“Apa yang bisa diharapkan dari seorang pengangguran sepertiku? Tidak
ada! Kalaupun kamu tidak sanggup menghadapi kemelaratan keluarga kita,
sebaiknya cari saja laki-laki lain yang mau memberikan segala apa yang kamu
minta!”
“Kamu terlalu sensitif, mas! Bukan itu yang kumaksudkan. Aku memintamu
bekerja, karena tanggung jawab seorang kepala keluarga adalah menafkahi lahir
dan batin. Jika kegiatanmu hanya duduk diam sambil merokok di teras seperti
ini, maka secara tidak langsung kamu sudah mendzalimi hakku dan Nurma sebagai
seorang yang harus kamu nafkahi!”
“Kenapa tidak kamu saja yang bekerja untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari? Toh, diamku juga untuk menunggu pesanan lukisan.”
“Lantas, sampai kapan harus menunggu? Kita sudah tidak memiliki
persediaan beras lagi untuk makan besok. Apakah saya harus memasak batu?”
“Jaga bicaramu! Setidaknya, hormatilah aku sebagai suami yang harus
kau taati!”
“Sudahlah mas, aku muak dengan segala alasanmu! Lebih baik aku
pergi saja!”
“Ya, pergi saja! Carilah kehidupan yang lebih baik di luar sana!”
Nurma menyaksikan kejadian itu dibalik pintu kamarnya yang setengah
terbuka. Sejak tadi, belajarnya terganggu karena teriakan-teriakan kemarahan orang
tuanya itu. Ia tidak terlalu mengerti tentang hal apa yang sedang kedua orang
tuanya perdebatkan. Usianya masih terlalu kecil untuk tahu. Yang jelas, ia
memegang teguh perkataan ibunya untuk mencerdaskan dirinya sendiri terlebih
dahulu. Agar kelak jika ia besar, bisa menikah dengan laki-laki yang juga
terpelajar dan mampu memahami seorang perempuan dengan baik.
Namun, sekuat apapun seorang perempuan menahan perasaannya, ia pasti
akan pundung juga. Akan rapuh juga. Sudah berhari-hari sebenarnya, ibu Nurma
berusaha membagi jatah menanak nasi untuk dimakan dalam satu hari, oleh tiga
orang. Sementara itu, tabungan pribadinya juga sudah menipis untuk bertahan
hidup sehari-hari. Sedangkan uang pemberian suaminya belum juga ia terima lagi
semenjak satu bulan yang lalu.
Nurma amat tahu perjuangan ibunya untuk bisa menghidupi keluarga
mereka sendirian. Dari mulai kerja serabutan, menjadi buruh cuci, dan lain
sebagainya. awalnya, Nurma pikir ibu melakukannya dengan senang hati, dan tidak
memendam kekesalan pada ayahnya. Ternyata ia salah sangka. Setiap kekesalan
yang dipendam itu, mungkin sudah menjadi bom waktu yang meledak saat semua rasa
sakit sudah tidak sanggup ibunya rasakan sendiri.
Ayah Nurma adalah seorang pelukis yang hanya mengerjakan
pekerjaannya jika ada yang memesan lukisan. Itupun amat jarang sekali. Mengingat
orang-orang di zaman millenial ini cenderung tergantung pada benda-benda elektronik.
Lukisan pun mulai terkikis dengan adanya display layar yang bahkan bisa
menampilkan lebih dari satu gambar.
“Baik, saya pergi. Lebih dari itu, kamu pasti mengizinkan. Saya juga
akan membawa Nurma untuk ikut serta. Jika perlu, jangan cari saya lagi.”
“Pergilah! Pergi kalian! Aku tidak butuh peremuan pemalas
sepertimu!”
“Apa katamu? Sekarang siapa yang pemalas? Pantaskah seorang suami
yang masih sehat fisik dan jiwanya, membiarkan begitu saja istrinya bekerja
serabutan, siang dan malam. Sementara masih banyak pekerjaan rumah yang juga
harus kuselesaikan, sementara kau hanya tinggal ongkang kaki di teras rumah?”
“CUKUP!” suara cempreng itu memecah ketegangan pertengkaran yang
berlangsung.
“Ayah sama ibu, bisa tidak untuk tidak bertengkar terus? Sehariii
saja. Agar Nurma bisa konsentrasi belajar dan menyerap ilmu dengan baik. Nurma
capek, jika harus mendengarkan kalian berdebat,” gadis kecil itu memberanikan diri
untuk keluar dari kamarnya. Isak tangisnya sudah tak tertahankan lagi. Ia menangis
sejadinya.
Ayah dan ibunya sontak menoleh ke arah suara itu. Pandangan mereka
sama-sama iba menatap anak semata wayang mereka menangis tersedu-sedu. Sementara,
Nurma terduduk begitu saja setelah mengatakan unek-uneknya itu. Hingga tanpa
diduga, sebuah suara membuat sayatan dalam hatinya kian menganga.
“Urus saja anakmu yang cengeng itu! Kalian sama saja tidak bisa
diandalkan!” sang ayah lalu berlalu pergi begitu saja, setelah membuang puntung
rokoknya sembarangan ke lantai tanah rumah mereka.
#TantanganODOP2
#onedayonepost
#odopbatch6
#fiksi
0 comments:
Post a Comment