Desau angin bulan September
menerbangkan rambutku satu-satu. Sembari menikmati ayunan di tengah taman,
sedikit kudendangkan lagu-lagu rindu. Gemerisik daun di pohonan kanan-kiriku
malah berkisikan satu-satu. Hufft.
Si kulit putih. Begitu kunamai dirinya. Karena memang
kulitnya putih. Dan bukan pribumi. Darah yang mengalir padanya adalah darah
biru. Matanya bukan cokelat atau hitam, tapi kelabu. Rambutnya pun bukan hitam.
Melainkan pirang kekuningan. Aku mengenalnya sejak usia enam. Sejak pertama kali aku bisa
naik sepeda roda dua. Si kulit putih bukan anak yang sombong. Dia sangat ramah,
berwajah imut, dan pastinya tampan.
Saat itu,
kami bertemu tidak sengaja di jalanan komplek yang lengang. Aku yang baru saja
menganggap diriku mahir naik sepeda roda dua, tiba-tiba kehilangan keseimbangan
ketika tidak sengaja melintasi batu berukuran sedang. Naas, selokan disamping
kiriku telah lebih dulu menerima tubuh kecil beserta sepedaku, masuk
kedalamnya. Tangis pun menyeruak seketika. Tak nampak tanda-tanda orang yang
lewat di sana. Aku menangis, meminta tolong sampai kehsbisan kata-kata. Sampai
akhirnya, terdengar suara memekik dari belakangku.
"Ya
ampun! Adik kecil tidak apa-apa?"
Kubiarkan
tanya itu menggantubg di udara. Tanpa jawaban. Karena terlalu lama menangis,
bahkan meronta, aky jadi kehabisan suara. Nafasku tersengal. Kakiku makin
pegal. Tapi beruntung, si pemilik suara tadi segera memapahku dan sepedaku
keluar dari selokan.
Yang
terlintas dipikiranku pertama kali adalah, dia malaikat penolong yang dikirim
Tuhan untukku. Dan dia masih anak-anak, sama sepertiku. Hanya saja, kurasa aku
lebih pendek beberapa senti darinya.
#komunitasonedayonepost
#ODOP_6
0 comments:
Post a Comment