Wednesday, December 5, 2018

Wawancara 3 : Interpretasi Bahagia dalam Bahasa Sederhana

sumber : Hipwee


Apa arti bahagia?
Mengapa harus bahagia?
Dengan siapa beroleh bahagia?
Dimana ada bahagia?
Kapan harus bahagia?
Bagaimana harus bahagia?

Pertanyaan lengkap tentang “bahagia” bisa mudah saja terhimpun dalam berbagai pertanyaan selengkap 5W+1H seperti di atas. Namun, apa sebenarnya arti bahagia itu sendiri? Apakah definisi bahagia harus selalu saklek dan leterlek dengan apa yang ada dalam pengertian ataupun pendapat-pendapat para ahli? Jawabannya mungkin bisa ya, namun mungkin juga tidak. Karena bahagia sendiri merupakan sebuah ekspresi atau perasaan yang muncul dalam diri manusia tanpa adanya paksaan sebelumnya. Namun, pasti ada pemantik yang membuat seseorang menyatakan diri bahwa ia merasa bahagia dengan keadaan, orang, waktu, benda, yang tengah ia miliki di suatu masa tertentu.

Kali ini, penulis meminta ibu dari penulis sendiri untuk menjabarkan arti bahagia menurut versi beliau, dengan bahasa yang sederhana. Maksudnya, seseorang tidak harus mencapai atau memiliki ini dan itu terlebih dahulu untuk bisa merasakan kebahagiaan hakiki dalam hidupnya. Sebagai informasi, ibu dari penulis bernama Dwi Purwati. Beliau adalah seorang ibu rumah tangga merangkap pahlawan, motivator, dan inspirasi bagi penulis untuk selalu semangat dalam menjalani hidup. Karena melalui beliaulah, ajaran-ajaran sederhana maupun pemikiran-pemikiran kritis penulis dapat tersalurkan dalam sebuah tulisan sederhada yang sedang dinikmati pembaca ini.

Baiklah, langsung saja akan penulis paparkan hasil wawancara berikut ini.

Pewawancara : Assalamualaikum, ibu apakabar? Sehat, kan?
Narasumber : Alhamdulillah, nak. Ibu baik kok. Kamu sendiri gimana di sana?

Pewawancara : Alhamdulillah, saya juga baik kok bu. Oh, ya. Ngomong-ngomong mau minta waktunya sebentar buat wawancara ya bu. Hehe.
Narasumber : Wealah, macam artis aja diwawancara. Memangnya mau buat apa, nak?

Pewawancara : Buat dijadikan bahan tulisan, bu. Temanya mudah aja kok, apa pendapat ibu tentang arti bahagia itu sendiri?
Narasumber : Wah, langsung dikasih pertanyaan nih. Emm, bahagia, ya? Mungkin bahagia itu sederhana aja. Saat kita bisa menerima dan mensyukuri apa-apa yang kita miliki ini. Segala bentuk kenikmatan yang sedang Allah titipkan kepada kita.

Pewawancara : Oalah, gitu ya, bu. Menarik-menarik. Terus, bagaimana cara kita bersyukur akan karunia Allah itu? Apakah sekadar diikrarkan dengan lisan atau lebih dari itu?
Narasumber : Menurut ibu, mungkin filosofi bahagia dengan cara bersyukur itu layaknya iman yang diucapkan dengan lisan, diyakini dengan hati, dan dilakukan dengan perbuatan. Karena sejatinya, kebahagiaan itu kita sendiri yang menciptakan. Ia ada dalam diri kita. Tinggal bagaimana kita mampu mengelolanya dengan sebaik mungkin. Pilihan pun ada di tangan kita. Apakah kita menghendaki untuk menciptakan bahagia pada diri kita atau justru implikasinya.

