Tuesday, November 21, 2017

Kata Orang...

Seseorang pernah bilang padaku begini,

"Kamu sekarang di Malaysia kok tambah islami ya? Nggak kayak dulu."

atau ini

"Makanya jangan ceramah melulu yang sering ditonton. Jadi nggak tahu kan, informasi lain kayak dunia kesehatan, kecantikan, fesyen, dll."

dan begini

"Udah deh, nggak usah sok agamis. Biasa aja kali ah."

Hmmpphh.. Saat itu aku hanya bisa menarik nafasku dan tersenyum, sembari berkata dalam hati, "Ya sudahlah. Toh ini pilihanku." Selesai.

Namun seiring berlalunya hari, otakku mengendapkan beberapa pernyataan itu dan memikirkannya sampai sejauh ini. Ya, memang. Aku bukanlah tipe orang yang mudah menanggapi sesuatu secara spontan. Tidak. Melainkan, otakku memerlukan waktu untuk mencerna setiap kalimat, setiap kata, bahkan setiap maksud dari kata-kata tersebut.

Dengan kata lain, aku cukup telmi (telat mikir) ketika sedang berkomunikasi secara langsung dengan orang lain. Pun, sebenarnya aku tak terlalu mempermasalahkan tentang kepribadian diriku yang cenderung introvert, atau apapun. Selama aku nyaman dengan diriku, aku tak harus menjadi seseorang yang lain agar orang lain bisa menerimaku.

Oke, kembali pada tanggapanku untuk pernyataan-pernyataan di atas.

Untuk poin pertama, kurasa pernyataan itu tergolong seperti penyesalan. Tapi apa yang harus disesalkan? Dan kenapa harus menyesalkan?

Begini. Aku adalah seorang muslimah. Agama fitrah ketika aku dilahirkan adalah Islam. Memang, aku memiliki Islam ini tanpa kuminta. Karena sepanjang garis keturunan di keluargaku, alhamdulillah kami semua tercatat sebagai penyembah Allah Yang Maha Esa.

Jadi, kenapa aku harus malu dengan Islam yang sekarang kupeluk ini? Tidak bolehkah jika aku melekatkan kepribadianku dengannya?

Lantas, kalimat pernyataan "Sekarang kok kamu lebih islami, ya" Menjadi ganjil menurutku.

"Lho kenapa tidak? Bukankah aku seharusnya bangga? Bukankah aku seharusnya bersyukur?"

Aku jadi teringat sebuah nasehat yang pernah disampaikan Ustadz Felix Siauw dalam salah satu ceramahnya.

Kita, siapa saja kita. Yang lahir dalam keadaan orang tua kita beragama Islam, seharusnya lebih banyak bersyukur. Kenapa? Karena Allah telah memberikan kunci surga-Nya tanpa kita minta. Tak perlu kita mengucap syahadat terlebih dahulu untuk diakui menjadi seorang muslim. Karena pada hakikatnya, kita telah lahir dalam keadaan muslim, tersebab jalur keturunan dari orang tua kita.

Namun demikian, Islam memang bukanlah agama warisan. Tapi, Allah-lah yang telah memilih hati-hati kita untuk diberi petunjuk bermula dari kelahiran kita ke dunia sebagai seorang muslim pada khususnya. Tinggal keputusan kita, ingin memilih menjadi muslim yang bagimana. Yang beramal tanpa ilmu. Atau yang berilmu tanpa amal. Atau menjadi yang punya ilmu dan mengamalkan. Semua tergantung pada diri kita masing-masing.

Dan,
dan.

Secara tidak langsung, jika kita mau merenungkannya, Allah sungguh Maha Baik. Karena hidayah-Nya telah datang kepada kita tanpa kita minta. Namun, sebagian hamba kadang lupa pada hakikat dia diciptakan. Untuk apa ia hidup. Karena mungkin, mungkin. Banyak faktor yang memengaruhi. Salah satunya wahn. Cinta dunia dan takut mati. Menggerogoti hatinya sedikit demi sedikit.

Jadi kesimpulannya, aku hanya ingin katakan ini untuk kalian. "Iya, ini aku sekarang. Kalian kapan ingin jadi sepertiku?"

Untuk poin kedua, cukup sederhana. Kali ini, sanggahan datang dari analogi Ustadz Hanan Attaki. Beliau menganalogikan iman dengan baterai hp. Yang sama-sama akan low ketika terus-menerus digunakan. Dan akan full ketika sudah di isi ulang (charge).

