Kata bapak, “Hidup itu seperti musafir yang sedang
dalam perjalanan menuju suatu tempat. Dunia, adalah tempat numpang minumnya.
Sebentar saja hidup di dunia ini. Lalu setelahnya, musafir kembali meneruskan
perjalanannya lagi”.
***
Tiba-tiba, aku menjadi sosok yang cengeng ketika
berbicara segala sesuatu tentang bapak. Tentang ayahku.
Sejak kecil, aku memang sudah dekat dengan bapak
daripada ibu. Sehingga bagiku, aku lebih takut dimarahi ibu daripada dimarahi
bapak. Mungkin berbanding terbalik dengan keluarga-keluarga lain. Yang mana,
bapak lebih ditakuti daripada ibu oleh anak-anaknya.
Sejak kecil pula, kedekatanku dengan bapak mulai
terjalin mesra. Selain anak pertama, aku pun merupakan anak perempuan
satu-satunya di keluarga kami. Sehingga, bapak menjadi sangat penyayang
kepadaku. Ketika masuk taman kanak-kanak, bapak selalu mengangantar jemputku
dengan sepeda balap kesayangannya. Mengantar mengaji juga setiap sorenya.
Dimana posisi dudukku di belakang kemudi bapak, dan yang didepan adalah adik
sulungku.
***
Menginjak smp, aku masih selalu diantar jemput bapak
setiap berangkat sekolah. Dengan dalih, transportasi umum terlalu rumit untuk
sampai ke sekolahku waktu itu. Meskipun, sekolahku merupakan salah satu sekolah
favorit di kotaku. Tapi, medan yang harus ditempuh untuk sampai ke sana,
memanglah cukup sulit. Sehingga, bapak mengorbankan diri, harta dan waktunya
untuk putri kecil kesayangannya ini. Sering, jika aku ada les tambahan, bapak
sudah standby di tempatnya biasa menjemputku. Kadang, beliau mengobrol
dengan bapak lain, yang juga turut menjemput anaknya. Dan malah, berteman akrab
dengan bapak temanku itu.
Tapi, sepeda balap bapak pada saat itu sudah
berevolusi menjadi sebuah motor Bravo. Motor bukan matic dengan bunyi knalpot
terkentut-kentut, yang menghasilkan asap putih tebal, ketika sudah melintas di
jalanan.
Bravo adalah motor bekas yang dibeli bapak dari hasil
penjualan sepeda balap yang sebelumnya juga ia gunakan untuk mengantar aku,
ibu, maupun adikku kemana-mana. Lalu saat kelahiran adikku yang kedua, bapak memutuskan
menjual sepeda balap kesayangannya, dan berganti menjadi motor Bravo itu,
sampai sekarang.
Aku tidak tahu, sejak kapan bapak mengikhlaskan
dirinya menjadi tukang ojeg di keluarga kami. Bedanya, beliau tak pernah
menarik uang bensin kepada kami, untuk minum sehari-hari, bagi motor tuanya
itu.
***
Menjejaki masa smk. Bukan lagi sekolah favorit yang
aku masuki. Melainkan sekolah swasta. Yang sebenarnya saja, aku tidak mau
memasukinya. Tapi, adalah kuasa Allah yang menggerakkan hati bapakku untuk
menyekolahkanku di tempat itu.
Ya, takdir menibakanku pada sebuah sekolah yang
sejatinya tidak ingin aku masuki. Sedangkan bapak, malah mendaftarkanku di
sekolah swasta itu dengan tanpa berbicara terlebih dahulu kepadaku. Sebagai
lulusan dari salah satu sekolah favorit di kotaku, gengsiku jelas lebih tinggi
dari apa pun saat itu. Haruslah sebuah sekolah favorit juga yang akan aku
masuki nantinya. Tapi, Allah berkehendak lain.
Aku mendapat legitimasi berupa surat undangan dari
sekolah swasta itu. Dengan iming-iming beasiswa gratis tidak membayar uang SPP.
Setelah kutunjukkan surat itu pada ibu bapakku, orang yang paling antusias
adalah bapak. Seakan, beliau baru saja menemukan bongkahan emas yang berharga.