Pewawancara : MaasyaAllah, benar sekali, bu. Lalu apa atau bagaimana pendapat ibu pada mereka yang berdalih mencari kebahagiaan di luar dunianya Misal malah merusak dirinya menjadi pribadi yang tidak baik seperti minum-minuman keras, pergi ke diskotik, nge-fly, dan lain sebagainya?
Narasumber : Kalau itu terpulang pada masing-masing orang. Karena setiap kita pasti memegang prinsipnya masing-masing dalam menjalani kehidupan ini. Kadang, nasehat orang lain hanyalah sebagai peringatan saja, bukan sebuah keharusan yang harus dikerjakan. Tabiat seseorang pun demikian, ianya hanya akan bisa berubah ketika ada kesadaran pada diri sendiri untuk mengubahnya menjadi versi dirinya yang lebih baik daripada sebelumnya.

Pewawancara : Wow, super sekali! Hehe, gitu sih kalau kata pak Mario Teguh mah. Terima kasih banyak bu atas waktu dan jawabannya. Semoga nantinya hasil wawancara ini akan bermanfaat untuk banyak orang. Aamiin.
Narasumber : Kamu nih kayak sama siapa aja. Pokoknya ibu sudah mendoakan yang terbaik buatmu. Tetap semangat dalam menggapai seluruh cita-citamu. Jangan pernah putus asa atau berhenti di tengah jalan. Ingat selalu Allah, dan jangan pernah kau lepas genggaman erat tanganmu dalam iman yang menggelora di dalam jiwa. Semoga berhasil, anakku!

Pewawancara : Terima kasih banyak, bu. Pokoknya ibu yang terbaik buatku!
Ya, sekali lagi bahagia adalah perasaan-perasaan senang yang sederhana. Keberadaannya bisa diciptakan dan dibuat oleh siapa saja, termasuk diri kita ini. Karena kita, berhak untuk bahagia!

#NonFiksi
#ODOPBatch6

Sunday, December 2, 2018

Wawancara 2 : Self Healing, Self Controlling

Sumber : consciouslifestylemag.com



Self healing merupakan istilah dalam Bahasa Inggris yang dapat diartikan secara leterlek dengan “Penyembuhan diri sendiri”.  Namun demikian, istilah self healing kali ini ditujukan pada luka-luka batin yang sempat menggores atau menyayat hati. Jadi, bukan sebuah luka fisik yang dapat dilihat dengan panca indera. Metode self healing dapat dilakukan oleh seseorang yang sedang menyimpan luka batin sedemikian dalam. Selain itu, cara ini juga bisa bermanfaat untuk menyelesaikaan masalai-masalah yang belum terselesaikan dalam kehidupan, yang berdampak pada kelelahan emosi seseorang.

Sedangkan self controlling adalah upaya diri untuk tetap waras dalam berbagai situasi dan kondisi. Kemampuan mengontrol dan menguasai diri sendiri dapat disebut juga sebagai softskill yang selayaknya wajib untuk dimiliki setiap kita.

Dalam wawancara kali ini, penulis berkesempatan untuk mewawancarai narasumber yang memiliki latar belakang di dunia pertanian, tapi passionate dalam tulis menulis. Kami saling dipertemukan kemudian mengenal satu sama lain dari sebuah grup kepenulisan via Whatsapp sejak tahun 2017 lalu. Meskipun demikian, kami pernah sekali bertemu dalam acara Kampung Ramadhan yang diselenggarakan di Bakorwil Magelang. Namanya Nur Hidayah, lulusan Fakultas Pertanian dari Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Pernah bekerja di sebuah perusahaan pembuatan berita, lantas sekarang menjadi karyawan tetap di salah satu kantor berbasis teknologi dan pertanian di Yogyakarta.

Berikut isi wawancaranya yang berhasil penulis rangkum dalam sebuah catatan.

Pewawancara : Assalamualaikum Mbak Hid, boleh minta waktunya sebentar untuk wawancara?
Narasumber : Ya, Dek Ris. Boleh aja. Mau wawancara tentang apa, nih?