Kita semua pastinya telah mengetahui bagaimana cara baterai hp direcharge. Namun bagaimana caranya me-recharge iman?

Datang ke majelis ilmu menjadi salah satu jawabannya. Jikapun kita tidak bisa secara langsung menghadirkan diri kita, setidaknya dengan melihat atau mendengar nasehat para asatidz dan asatidzah (ustadz & ustadzah), atau orang-orang yang paham dengan agama dan takut kepada Allah, pun cukup untuk mem-full kan kembali iman kita.

Jika baterai hp saja butuh sekali sehari untuk direcharge, lantas bagaimana dengan iman? Yang setiap saat selalu berkurang dengan kemaksiatan. Jika baterai hp ketika lowbatt saja kita sudah kebingungan mencari dimana colokan listrik berada, lantas bagaimana dengan iman?

Jadi ketika (aku misalnya) terus-terusan mendengar / melihat ceramah, nasehat tentang keagamaan, tidak ada salahnya kan? Karena aku sadar, bahwa keimananku tidaklah seperti keimanan para sahabat Rasulullah SAW yang fast charging. Sesederhana mengucap "Hasbunallah" (Cukup bagi kami Allah) saja sudah bisa membuat hati mereka begitu yakin, untuk berharap mati dalam peperangan membela agama Allah.
Sementara aku? Mendengar ceramah 1 - 2 jam yang ustadznya ngomong sampai berbusa saja, belum tentu bisa membuat imanku full charge. Namun demikian, sangatlah mudah untuk menjadikannya low.
Laa hawla walaa kuwwata illa billah.

Hari ini, kita memang hidup di zaman yang semua informasi bisa kita dapatkan dengan mudah. Ini adalah sebuah keuntungan. Namun, menjadi sebuah kerugian ketika filter dalam diri kita tidak ter-setting dengan baik. Nah, solusi untuk membuat kita mengetahui mana haq dan bathil memang hanyalah agama. Kenapa? Karena di dalamnya terdapat aturan-aturan yang dibuat oleh Sang Pencipta kita. Bukan seorang mahluk yang terfitrah memiliki sifat baik ataupun buruk. Melainkan Dzat yang paling mengetahui segala sesuatu. Dzat yang tidak memerlukan apapun, tidak hanya dunia, bahkan alam semesta dan segala isinya. Ya, Dialah Allah. Pencipta kita yang Maha Besar lagi Maha Kuasa. Maha Raja, Maha Tinggi, Maha Segala.

Ketika kesempatan dan waktu luang banyak kita gunakan untuk mencari tahu tentang ilmu-Nya, otomatis ilmu lain akan mengikuti. Coba lihat saja Al-Qur'an. Di dalamnya, terdapat solusi dari segala permasalahan untuk kita di dunia ini. Dari sains, teknologi, pergaulan, rumah tangga, dll.
Intinya begini, ketika kita hanya mencari tahu tentang sebuah ilmu kesehatan misalnya. Tanpa dilandaskan dengan agama, maka hanya sebatas itu (informasi keduniaan) yang akan kita dapatkan. Namun ketika kita turut serta melandaskannya dengan perkara akhirat, niscaya pahala pun akan dicatat oleh malaikat. Lebih menguntungkan bukan?

Untuk poin ketiga, tentang biasa saja dalam beragama. Sejauh ini, aku menyimpulkan pernyataan tersebut sebagai pernyataan yang ambigu. Sebenarnya, bagaimana yang dimaksud dengan biasa saja dalam beragama (Islam khususnya) ?

Lalu timbul pertanyaan lain. Apakah yang dimaksud biasa saja dalam agama? Dan kenapa harus biasa saja? Bagaimana seharusnya mengartikan kata 'biasa saja' untuk urusan agama ini?

Baik. Dari sini aku berhasil menarik sebuah kesimpulan versiku, tentang makna 'biasa saja'.