Sekolah swsata itu sebenarnya tidak sejelek yang aku
bayangkan. Malah sebaliknya, gedungnya megah, bangunannya besar, dan banyak
fasilitas yang tidak kutemui di sekolahku dulu. Tapi, aku masih malas-malasan
menjalani hari-hari pertama di smk pilihan bapak itu. Masih ada
perbandingan-perbandingan tidak berarti yang dibenarkan oleh hatiku. Meskipun
begitu, bapakku tidak pernah sekalipun memadamkan semangatnya. Ia kembali
mengorbankan dirinya menjadi juru antarku berangkat sekolah. Meski saat pulang,
aku mulai bisa pulang sendiri.
Sebenarnya, aku mulai ingin berangkat sekolah dan
pulang sendiri. Tapi, selalu bapak katakan kepadaku, uang sakuku untuk ditabung
saja, atau kalau tidak untuk sedekah saja. Mungkin, hal ini juga merupakan
salah satu cara bapak untuk tetap ingin lebih dekat denganku, anaknya.
Sekolah di smk lambat laun mulai kunikmati. Meski pada
awalnya tidak kusukai. Jadi benar firman Allah pada surat Al-Baqarah di ayat
ke-216. Yang berarti, “… boleh jadi kamu menyenangi sesuatu, padahal itu tidak
baik bagimu. Dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik
bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”
Dan hari ini, ketika aku sudah menjadi alumni dari smk
swasta itu, alhamdulillah. Segala puji bagi Allah, pada hari dimana aku di
wisuda, bapakku akhirnya menyaksikan aku lulus sebagai siswa terbaik pertama di
jurusanku.
Terkadang sulit memang, mengikhlaskan diri utnuk bisa
menerima ketetapan Allah. Tapi, aku harus. Demi ridha Allah, yang merupakan
ridha orang tua, yang berarti adalah ridha bapak dan ibuku jua.
Lekat kenanganku bersama bapak. Beliau adalah sosok
laki-laki penyabar, penyayang, kuat, tidak mudah marah, pandai memasak, dan
memiliki rasa humor yang tinggi.
Tercatat hampir selama hidupku, bapaklah yang
merelakan dirinya untuk mengantarku pergi kemana-mana. Mungkin hal itulah, yang
membuatku sampai sekarang masih susah untuk mengendarai sepeda motor. Aku
terlalu bermanja diri dan mengandalkan bapak dalam hal pergi ke suatu tempat.
Aku bak tuan putri yang memiliki pengawal pribadi yang siap siaga 24 jam bahkan
lebih. Hidupku seindah itu, ketika bapak bersamaku.
***
Tapi hari ini, jarak ratusan kilometer telah
memisahkan kami. Kornea mataku tak lagi menemukan kehadirannya di sisiku.
Telingaku tak lagi mendengar suara serta petuahnya yang menyejukkan kalbu.
Tubuhku kedinginan tanpa pelukannya yang syahdu. Jiwaku kesepian tanpa
kehadirannya di sisiku.
Ah, bagaimana kabarmu
sekarang, pak?
Masihkah si Bravo setia
menemanimu kemana-mana?
Masihkah mesin bordir ‘Juki’
itu menjadi mata pencaharianmu sampai saat ini?
Seberapa banyak cucian kotor
yang harus kau cuci untuk hari ini?
Lalu, bagaimana dengan
merpati-merpati itu? Sudahkah kau memastikan makanan mereka cukup?
Setiap hari, bapak juga masih
menjemput ibu di pasar, kan? Ibu selalu pulang dengan selamat, kan?
Novar bagaimana? Adik bungsuku
yang nakal, tapi penakut itu. Apakah bapak selalu menjemputnya juga?
Sudah berapa banyak uban yang
tetap bapak biarkan tumbuh?
Seberapa lebat kumis bapak
yang mulai memutih sekarang?
Di sini aku merindukanmu, pak. Setiap hari. Aku masihlah
seorang anak yang sedang beranjak dewasa yang mencoba mandiri, dari hari ke
hari. Tanpa bimbingan dan kehadiranmu serta ibu di sisiku.
Pak, sesungguhnya sampai hari ini aku masih
menerka-nerka pelajaran apa yang ingin kalian ajarkan kepadaku. Menjauhkanku
dari pengawasanmu serta ibu, bukanlah suatu keputusan yang main-main, kan?
Ada berapa banyak pertimbangan yang dahulu kau timbang
berulang-ulang sebelum akhirnya mengizinkanku berlepas diri dari pandangan,
pengawasan serta penjagaanmu?
