“John,
siang ini kamu ditugaskan komandan untuk menyidak kota sebelah,” kata Laz dengan nada datar. Sementara matanya masih sibuk
menatap layar komputer berisi laporan dalam bentuk excel.
“Apa? Sidak? Kota sebelah? Gila kamu. Bukankah kita
semua tahu bahwa kota tersebut sedang dalam kondisi siaga? Kenapa pula saya
harus menyidaknya?”
“Ya saya juga nggak tahu. Saya hanya menyampaikan
perintah dari komandan saja. Tidak kurang, tidak lebih. Oh ya, kalau mau protes
atau marah jangan ke saya, ya. Langsung saja kamu temui komandan Arjun,” masih
dengan nada yang teramat datar, Lazuardi seolah tidak peduli dengan esensi dari
apa yang ia sampaikan kepada John. Yang terpenting adalah ia sudah menyampaikan
pesan tersebut. Walaupun dalam keadaan yang mungkin tidak menyenangkan untuk si
penerima.
“Hmm.. Lantas siapa rekanku?”
“Tidak ada.”
“APA-APAAN!” John menggebrak meja kerja Lazuardi
dengan keras. Air mukanya mendadak merah setelah mendengar jawaban terakhir
dari rekan kerjanya tersebut.
“Sudah saya bilang. Jangan marah pada saya, saya hanya
menyampaikan,” nada datar yang konsisten Laz pertahankan, membuat John semakin
kesal. Ia lantas meninggalkan ruangan itu dengan nafas memburu bercampur debar
jantung yang tak terkendali.
Di sepanjang koridor kantor kepolisian Distrik Utara,
John memikirkan kemungkinan-kemungkinan terbaik yang bisa ia pikirkan jika
menjalankan tugas kali ini. Ia lebih suka bertugas menjinakkan bom ataupun
menangkap penjahat paling dicari sekali pun, daripada harus berhadapan dengan
wabah mematikan yang membuat pengidapnya berubah layaknya monster.
***
“Saya percaya kepadamu.”
“Lantas, apakah atas dasar kepercayaan itu bapak
menugaskan saya ke tempat rawan itu sendirian?”
“Karena kamu adalah salah satu calon yang benar-benar
saya pertimbangkan untuk menggantikan posisi saya nantinya.”
“Terima kasih atas kesempatan ini. Jujur mendapatkan
tugas langsung dari bapak adalah suatu kehormatan bagi saya. Namun untuk menjalankan
tugas ini sendirian, saya tidak tahu apakah saya sanggup atau tidak,” nada
keputusasaan tergambar jelas dari pernyataan John. Kepalanya menunduk. Jika tidak
malu dengan seragam kehormatan dan siapa yang mengutusnya, pasti ia sudah
menangis sekarang.
“Saya sangat paham posisi kamu saat ini. Namun, mau
tidak mau kamu tetap harus menerima tugas ini apapun kondisinya. Kamu harus
tetap berangkat ke kota sebelah untuk melakukan sidak.”
John tidak sanggup menatap mata komandannya. Kepalanya
masih tertunduk dengan perasaan campur aduk yang kini menguasai hatinya. Ia
hanya bisa pasrah, jika keadaannya sudah mendesak seperti ini.
“Baik. Saya anggap kamu menerima tugas ini. Oh ya,
secara khusus saya juga mengutus seseorang untuk berangkat bersamamu. Meskipun
dia perempuan, namun kamu pasti membutuhkannya untuk memecahkan teka-teki
tentang siapa yang menyebarkan wabah Menyusophia sebenarnya.”
Detik selanjutnya, John hanya bisa membelalakkan mata
melihat siapa perempuan yang akan menemani tugasnya kali ini. Segala ketakutan
yang tadi sempat dirasakannya luruh seketika, menghantam lantai.
#komunitasonedayonepost
#ODOP_6
0 comments:
Post a Comment