasi Muhammadiyah itu tidak?” Ustadz Fanani memulai jawabannya dengan pertanyaan.

“Saya rasa belum, tadz,” jawabku jujur. Karena dari kecil sampai aku kelas 4 SD ini, ibu dan sekolah hanya mengajariku pelajaran agama praktis yang langsung bisa dipraktekkan seperti rukun islam, rukun iman, nama-nama serta sifat wajib dan mustahil Allah. Ajaran-ajaran yang kuterima sampai saat ini adalah ajaran umum yang ada dalam Islam. Sedangkan untuk sejarah tokoh-tokoh Islam aku belum terlalu mengetahuinya.

“Jadi, selama ini aku mengambil pelajaran KH. Ahmad Dahlan tersebut sebagai contoh untuk kuterapkan pada masa sekarang ini. Dulunya, awal beliau berdakwah ialah dengan mengkaji Surat Al-Ma’un bersama murid-muridnya. Jadi, pertanyaan seperti yang kau sampaikan tadi juga pernah ditanyakan oleh murid KH. Ahmad Dahlan sebelumnya,” Ustadz Fanani mengubah posisi duduknya menjadi berselonjor setelah tadi beliau selalu bersila. Sedangkan aku sedikit terkejut dengan apa yang beliau sampaikan.

“Lalu bagaimana jawabannya, tadz?” desakku tak sabar.

“Apakah kau sudah mengamalkan surat Al-Ma’un yang sudah kau baca dan hafal semua arti berikut tafsirnya pada hampir 100 hari itu?” Ustadz Fanani mengalahkanku dengan telak. Aku menggeleng dengan kepala masih tertunduk, dan jantung masih berdegup kencang seolah hendak melompat dari tempatnya.

“Lalu, jika nanti aku mengajarkan surat yang lain, akankah kau melupakan arti dan tafsiran ayat-ayat Al-Ma’un yang sudah kau baca itu?” daam hati aku tidak yakin bisa menjaganya. Lantas, kugelengkan kepalaku sekali lagi.

“Bagus. Jadi, kau sudah tahu jawabannya, kan kenapa aku belum mengajarkan surat lain untuk kalian? Karena bagiku, mengamalkan apa yang kita baca adalah sebuah keharusan. Maka dari itu, aku juga ingin para muridku bisa melakukan hal yang sama.” Ustadz Fanani mengakhiri penjelasannya. Ditariknya kedua kaki dari posisi selonjornya untuk kemudian berdiri. Sambil tersenyum, beliau menatapku lalu mengucap salam.

“Assalamualaikum. Aku yakin kau akan memahaminya cepat atau lambat Danu.”

“Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh. Aamiin, insyaAllah ustadz. Terima kasih,” aku masih terbengong di tempat dudukku.

Sementara bertanya dalam hati, “Bagaimana agar anak kelas empat SD ini bisa memahami secara cepat atau lambat?”
This entry was posted in