“Pin,
nanti pulang sekolah kamu tolong antarkan kue dadar gulung sama lapis ini ke
rumah Bu Irma yang di samping sd itu, ya! Soalnya kemarin beliau katanya mau
ada hajatan di rumahnya. Terus onde-ondenya pesenan Pak Ikram yang jualan jam
itu. Tolong antarkan juga nanti, ya! Kamu pernah ke rumahnya, kan pas
silaturahim lebaran kemarin?” aku tersenyum mendengar penjelasan ibu, sambil
memasukkan beberapa buku pelajaran untuk hari ini ke dalam tas. Seperti biasa,
beliau berbicara dengan tentu saja sambil melakukan pekerjaan lain.
“Iya
ibuku tercinta. Arifin sudah catat semua perkataan ibu di kepala kok. Jangan
khawatir. Heheh,” aku mencangklong tas yang sudah kupenuhi perlengkapan sekolah
hari ini. Mematut diri di depan cermin, menyisir rambut yang baru saja
kuminyaki gasby, lalu tersenyum pada diri sendiri. Aku ganteng juga,
ya. Pikirku iseng.
“Jangan
lupa juga kamu minta uang kekurangan pembayarannya, ya. Mereka sudah kasih
DP-nya ke ibu tempo hari. Pokoknya jangan sampai lupa!” ibu menegaskan sambil
menyerahkan bungkusan plastik besar padaku.
“Iya,
bu. Nggak bakalan lupa pokoknya. Yaudah, Arifin berangkat dulu, ya.
Assalamualaikum,”aku tersenyum lagi, mencium tangan ibu, lalu bergegas untuk
berangkat sekolah.
“Waalaikumussalam.
Lho Pin, kamu nggak mau sangu, nak?”
“Eh
iya, lupa, bu. Hehe.”
“Nah,
kan belum apa-apa juga.”
***
“Makasih,
ya Pin. Kue-kue buatan ibumu selalu ludes kalau saudara ibu ada yang mertamu
ke sini. Habis enak, sih. Oh ya, ini ada sedikit buat kamu jajan, diambil ya,
Pin!” Bu Irma berceloteh sembari memasukkan amplop ke saku bajuku.
“Eh
nggak usah, bu. Saya diajarin sama ibu saya untuk tidak menerima suap. Heheh,”
kataku polos sambil nyengir.
“Lho,
kamu kira ini suap? Kan udah ibu bilang ini buat jajan kamu. Udah ambil aja,
kamu yang pinter sekolahnya nanti ya, biar bisa naikin derajat ibumu kelak. Ibu
ikhlas kok,” Bu Irma terus menyodorkan amplop yang akan kukembalikan itu.
Yasudah, daripada menolak rezeki, aku terima saja.
“MaasyaAllah,
terima kasih banyak atas doanya Bu Irma. Mudah-mudahan, doa baik juga kembali
pada ibu sekeluarga, ya. Saya pamit pulang dulu. Assalamualaikum.”
“Waalaikumussalam.
Hati-hati di jalan Pin!”
Sesampainya
di rumah, aku langsung melepas sepatuku dan membawanya ke dalam rumah setelah
mengucap salam. Sepi, seperti biasa. Ibu pasti masih berjualan di pasar. Dan
akan pulang setelah ashar menjelang maghrib nanti. Kebiasaanku setelah pulang
sekolah adalah mengerjakan pekerjaan rumah. Seperti mencuci piring, mencuci
baju, memasak, menyapu rumah, dan lainnya. Kata ibu, walaupun anak laki-laki,
tapi aku tidak boleh manja. Jika kelak aku sudah memiliki istri, maka dia
adalah istriku, bukan pembantu yang bisa kusuruh apa saja nantinya.
Selama
hampir 5 tahun ini, aku hanya tinggal berdua bersama ibu. Dan beliau sendirilah
yang membiayai kebutuhan hidup dan sekolahku yang sudah mencapai kelas 5 ini.
Aku tidak memiliki saudara kandung. Ayahku sudah meninggal ketika usiaku masih
6 tahun. Sepeninggal ayah, ibuku memilih untuk menjadi janda dan membesarkanku
sendirian.
