Usaha ayahku mengalami kebangkrutan setelah kita lulus
dari perkuliahan. Pabrik garmennya seketika gulung tikar. Ratusan pekerja di
PHK seluruhnya. Pabriknya ditutup, dan menjadi aset milik bank. Saat itu aku
teramat marah kepada orang yang tega melakukan hal tersebut pada ayahku.
Namun, seperti singa yang kehilangan aumannya, ayah
hanya bisa terdiam dengan tatapan kosong, melihat hasil dari perjuangannya
selama ini dirampas paksa begitu saja. Ibu jatuh pingsan ketika peristiwa itu
berlangsung. Sementara aku dan kedua adikku menangis tersedu-sedu, mengerubungi
jasad ibu yang tak sadarkan diri.
“Ayah! Kenapa ayah tidak melawan mereka, yah? Kenapa ayah
tidak menyuruh pengawal-pengawal kita untuk mengusir mereka? Kenapa, yah? Kenapa?”
aku berhambur ke arah ayahku. Meraung-raung sembari menarik-narik bajunya. Mengutuk
para keparat yang telah mengambil kebahagiaan dari keluarga kami.
“Kita sudah tak punya apa-apa lagi, nak. Mulailah beradaptasi
dengan kehidupan yang sebenarnya.” Ayah mengatakannya dengan ekspresi wajah
datar sama sekali. Tak ada rona kesedihan pada tiap rautnya, apalagi rona kebahagiaan.
Semuanya lenyap dalam waktu sehari.
***
Hari-hari kami tidak lagi sama seperti sebelumnya. Keluarga
kami mendadak miskin dan serba kekurangan. Boro-boro menghubungimu untuk
sekadar mengabarkan sesuatu. Untuk makan saja saat itu kami tak mampu. Selama satu
bulan ini, kami terpaksa tinggal menumpang di rumah pembantu keluarga kami dulu.
Mak Inem namanya. Usianya memang tak lagi muda. Sudah dua puluh tahun lamanya beliau
tinggal bersama kami.
Kamu pasti tahu, kan siapa beliau? Orang ketiga yang
menjadi prioritasku setelah ayah dan ibu. Sosok yang sudah kuanggap seperti nenek
sendiri, yang telah merawatku semenjak usiaku belum genap lima tahun. Ngomong-ngomong,
beliau hanya tinggal bersama cucunya di sebuah rumah sederhana di tepi kota
kita. Amat jauh dari hiruk pikuk kota.
Mak Inem menawarkan tempat tinggal sementara untuk
keluarga kami, sembari menenangkan pikiran ayah agar bisa berpikir jernih
tentang solusi yang akan diambil. Namun, ada yang berbeda pada rona wajah ayah
selama satu minggu terakhir ini. Ia menjadi lebih sering bepergian ke suatu
tempat. Berangkat fajar, pulang petang. Namun ada yang berbeda dari
kepulangannya kemarin. Dicarinya diriku yang sedang membantu Mak Inem dan Ibu
di dapur. Tiba-tiba, tubuh tegap besar itu memelukku dengan erat. Ada haru
dalam tangisannya. Ia membisikkan kata-kata yang membuatku entah harus merasa
bahagia atau bersedih.
“Terima kasih telah ada di hidup ayah, nak. Dan maafkan
ayah jika harus mengorbankanmu. Tapi, apa yang ayah lakukan semata-mata demi
kebaikan kita bersama, nak. Semoga kamu bersedia.”
“Apa maksud ayah bilang begitu? Laila tidak mengerti, yah.”
“Mulai besok ayah akan mulai bekerja di tempat kenalan
ayah dulu.”
“Wah, bagus dong, kalau begitu!”
“Iya, nak. Namun, pekerjaan itu tidak ayah dapatkan
secara gratis.”
“Lantas?”
“Kenalan ayah memintamu untuk menikah dengan anaknya.”
“Apa? Menikah? Telingaku salah mendengar, kan, yah?”
“Tidak, nak. Lusa keluarga mereka akan datang kemari. Dua
minggu kita akan menyusun rencana pesta pernikahan. Dan setelahnya, kau akan
tinggal bersama keluarga mereka.”
“Bagaimana dengan ayah, ibu, adik-adik, dan Mak Inem?”
“Tak usah kau pikirkan kami. Sebuah kata setuju darimu
saja, itu sudah lebih dari cukup untuk membuat keluarga kita kembali bangkit.”
Aku melepas pelukan ayah. Ku langkahkan kaki menuju ibu
dan Mak Inem yang sejak tadi mendengarkan dengan khidmat. Pandangan mataku tertuju
ke lantai, namun pikiranku melayang entah kemana. Johnathan. Bagaimana kabarmu
di perantauan? Masihkah kau mengingat kisah, berikut mimpi yang belum sempat kita
rajut bersama? Masih pantaskah aku mengharapkan kedatanganmu untuk menjemputku
sebagai seorang permaisuri yang akan kau persunting di kemudian hari?
***
“Hari ini seperti yang kamu ketahui, saya akhirnya
memilih jalan untuk meninggalkan kamu waktu itu. Maaf baru menjelaskan dan
menceritakan semuanya sekarang. Saya tahu selama ini kamu mencari saya. Apalagi
setelah penghargaan yang walikota berikan itu. Namun, karena saya tahu kamu
akan mencari saya, maka dari itu saya memutuskan pergi meninggalkan kota ini
untuk beberapa saat.” Laila mengakhiri ceritanya. Mereka sekarang duduk di
salah satu bangku yang terdapat di sepanjang koridor kantor polisi.
“Saya tidak menyangka, bahwa kisah kita ternyata akan
berakhir sedramatis ini. kamu benar, saya memang sempat hampir putus asa ketika
mencarimu dulu. Namun, kemudian saya melupakan segala tentangmu demi kembali
fokus pada mimpi almarhumah ibu yang belum sempat saya wujudkan kala itu. Yakni
menjadi seorang polisi. Menjadi penegak hukum di negeri ini. Haha, tampaknya kita
pernah berada di posisi yang sama,” John tertawa getir, mengikuti pandangan
Laila. Di depan mereka berdiri tiang bendera merah putih, dengan hamparan
paving luas yang menjadi lapangan upacara setiap hari Senin.
“Tapi kupikir ceritamu belum berakhir. Kamu belum
menceritakan tentang alasanmu tidak mengenakan cincin pernikahan saat ini,”
tambah John masih dengan tatapan lurus ke depan. Laila terhenyak mendengar
pernyataan itu. Ia melihat sekilas jemarinya yang tak menggunakan satu pun
perhiasan. Lantas mengepalkan tangannya
“Jangan bilang…”
“Ini adalah alasan mengapa komandan Arjun meminta saya
secara pribadi untuk menemanimu untuk bertugas ke kota sebelah.”
“Maksudmu?”
#komunitasonedayonepost
#ODOP_6
0 comments:
Post a Comment