Wednesday, April 22, 2020

Sepucuk Surat Untuk Alam Semesta

Sumber : Facebook - Qureta


Nusupan, 22 April 2020.

Malam hari yang panas, setelah Isya' pukul 20.36 WIB


HAI?! Apa kabar? Sepertinya ini surat pertamaku untukmu, semesta. Mungkin, ke depannya aku akan lebih sering menulis surat-surat lain untuk menyapamu. Meski kau juga tahu, bahwa aku bicara dengan entah siapa, yang jelas aku hanya ingin menulis ini.

Hmmmm…. Fiuhhh… Ini suara napasku. Aku menariknya dalam-dalam dan membuangnya sama dalam. Rasanya, oksigen hari ini masih segar seperti biasa. Bahkan kadang-kadang, entah perasaanku saja atau memang benar, terasa lebih segar daripada yang dulu-dulu.

Baiklah, aku harus mulai dari mana, ya? Mmm.. Oh ya, aku akan sedikit bercerita sebentar. Ini tentang aku dan diriku sendiri. Mungkin juga diri banyak orang. Jadi begini, aku akan mulai membicarakan soal waktu.

Jika kukira-kira, hari saat aku menuliskan ini (22 April 2020) sudah satu bulan lamanya rupanya orang-orang di seluruh dunia hanya tinggal di rumah, dan melakukan segala sesuatu dari rumah. Kerja, ibadah, belajar, dan semua kebiasaan sehari-hari di rumah saja. Tiba-tiba pikiranku terlempar ke ingatan saat aku masih duduk di bangku sekolah. Dulu, masa libur paling lama hanyalah dua minggu, kadang bisa lebih beberapa hari, sih. Tapi rasanya sudah bosan sekali tinggal di rumah. Padahal saat masuk sekolah setiap hari, yang ada di pikiran justru liburan. (Jangan tanya aku menangi masa presiden Abdur Rachman Wahid atau tidak, karena aku juga tak pernah merasakan rasanya libur sebulan saat ramadhan, kecuali saat pandemi covid-19 ini berlangsung.) Itu berarti, aku belum terlalu tua, kan?

Kemudian bertahun-tahun setelahnya, entah bagaimana engkau, sang alam semesta berkonspirasi sehingga menyebabkan seluruh dunia lumpuh.  Maka izinkanlah aku menanyakan sesuatu padamu;

Semesta, apakah ini caramu menghukum kami?

Kami yang terlalu rakus meraup keuntungan atas kesuburanmu.

Kami yang terus mengotori alammu dengan sampah-sampah kami.

Kami yang tidak peduli pada kelestarianmu.

Lalu kemarahanmu yang tiba-tiba, menyadarkan kami betapa selama ini kami jarang bahkan tidak pernah memedulikanmu. Padahal, hidup kami jelas bergantung padamu, semesta. Engkau yang diciptakan Tuhan dengan kuasanya yang luar biasa itu jelas suatu anugerah dan nikmat yang tak terkira buat kami. Lalu, dengan sadar atau tidak, pesonamu yang indah itu melenakan diri kami. Kami tenggelam dalam debur keinginan kami sendiri terhadapmu. Kalap oleh hal-hal yang sejatinya tidak seharusnya kami nikmati sekarang.

Memang rasanya semua ini salah kami, sehingga kelalaian kami mencelakai diri kami sendiri.

Kami yang terlalu tamak mengejarmu sehingga melupakan tugas kami sendiri. Kami yang terlalu tidak ingin kehilanganmu. Kami yang terlalu percaya diri bahwa selamanya kamu memang tercipta untuk kami. Bahwa kami tidak akan kehilangan kamu. Tapi, penyakit manusia yang paling parah dan menyebalkan adalah menjadi seorang pelupa. Kami lupa akan hakikat kami hidup di dunia ini.

Lalu waktu terus berjalan mengikuti perputarannya sampai masa yang tak terbatas. Dan aku masih di sini saja dengan diriku sendiri, merenungi dan menekuri setiap peristiwa yang terjadi.

Semesta, kau pasti tahu bahwa manusia sepertiku diberi akal untuk berpikir, kan? Tapi kadang-kadang, orang sepertiku ini tidak bijak menggunakannya. Salah satunya ya ini, aku tahu aku sadar bahwa kelakuanku selama ini mungkin telah merugikan alam. Tapi apa yang akhirnya bisa kuperbuat? Setidaknya untuk diriku sendiri. Apa? Mungkin membuang sampah pada tempatnya, memungut sampah yang tidak pada tempatnya, lalu membuagnya pada tempatnya. Dan setelah itu, apa kabar dengan sampah-sampah malang itu? Berakhir ke pembuangan terakhir. Beberapa bermanfaat karena menjadi bahan penyubur tanah, didaur ulang menjadi barang baru lagi, dan tetap menjadi sampah. Beruntung jika ia bisa terurai. Jika tidak? Maka selamanya sampai sisa hidupnya yang panjang itu, ia akan tetap menjadi sampah. Tapi, yang lebih buruk adalah dibakar dan melukai lapisan ozon.

Ah, apakah belum terlambat jika sekarang aku bilang aku ingin meminta maaf?

Semesta, bagaimana bisa aku dan bangsaku terlalu jahat padamu?

Lalu saat wabah yang orang-orang sebut dengan covid-19 datang ke dunia kita, harus kunamai apa hubungan kita setelahnya?