Entah
kenapa, beliau enggan menikah lagi dengan alasan masih sangat mencintai ayah.
Aku yang masih kecil ini, tidak paham apa itu arti cinta. Yang kutahu, ibu
selalu mengajarkan untuk memberi tanpa mengharap balasan. Seperti yang selalu
beliau lakukan setiap harinya. Ketika dagangannya masih banyak tersisa, beliau
memilih membagikannya kepada orang-orang yang tak sengaja ditemuinya di jalan.
Daripada mubadzir dan dimakan sendiri, katanya. Lebih baik dibagikan ke orang
dengan niat sedekah. Ya, aku tahu itu karena setiap libur sekolah aku
mendedikasikan seluruh waktuku untuk membantu ibu berjualan di pasar.
“Eh,
ibu sudah pulang? Bagaimana hasil penjualan hari ini? Dagangan ibu laris, kan?”
tanyaku pada ibu yang langsung duduk di kursi tamu sembari meletakkan keranjang
kosong di atas meja.
“Ibu
capek sekali, nak,” wajah ibu memang selalu terlihat lelah seperti itu. Namun,
baru kali ini aku mendengarnya mengeluh.
“Mau
Arifin pijit sebelah mana?” aku menawarkan.
“Tidak
usah. Tapi, dada ibu terasa sesak sejak tadi.” ibu memegangi dadanya sambil
sesekali komat-kamit, mungkin berdzikir.
“Atau
kita ke dokter saja?” celetukku.
“Memangnya
uang ibu sebanyak apa? Kamu nggak usah neko-neko deh, Pin. Nanti juga
pasti sembuh sendiri kok. Kamu sudah sholat ashar belum? Sudah makan belum?”
tanya ibu sambil mengusap kepalaku, mengusahakan senyum dengan wajah pucatnya.
“Alhamdulillah
sudah keduanya, bu. Tapi apa nggak apa-apa ibu nggak periksa ke dokter dulu?
Arifin masih ada tabungan kok,” aku berusaha meyakinkan ibu lagi.
“Halah,
wes to. Besok juga pasti sembuh, Pin. Lagian, bulan ini kan kamu belum
bayar SPP juga, kan?”
“Iya,
sih bu. Tapi kesehatan ibu lebih penting buat Arifin.”
“Ibu
rapopo, Pin. Sudah, ya. Ibu mau ambil wudhu dulu, sebelum keburu maghrib.
Nanti seperti biasa kita sholat jamaah setelah itu baca Qur’an, ya!” aku
mengiyakan kata-kata ibu sambil membantunya berdiri.
***
Setelah
percakapan hari itu, seminggu kemudian ibuku tiba-tiba sesak napas lalu pingsan
begitu saja setelah pulang dari pasar. Kebingungan, aku menangis sambil
berteriak meminta tolong pada tetangga-tetangga sebelah rumahku. Bu Yani, yang
rumahnya tepat di samping rumahku, langsung keluar dari rumahnya dengan tergopoh-gopoh.
Pak Edi, suaminya pun sama paniknya. Karena histeris ibu pingsan, aku jadi
tidak bisa menjelaskan dengan jelas apa yang terjadi sebenarnya. Jadilah mereka
memutuskan untuk langsung membawa ibuku ke rumah sakit.
Sesampainya
di rumah sakit, ibu langsung dibawa ke IGD untuk diperiksa dokter. Aku masih
menangis. Bu Yani memelukku dan berusaha menenangkanku. Yang ada di pikiranku
saat ini, hanyalah kesembuhan ibu. Tapi, di sisi lain aku juga berpikir, dari
mana biaya rumah sakit akan kubayar? Tangisku semakin mengencang.
Setelah
diperiksa dokter, ibuku dinyatakan mengidap penyakit asma dengan tingkatan
parah menetap. Karena sudah lama dibiarkan tanpa pengobatan, penyakit ibu
menjadi semakin kritis dan perlu dirawat inap.
Awalnya,
yang mengetahui hal ini hanyalah Pak Edi dan Bu Yani saja. Namun, karena aku
terus merengek dan mendesak mereka, akhirnya mereka mau memberi tahu yang
sebenarnya.
