Source : dictio.id |
Dan puncak dari segalanya, adalah
ketika aku pada akhirnya berhasil diterima di jurusan Sastra Inggris di sebuah
universitas di Semarang. Saat itu, kupikir aku sudah dekat dengan tujuanku.
Menjadi sastrawan, menjadi penulis. Namun, sebuah peristiwa harus menghancurkan
mimpi itu dengan sadisnya. Meluluhlantakkan segala impian yang bahkan belum tumbuh
tunasnya. Aku gagal kuliah. Aku gagal menjemput impianku pada saat itu.
2 tahun berlalu. Rentang 2016-2018
kuhabiskan dengan penuh harap dan penantian yang tak tenang. Kupikir, itu bukan
duniaku. Aku tak nyaman berada di sana. Aku harus segera pulang dan membangun
kembali pondasi-pondasi mimpi yang belum sepenuhnya tersusun rapi. Aku seperti
terpenjara dalam ketidakberdayaan. Aku.. aku harus apa?
Perasaan-perasaan tak karuan itu pada
akhirnya berhasil aku tangkal dengan terus menulis di sosial media. Entah
dibaca banyak orang, entah segelintir orang, atau bahkan hanya aku sendiri yang
membacanya. Aku tidak peduli. Seperti balas dendam, gaji bulananku sebagai
seorang pekerja kusalurkan untuk membeli buku-buku. Sementara mereka tertimbun
saja di rak dan belum pernah kubaca sama sekali karena alasan kesibukan
bekerja. Sekian lama aku menimbun, ternyata sudah banyak juga.
Beberapa sumpah serapah sempat
diajukan karena kebiasaan baruku membeli banyak buku ini. Bahkan, sempat
kuutarakan jika nantinya aku tidak kuliah, lebih baik aku menghabiskan seluruh
uangku untuk buku-buku saja. Agar aku tetap berwawasan luas, meski pupus sudah
impianku menuntut ilmu secara langsung.
Tapi skenario Tuhan lebih indah.
Entah kekuatan dari mana yang membuatku berkeyakinan tinggi untuk pergi lebih
awal. Tentu saja dengan pembicaraan baik-baik dulu pada atasan. Dengan
pembicaraan serius yang harus aku yang menangkan. Agar aku bisa pulang. Agar
aku bisa kembali menyulam benang-benang mimpi yang sempat berserakan. Bermodal
nekat diikuti dengan riap-riap muanajat, aku memberanikan diri menguatkan hati
untuk mau dan mampu menerima segala kemungkinan. Sebaik atau seburuk apa pun pada
akhirnya, aku selalu percaya bahwa Tuhan Maha Tahu yang terbaik untukku.
Secara ajaib, aku diperbolehkan berhenti
kerja lebih cepat karena alasan jujur, dan terkesan memelas yang kubuat. 3 bulan
sebelum masa kontrakku benar-benar habis, aku pulang dengan harapan baru untuk
melanjutkan kuliah. Dimana pun tempatnya nanti, yang kupercaya adalah rencana
Tuhan selalu yang terbaik.
Keajaiban lain, ketika aku dinyatakan
berhasil diterima melalui jalur tes yang bahkan diikuti oleh ribuan mungkin,
bahkan bisa mencapai puluhan atau ratusan ribu siswa dengan berbagai latar
belakang di seluruh Indonesia. Entah bagaimana aku yang bahkan selama 2 tahun
ini jarang bahkan tak pernah menyentuh buku-buku pelajaran, bertemu dengan
guru, dan hal-hal berbau pendidikan lainnya, mampu menjadi salah satu yang
berhasil memasuki jenjang perguruan tinggi. Bersaing dengan para santri, fresh
graduate, dan orang-orang dengan latar belakang yang mungkin lebih baik
daripada aku. Sekali lagi aku percaya bahwa inilah skenario terbaik yang Tuhan
berikan padaku di waktu yang tepat.
Lalu, bagaimana bisa dari beralih
haluan dari Sastra Inggris? Kenapa harus Sastra Arab?
Jawaban yang mungkin akan melegakan
penasaranmu dan diriku sendiri adalah. Aku ingin merajut mimpi baru dengan plot
yang juga baru. Jika pun ingin menyambung plot lama sebelumnya, mungkin saja
aku justru tidak berada di posisi aku berdiri saat ini. Karena rentang waktu
dua tahun itu mampu mengubah segalanya. Jurusan Sastra Inggris sudah entah
berapa peminatnya sekarang. Setelah output akhirnya merupakan penulis sekelas Fiersa Besari atau Boy
Candra, yang tenar dengan karya-karya mereka nan mengagumkan.
Sejauh ini, aku sadar diri. Jauh-jauh
hari sudah kupersiapkan mental kalah. Aku tahu belaka seberapa adanya tingkat
kemampuanku yang sebenarnya. Kelebihan dan kekurangan yang telah Allah titipkan itu,
aku sadar betul bagaimana harus mengaturnya.
Lalu, ada apa dengan Sastra Arab? Adakah
seseorang menjadi sumber dari segala kecintaan pada Bahasa Arab?
Jangan tanya demikian, karena
jawabannya tentu saja YA. Siapa lagi kalau bukan karena Allah dan Rasul-Nya.
Bahasa Arab adalah bahasa surga. Bahasa Arab adalah bahasa kitab suci,
Al-Qur’an. Apalagi yang lebih indah dari itu semua?
Ada apa dengan Sastra Arab? Banyak
hal, dan aku yakin tidak salah masuk ke jurusan ini.
0 comments:
Post a Comment