“Sebagai seorang sarjana Kimia, tentu tidak sulit
untukmu melakukan penelitian. Namun, di atas bayang-bayang ayah mertuamu,
bagaimana kamu bisa melakukannya?” John menatap wajah Laila yang kemudian
tertunduk sambil tersenyum kecil.
“Saya yakin kamu akan menanyakan hal itu cepat atau
lambat. Saya sengaja menyimpan klimaks cerita di akhir pertemuan kita. Tapi tenang
saja, karena kamu sudah terlanjur tahu, maka saya akan menceritakan semuanya. Ya,
semuanya tanpa terkecuali.”
“Baiklah, saya akan kembali bersabar.”
***
Suamiku,
meskipun ia nampak tidak peduli padaku, bahkan hidupnya sendiri, rupanya ia
mengetahui banyak hal. Aku dapat mengetahui informasi-informasi penting yang
kuceritakan padamu ini adalah dari racauan mulutnya dalam kondisi mabuk. Kata orang,
jika seseorang sedang dalam pengaruh alkohol, maka apapun yang ia katakan
adalah kebenaran. Aku tidak sepenuhnya percaya pada kalimat itu. Namun untuk
beberapa kasus yang suamiku bicarakan, nampaknya memang masuk akal.
Pada suatu malam pukul satu dinihari, seseorang
mengetuk pintu rumah kami dengan keras. Ya, aku yakin itu suamiku. Dengan mata
setengah terbuka, aku tergopoh-gopoh membukakan pintu. Dipanggilnya namaku
keras-keras, dan kata-kata lain yang tak ku mengerti maksudnya.
“Laila! Laila! Dari mana saja kamu baru membukakan
pintu? Dasar istri tak tau diuntung!”
“Saya ketiduran, mas. Saya pikir mas tidak akan
pulang, atau pulang pagi nanti.”
“Dasar bodoh! Cepat antar aku ke kamar!”
“Iya, mas. Kamu dari mana saja hari ini? Nampaknya banyak
sekali tempat yang kamu kunjungi.”
“Hahaha. Aku habis menemui Profesor Riyanto dan beberapa
simpanannya tadi. Ah, malam yang indah.”
“Oh, iya kah? Ada apa menemui mereka?”
“Kamu nggak perlu tahu, perempuan bodoh! Profesor
adalah partner papa dalam segala hal. Termasuk salah satu pencetus gagasan untuk
membuka kedok walikota yang sok alim itu.”
“Walikota?”
“Ya, si gendut yang merampas kebahagiaan papa dan aku.
Yang membunuh ibuku dan menyembunyikan kebusukannya dengan topeng kebaikan. Persetanlah
dengan semua itu! Aku sudah tidak peduli!”
Kepalaku pusing mendengar racauan Aldi. Terlalu banyak
teka-teki yang harus kupecahkan dalam setiap kata yang ia ucapkan. Siapa Profesor
Riyanto sebenarnya? Bagaimana bisa Pak Walikota dicap sebagai pembunuh? Entahlah.
***
“Baguslah, jika pil-pil itu bekerja dengan baik.
sekarang, giliran kita menciptakan teknologi yang lebih canggih dari sekadar
itu semua.”
“Benar, prof. Saya akan terus berusaha mengembangkan
temuan ini hingga mencapai apa yang profesor inginkan.”
“Tentu saja, kita akan mengganti seluruh manusia sok
pintar, sok tahu, dan sok alim yang ada di kota ini. Dengan begitu, aku akan
menguasai kota dengan orang-orang yang sudah terprogram pada perintahku.”
Aku mendengar sedikit pembicaraan ayah mertuaku di gazebo
dekat kolam renang bersama seorang pria berkepala botak. Dua cangkir teh yang
kubawa di nampan ini, menjadi alasanku untuk menghampiri mereka berdua.
“Ah, ya! Kenalkan, ini menantuku. Dia juga sarjana
Kimia.” ayah memperkenalkanku pada pria berkepala botak.
“Laila.” aku mengulurkan tangan setelah meletakkan dua
cangkir teh ke meja kecil di gazebo tersebut.
“Riyanto. Teman baik Felix. Ternyata anakmu punya
selera yang hebat juga, ya,”
“Haha,” ayah hanya bisa tertawa lantas melirikku yang
masih mematung. Memberi kode untuk menarik diri.
“Terima kasih, prof. Saya pamit dulu. Selamat menikmati
tehnya, ayah, prof.”
“Sama-sama nona manis.”
Tanpa menunggu apa-apa lagi aku segera meninggalkan
dua lelaki itu. Cukup risi sebenarnya mendapat perlakuan seperti itu. Aldi benar.
Walaupun seorang profesor, Riyanto memiliki tabiat yang tidak mencerminkan
tingkat pendidikannya dengan baik.
Satu lagi teka-teki yang harus aku pecahkan sesegera
mungkin. Karena terburu-buru saat ingin menaiki tangga menuju kamar, aku
terjatuh. Lututku seolah menyentuh sebuah tombol rahasia yang terdapat di
lantai tangga. Hingga sebuah jalan rahasia menuju sebuah ruangan terbuka dengan
sendirinya.
#komunitasonedayonepost
#ODOP_6
0 comments:
Post a Comment