Uang
dari mana? Pikiranku langsung tertuju ke sana. Aku tidak tahu lagi harus
meminta tolong pada siapa. Aku tidak mengenal saudara-saudara almarhum ayah. Pun
tidak mungkin meminta bantuan dari saudara-saudara ibu, karena jauhnya jarak
kami tinggal. Benar-benar tidak memungkinkan sama sekali. Ya Allah, bagaimana
ini? Aku kembali menangis, kali ini tanpa dipeluk atau ditenangkan oleh Bu Yani
atau Pak Edi.
***
“Assalamualaikum
ibuku tercinta,” aku membuka pintu ruang rawat ibu. Alhamdulillah, kata dokter
ibu sudah siuman dari pingsannya.
“Waalaikumussalam,
nak. Kamu nggak apa-apa, kan?” tanya ibu dengan suara lemah. Wajahnya pias,
namun bibirnya memaksakan seutas senyum. Selang oksigen terpasang di hidungnya
untuk alat bantu pernapasan.
“Seharusnya
Arifin yang tanya seperti itu kepada ibu,” kataku lemas. Air mataku sudah
kuhapus dan kutahan sebelum memasuki ruangan ini. Itu semua kulakukan demi
melihat senyum ibu lagi. Karena selama ini, sebenarnya aku tidak diizinkan
untuk menjadi anak yang cengeng. Tapi kali ini, aku mengingkari janjiku pada
ibu.
“Ibu
nggak apa-apa, nak. Ibu pasti sembuh nanti,” ibu mengelus kepalaku lembut,
sambil tetap tersenyum.
“Oh,
iya bu. Ibu mau dengar puisi yang Arifin buat tidak? Kemarin waktu tugas bikin
puisi, kata bu guru puisi Arifin lho yang paling bagus!” aku berusaha tersenyum
mengatakan hal ini.
“Oh,
ya? Coba ibu mau dengar!” kata ibu tertarik. Ia membetulkan posisi tidurnya.
“Baik,”
aku mulai menarik napas dalam-dalam. Mengingat-ingat puisi yang kebetulan
bertema “Ibu” yang kemarin kubuat sendiri.
Ibu
Terlalu
banyak kata yang ingin keluar dari mulutku
Jika
berbicara tentangmu
Aksaraku,
tak kan pernah cukup untuk gambarkan
Betapa
ayu dan anggunnya dirimu tanpa bermacam dandanan
Betapa
sederhana dan bersahaja lakumu bukan pencitraan
Betapa
teduh dan menenangkan sabdamu tanpa kebencian
Kamu..
malaikat berwujud perempuan yang dikirim Tuhan
Ibu
Untukmu,
lebih dari sekadar terima kasih ingin kuhaturkan
Pada
luhur budi pekerti yang selalu kauajarkan
Pun,
lebih dari sekadar terima kasih tidak terhingga
Telah
melahirkanku dengan rahimmu yang mulia
Untuk
ibuku, dari Arifin, anakmu tercinta
Aku
menyudahi pembacaan puisiku di depan ibu. Kulihat, ada genangan tipis di bawah
matanya, yang coba ia hapus. Kembali, aku mengumpulkan kekuatan, menarik nafasku
panjang, untuk mengatakan sesuatu kepada ibu.
“Aku
ingin berhenti sekolah, bu,” kataku datar tanpa melihat wajah ibu, membuang
pandanganku ke lantai. Entahlah, aku tidak tahu perubahan air muka ibu
sekarang. Tadi, kulihat ia tersenyum dan seolah hendak mengatakan sesuatu
padaku. Tapi, kupotong begitu saja. Ya Allah, ampuni aku. Maafkan aku, ibu.
“Astaghfirullah..
Kenapa? Kenapa kamu nggak mau sekolah lagi, nak? Apa karena ibu? InsyaAllah,
dengan izin Allah ibumu ini akan sembuh kembali, nak. Kamu ini masih kecil,
masih sangat panjang masa depan menantimu. Kamu harus menggapai mimpi-mimpimu.
