"Siapa
namanya?" Tanya ibu ketika selesai mengobati lukaku. Hanya butuh sedikit
sentuhan antiseptik, obat merah, dan sedikit plaster pada luka-luka di kaki
kiriku.
"Si
kulit putih, bu." Jawabku. Tak terasa, menyuarakan apa yang ada
dipikiranku.
"Nama
yang bagus." Kata ibu menyeringai penuh arti.
"Eh
emm.. itu bukan nama aslinya lah bu!" Protesku begitu sadar.
"Iya,
ibu tahu. Ibu hanya memujimu yang kreatif saja menamai orang sesuka hati.
Hahaha." Tawa ibu memenuhi seluruh kamarku.
Hari-hari
setelah hari itu, aku baru tahu namanya. Eduard Friederich Hartman. Hmm.
Lidahku kadang keseleo ketika mengucapkan namanya. Aku tidak bisa mengejanya
dengan benar. Kata Ed, begitu sapaan akrabku, ia mendapatkan nama itu karena
dulu, keluarga ibunya adalah kebangsaan Jerman. Tapi, ibunya lantas bermigrasi
ke Indonesia karena suatu alasan yang bahkan Ed sendiri tidak tahu.
Aku mengerti
sekarang. Jadi, mata kelabu dan rambut pirang kekuningan itu Ed dapatkan dari
ibunya. Ya, setelah hari itu berlalu, Ed memang sering main ke rumahku. Kadang
mengajariku bersepeda, atau bermain permainan lain yang membuat aku cepat akrab
dengannya. Benar, kan kataku? Dia sangat ramah dan perhatian.
Hari-hari
berlalu begitu cepatnya. Tanpa terasa, mengubah bulan, pun tahun. Aku sudah
kelas lima semester dua. Sebentar lagi kelas enam. Kata ibu, aku harus banyak
belajar dan membaca untuk bisa lulus dengan nilai yang maksimal. Ya, ibuku
selalu menanamkan hal itu padaku. Nilai lebih penting, lulus dengan baik tidak
kalah penting. Dan menjadi yang terbaik, terutama memperoleh peringkat pertama,
adalah yang terbaik. Karena aku terbiasa
dengan paradigma itu sejak kecil, aku jadi terlalu phobia mendapatkan nilai
dibawah tujuh. Dapat nilai tujuh pun, kadang hatiku merasa kecewa. Aku kurang
maksimal dalam mengejar nilai. Dan sampai pada titik ini, tujuan utamaku adalah
ingin membahagiakan ibuku ddngan menuruti semua perkataannya.
Berbeda
dengan ayah, beliau tak pernah mempermasalahkan hal-hal seperti ini. Yang
beliau bentuk dariku adalah kedisiplinan dan tepat waktu. Pun kadang juga
mengajariu kemandirian, semisal mengerjakan pekerjaan rumah tangga, seperti
mencuci piring sendiri selepas makan,
mencuci bajuku sendiri, menyapu kamar, dan pekerjaan-pekerjaanlain yang memang
harus dikerjakananak perempuan pada umumnya. Meskipun begitu, ayah dan ibuku
tetap satu tujuan. Yaitu mendidikku dengan baik. Ini yang membuatku selalu
membangga-banggakan mereka dimanapun berada. Cara mereka mendidikku sebagai
anak tunggal yang tidak manja, yang berdikari. Hanya rasa syukur kepada Tuhan
yang selalu terucap di mulut serta hati ini.
Hari itu
Sabtu, pagi hari sebelum pukul tujuh. Aku sedang bersiap hendak berangkat ke
sekolah. Tidak ada ibu yang menyisir, lalu menguncir rambutku. Pun ayah yang bersedia
mengantarku. Tidak. Aku melakukan semuanya sendirian. Termasuk berangkat
sskolah. Aku mulai benar-benar mahir bersepeda roda dua sejakdua tahun lalu.
Sejak aku duduk di bangku kelas tiga sekolah dasar. Ya, aku akui, Eduard telah
berjasa besar bagiku.
Kring kring!
Bel sepeda
Eduard. Aku nyaris hafal mati dengan bunyi itu.
#komunitasonedayonepost
# ODOP_6
0 comments:
Post a Comment