Pewawancara : Jadi gini mbak, langsung aja deh ya. Emm, Mbak Hid pernah denger istilah self healing belum? Tapi konteksnya bukan ke penyakit fisik, lho ya. Lebih ke penyakit hati kayak misal iri, dengki, cemburu, dan lain sebagainya.
Narasumber : Emm, salah satu cara yang berhasil kupraktekkan mungkin menjaga jarak dulu sama orang yang bersangkutan. Maksudku, biasanya kan luka-luka hati atau perasaan sakit itu ditimbulkan oleh orang lain, kan. Jadi, mungkin lebih kepada menghindar dulu dari orangnya. Kalau misalkan sakit banget, ya mau nggak mau ngelakuin sampe yang ekstrim, misal sampe nge-mute story WA-nya atau blokir sosmednya, dan lain sebagainya. 

Pewawancara : Wah, bisa sampe gitu ya, mbak? Mungkin hal-hal semacam itu bisa terjadi karena sebagai manusia kita memang diciptakan tidak sempurna, ya. Jadi, sisi kemanusiawian kita seolah mendominasi ketika emosi menguras rasa. Hehe. Tapi di saat-saat seperti itu, apakah Mbak Hida tetap bisa mempertahankan self controlling sama orangnya?
Narasumber : Hehe, ya gitu sih, Dek Ris. Namanya juga manusia, kan. Kalau aku misal lagi jauh gitu, hal yang kulakukan adalah menata hati sembari menyembuhkannya pelan-pelan. Berpikir, kalau misal kupupuk terus perasaan mengganjal itu, malahan aku yang sakit dan rugi terus. Jadinya malah imbasnya ke diriku juga, sih. Jadi, insyaAllah kalau lagi jauh mah tetep bisa ngontrol. Tapi kalau lagi dekat, ya diusahakan juga sih. Hehe.

Pewawancara : Makin menarik nih, mbak topik pembicaraannya. Tapi, adakah cara lain yang Mbak Hid lakukan untuk menghibur diri?
Narasumber : Kalau aku, sih sering-sering ke kajian aja, Dek Ris. Itu ngaruh banget buat aku. Karena dari kajian itu aku bisa merenung, melepas sesak di hati. Bisaan, kalau butuh nangis, yaudah habisin semua pas selesai sholat. Tumpahkan semua rasa ke Allah, minta buat direngkuh hatinya, biar nggak terus memendam dendam yang sedemikian dalam. Nah, kalau udah agak baikan, walaupun semua perlakuan atau perkataan yang menyakitkan itu nggak bisa ditarik ulang, setidaknya aku bisa terlihat baik-baik saja di depan seseorang yang pernah menyakitiku itu.

Pewawancara : Subhanallah, Mbak Hid. Aku jadi terharu, nih dengernya. Hehe. Pokoknya bener-bener berjuang buat bisa memiliki hati sebening kristal, ya. Hehe. Oh ya, terakhir nih, apakah ada tips buat kita semua untuk bisa terus latihan memiliki hati yang baik? Tentunya dengan pemahaman self healing dan self controlling yang baik dan benar.
Narasumber : Hmm, apa, ya? Tipsnya sederhana aja, sih mungkin. Semua yang telah terjadi dalam hidup kita ini, sejatinya udah ada di Lauhul Mahfudz sana, bahkan sebelum penciptaan alam semesta, manusia, dan lainnya ada. Jadi, apa yang kita dapatkan hari ini harus senantiasa diterima, dan dijalani dengan penuh keikhlasan.

Pewawancara : MaasyaAllah, keren keren. Terima kasih banyak pokoknya buat semua jawaban serta wejangannya, Mbak Hid. Sangat bermanfaat untuk membantu para remaja atau remaja yang sedang menunggu dewasa agar bisa memiliki sikap yang baik dalam menghadapi sebuah masalah. Sip, sip semoga menjadi ilmu yang bermanfaat yang nantinya akan berbalik juga manfaatnya sama Mbak Hida. Aamiin. Wassalamualaikum.
Narasumber : Aamiin Ya Rabbal Alamin, makasih banyak do’anya Dek Ris. Do’a baik kembali kepada yang mendoakan, insyaallah. Terima kasih kembali. Waalaikumussalam.