Pertama, mungkin yang dimaksud biasa saja adalah tidak berlebih-lebihan. Memang, apa-apa yang berlebihan memang tidak baik. Dan dalam Islam pun, ada istilah ghuluw yang artinya melebih-lebihkan. Pun demikian, masih ada saja beberapa kelompok yang melakukan hal demikian. Sebut saja kaum Khawarij yang muncul pertama kali pada zaman Ali Bin Abi Thalib. Khawarij secara harfiah berarti "Mereka yang Keluar" ialah istilah umum yang mencakup sejumlah aliran dalam Islam yang awalnya mengakui kekuasaan Ali bin Abi Thalib, lalu menolaknya. Pertama kali muncul pada pertengahan abad ke-7, terpusat di daerah yang kini ada di Irak selatan, dan merupakan bentuk yang berbeda dari Sunni dan Syi'ah. (salafy-indon-kw13.blogspot.com)

Kedua, mungkin maksudnya adalah biasa saja dalam beribadah kepada Allah. Tapi, biasa saja yang bagaimana? Jika kita membali menengok sejarah hidup Rasulullah SAW, suatu riwayat shahih telah menyebutkan bahwa, kaki beliau SAW yang mulia bahkan sampai bengkak karena seringnya lama berdiri ketika sholat malam. Mungkin ini bisa dikaitkan dengan pembahasan poin pertama. Tentang amal dan ilmu dalam Islam. Jika kita kembali pada sejarah awal Al-Qur'an diturunkan, maka akan kita dapati wahyu yang pertama kali disampaikan oleh malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW. Iqra' bismi rabbikal ladzi khalaq, dst. (Q.S Al-'Alaq : 1-5) Yang berarti, Bacalah! Dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan.

Secara tidak langsung, ayat ini memerintahkan kita untuk mencari ilmu, yaitu dengan membaca. Lantas membaca yang bagaimana? Membaca yang bermacam-macam. Bisa dengan membaca buku, jurnal, ebook, bahkan alam sekitar. Membaca tanda-tanda kekuasaan Allah dengan merenungkan hakikat untuk apa kita diciptakan. Dengan men-tadabburi alam semesta, sungguh Maha Kuasa Allah yang menciptakan segala sesuatu di dunia ini dengan sistem yang begitu luar biasa, dan tanpa sia-sia. Lalu apa hubungannya dengan maksud 'biasa saja' seperti tersebut di atas?

Menurutku,
menurutku.

Orang-orang yang tahu tentang suatu ilmu lantas mengamalkannya, berarti ia tahu hakikat kenapa ia diciptakan. Sementara orang yang tahu ilmu saja tanpa pengamalan nyata, adalah mereka yang sombong dan merasa tahu akan segala hal, lalu cukup. Sementara yang lain, yang hanya rajin mengamalkan tanpa tahu terlebih dahulu ilmunya, apakah melakukan seperti ini boleh atau tidak, diajarkan Rasullullah SAW atau tidak. Pemandu mereka adalah setan dan sudah pasti akan tersesat.

Jadi kesimpulannya, mungkin begini. Seseorang yang hanya tahu beberapa ilmu tanpa mengamalkan akan menganggap sepele hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh agama. Karena bagi mereka cukup mengetahui saja sudah lumayan, daripada tidak sama sekali. Dan mereka yang beramal pun mungkin, akan beranggapan bahwa amalan yang selama ini mereka lakukan telah lebih dari cukup untuk mengantarkan mereka memasuki surga Allah. Padahal kenyataannya, mereka tidak mengetahui dasar dari sesuatu yang selama ini telah mereka amalkan. Lalu beruntunglah orang yang punya ilmu lantas mengamalkan. Mereka mencari tahu tentang asal usul segala sesuatu, kembali kepada landasan tertinggi dalam hukum Allah. Yaitu Al-Qur'an. Menyandarkan segala perbuatannya dari sunnah yang pernah diajarkan oleh Rasulullah SAW. Tanpa menambah atau mengurangi ajaran beliau. Karena tahu, bahwa ia tidak lebih pintar daripada Rasulullah SAW.
 
Intinya, lakukan saja hablumminallah dan hamblumminannas sesuai kemampuan dari masing-masing kita saja. Dengan menyandarkan standar tertinggi ibadah, pada ajaran Rasulullah SAw berupa sunnah beliau.

Memang, tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini. Hanya saja, selalu berusaha untuk membaik, dan meminta yang terbaik kepada Allah tidak ada salahnya, kan?

Tulisan ini dibuat berdasarkan pemikiran selama berbulan-bulan. Tentu saja dengan bantuan serta petunjuk dari Allah. Maafkan apabila dalam poin-poin yang tertulis, mungkin banyak yang tidak sesuai dengan hati masing-masing kalian. Karena setiap orang memiliki sudut pandangnya masing-masing. Dan ini adalah sudut pandangku. Dimana aku ingin menyuarakan kegelisahanku selama ini di dalam senyap.

Sekian,

Risma Ariesta.
This entry was posted in