Banggakan ibu, banggakan almarhum ayahmu. Apapun yang terjadi, kamu tetap harus
sekolah!” aku semakin tertunduk, menahan tangis. Ingin menjawab perkataan ibu,
tapi yang keluar dari mulutku hanyalah suara parau.
“Arifin
mau kerja saja, bu. Bantu biaya pengobatan ibu,” susah payah aku menyusun
kata-kata tersebut untuk keluar.
“Allah
Maha Kaya, nak. Sudah, jangan terlalu dipikirkan. Jangan nangis lagi, jagoan
ibu nggak boleh nangis,” kedua tangan ibu cekatan mengangkat kepalaku, mengusap
air mata yang sudah tumpah di kedua pipiku.
***
Seperti
kata ibu, aku tetap berangkat sekolah. Tapi, tetap saja yang ada dipikiranku
hanyalah wajah ibu. Sepulang sekolah, aku sudah tidak sabar untuk segera ke
rumah sakit. Karena sudah benar-benar tidak punya uang, aku terpaksa mengambil
beberapa lembar seribuan yang masih tersisa di tabunganku untuk transportasi ke
rumah sakit.
Sesampainya
di rumah sakit, ternyata Pak RT dan beberapa tetanggaku datang menjenguk ibu.
Alhamdulillah, wajah ibu sudah sumringah seperti biasanya. Walaupun, beliau
masih menggunakan alat bantu pernapasan.
“Nah
ini dia Arifin! Panjang umur kamu, Pin. Kami semua sedang ngomongin kamu lho,
barusan!” ucap Pak RT. Aku mencium tangannya, dan beberapa orang yang ada di
sana.
“Terima
kasih Pak RT, dan semuanya yang sudah berkenan menjenguk ibu saya. Maaf, jadi
merepotkan kalian,” aku menunduk takzim.
“Tidak,
Pin. Kami datang ke sini untuk membantu kamu dan ibumu. Bapak, dan para warga
sudah sepakat untuk membantu kamu dan ibumu. Masalah biaya pengobatan ibumu,
nggak usah kamu pikirkan lagi. Dan alhamdulillah, ada salah satu donatur di
panti asuhan yang istri bapak kelola, sedang mencari anak asuh. Dan kebetulan,
bapak ingat sama kamu, Pin. Ini orangnya, namanya Pak Indra. Jadi, mulai besok
kamu jadi anak angkat Pak Indra dan keluarganya,” Pak RT memperkenalkanku
dengan seorang bapak berperawakan besar serta berkumis tebal. Tampangnya
sangar, namun senyumnya meneduhkan, batinku. Aku bingung harus bagaimana.
Antara senang atau sedih mendapat berita seperti ini.
“Lalu
ibu saya nanti sama siapa, Pak RT? Kami kan hanya tinggal berdua?” tanyaku
polos.
“Jadi
begini, nak. Mulai besok, status kamu menjadi anak angkat bapak. Semua
keperluan sekolah dan biaya kehidupanmu untuk kedepannya, akan bapak dan istri
yang tanggung. Kebetulan, kami juga hanya memiliki satu anak saja. Jadi, setiap
hari kamu tetap boleh pulang ke rumahmu. Tapi, mainlah sesekali ke rumah
bapak,” Pak Indra menjelaskan sambil mengusap kepalaku. Tidak tahu harus
bagaimana, aku hanya melirik ibu yang masih terbaring dengan senyum tulus di
wajahnya. Tak kupungkiri, matanya berkaca-kaca. Meski kepalanya
mengangguk-angguk seolah setuju.
“Ingat
kata-kata ibu yang kemarin itu, Pin. Hari ini, mungkin Allah telah mengijabah
doa-doa kita melalui Pak RT, Pak Indra, dan para warga. Ibu ikhlas, le.
Asal masa depanmu akan cerah nantinya,” setelah mendengar perkataan ibu
barusan, aku langsung berhambur memeluknya. Kembali menangis, lalu mengucap
syukur Alhamdulillah kepada Allah.
“Terima
kasih, bu!” kataku sambil mengusap sisa air mata. Kucium tangan Pak Indra dan
Pak RT dengan penuh syukur kepada Allah. Alhamdulillah.
Maka
nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?
SELESAI
0 comments:
Post a Comment