Aku yakin, saat memilih melepaskanku pergi, buatmu itu
adalah keputusan yang sudah kau pikirkan matang-matang dan berulang-ulang.
Jujur. Terkadang dalam hari-hari berjuang ini, entah
kenapa, justru sering kukatakan pada diri, untuk menyerah saja. Untuk berhenti
saja. Mengakhiri perjuangan ini begitu saja. Melepaskan berbagai macam
pengorbananmu dengan sia-sia. Dalam pikiranku, muncul sebuah iba kepada diri.
Yang tidak henti memenuhi hati. “Tidak apa-apa, yang penting aku bahagia,” dan
ini adalah bisikan setan. Bahagia dari mana?
Aku tahu, bekerja di Malaysia ini memang bukanlah
mimpiku. Dan mungkin juga bukan mimpimu dan ibu. Tapi, ini adalah suatu
ketetapan yang telah digariskan Allah untukku, untuk kita. Dan dengan entah
bagaimana caranya, Allah gerakkan hati kita untuk sama-sama ikhlas, merelakan
ketentuan yang telah digariskan-Nya.
Meski sering, aku berada pada titik terlemah dalam
hidupku. Pada saat aku merasa hampa, berjalan tanpa arah, tanpa seseorang yang
mampu menopangku, seseorang yang mau menyediakan bahu dan telinganya untukku
bersandar. Saat itu, aku lupa pada kebesaran Allah. Aku lupa untuk bersyukur
atas setiap nafas, penglihatan, pendengaran, nyawa, akal, pikiran, dan hati
yang Allah berikan secara percuma kepadaku. Aku kufur nikmat seketika itu pula.
Sulit bagiku untuk mengatakan kebohogan pada ibu dan
bapak. Aku tidak bisa menyembunyikan ketidak betahanku bekerja selama di
Malaysia ini. Ingin rasanya aku meronta, dan berlari dari kenyataan.
Menyalahkan keadaan yang begini adanya. Sempat ingin kukibarkan bendera putih,
tanda menyerah. Tapi, kenangan tentang bapak dan bagaimana Bravonya berjuang,
menembus kabut di pagi buta, melawan hujan saat malam mulai tiba, kembali
terputar bak film lama di kepala. Pun ibu, dengan segala macam usaha
dikerahkannya untuk berhasil membuatku mendapatkan pundi-pundi ringgit di
negara ini. Banyak yang harus mereka korbankan demi kebahagiaanku dan
kebahagiaan mereka sendiri. Sayangnya, jarang aku menyadari bahwa semua itu
benar adanya.
Tapi, kembali pada kenangan-kenangan masa lalu,
tentang perjuangan bapak dan semuanya, aku menjadi merasa berdosa kepada bapak
ibu, bahkan diriku sendiri. Jika pada perjuangan ini akhirnya aku benar-benar
berhenti, maka akan ada 3 hati yang kusakiti. Hati bapakku, ibuku, dan hatiku
sendiri.
Aku seperti menyia-nyiakan perjuangan bapak dan ibuku.
Dan dengan santainya menyia-nyiakan mimpi yang selama ini kuidam-idamkan dari
lama. Ah, benar kiranya jika tidak berhenti bapak pun ibu selalu menyemangatiku
via suara, maupun tulisan. Untuk aku menjalani hidup ini dengan penuh kesabaran
dan kesyukuran. Karena tidaklah berarti apa-apa yag kujalani selama ini, jika
pada akhirnya aku berhenti begitu saja.
Terima kasih bapak. Karena semangatmu, aku berhasil
menjejaki negeri antah berantah yang jauh dari rumah kita. Melihat semesta
ciptaan Allah yang lebih luas. Yang lebih membuatku tercengang dengan
kebesaran-Nya.
Dan untukmu ibu, doamu selalu kunanti dalam setiap
sesuatu yang pernah, akan, dan sedang kukerjakan.
Allahku, terima kasih telah Kau anugerahkan kedua
orang tua yang begitu menyayangiku. Puji syukur kuhaturkan kehadirat-Mu karena
kedua malaikat tanpa sayap-Mu itu, aku bisa melihat salah satu bagian bumi-Mu
yang Maha Luas ini.
0 comments:
Post a Comment