#NonFiksi
#ODOPBatch6

Wawancara 1 : Urgensi Quarter Life Crisis dalam Perspektif Mahasiswa Usia 20-an

Sumber : The Daily Star


Berbicara tentang Quarter Life Crisis, nampaknya istilah itu masih asing terdengar di telinga sebagian besar dari kita. Lalu, apa sebenarnya definisi Quarter Life Crisis itu sendiri?

Secara sederhana, istilah Quarter Life Crisis adalah suatu istilah dalam Bahasa Inggris. Merupakan suatu krisis diri yang biasanya diderita oleh mereka yang berada dalam kisaran usia 25-an ke bawah. Tak jarang, para remaja yang menjelang dewasa seperti usia 20-an juga sudah mulai terjangkit penyakit ini. Namun pada umumnya, penderita Quarter Life Crisis kebanyakan adalah mereka yang berusia 25-an. Quarter Life Crisis bisa juga disebut dengan krisis seperempat abad, sesuai dengan terjemahan maknanya dalam Bahasa Indonesia.

Pada sebuah kesempatan, penulis berkesempatan untuk melakukan wawancara dengan seorang narasumber yang merupakan teman penulis sendiri ketika SMK. Namanya Devi Noviyati, seorang mahasiswi Semester 5 jurusan PGMI di Universitas Negeri Semarang. Topik wawancara yang diangkat juga merupakan pertanyaan-pertanyaan seputar Quarter life Crisis. Berikut adalah hasil wawancara dengan narasumber.

Pewawancara : Halo, Dev. Assalamualaikum, apa kabar?
Narasumber : Waalaikumussalam, Ris. Kabar baik. Kamu gimana?

Pewawancara : Alhamdulillah, aku juga baik, Dev. Oh ya, aku pengen wawancara kamu, dong. Boleh, ya?
Narasumber : Temanya tentang apa, Ris? Silakan.

Pewawancara : Tentang Quarter Life Crisis. Apakah sebelum ini kamu pernah mendengarnya?
Narasumber : Pernah, Ris. Setahuku, Quarter Life Crisis ini bisa juga dikatakan sebagai krisis dalam pencarian jati diri, ya. Jadi kan jati diri itu merupakan ekspresi batin mengenai peran kita di dunia ini. Maksudnya, jati diri itu berisi tentang apa-apa yang seharusnya kita lakukan, apa tujuan kia, dan mungkin tentang bagaimana atau dengan cara apa kita akan mencapai tujuan-tujuan itu. Nah, krisis jati diri bisa juga diartikan dengan seseorang yang tidak mengetahui apapun tentang dirinya, tujuan hidup, serta apa dan bagaimana langkah yang harus ia tempuh untuk menjalani kehidupan ini.

Pewawancara : Wah, mantap jawabannya keren banget, Dev. Oh ya,lalu kenapa sih, kamu atau kita itu harus bisa mengontrol atau menguasai diri sendiri ketika berhadapan dengan atau sedang berada di tengah-tengah banyak orang?
Narasumber : Jadi, menurutku penguasaan diri atau kontrol diri itu penting banget buat bisa dikuasai setiap kita, Ris. Urgensi dari penguasaan diri atau yang selanjutnya kita sebut dengan self control, adalah karena landasan atau prinsip masing-masing orang yang berbeda-beda. Kita tidak bisa dan tidak boleh memaksakan kehendak diri kita pribadi agar mereka sepakat dengan pandangan kita. Namun, jika mungkin self control kita belum baik, lalu kita justru banyak memaksakan kehendak kepada orang lain, maka bisa jadi perselisihan, bentrok, ketidaksepahaman akan terjadi, dan justru malah merugikan diri kita sendiri. Jadi, mengetahui akar permasalahan sedari awal, kemudian menyadari kemampuan sekaligus kekurangan diri dalam hal ini sangatlah perlu untuk kita miliki.

Pewawancara : Wow! Aku setuju juga sama kamu, Dev. Soalnya, mungkin masih sedikit orang di luar sana yang berpikir hal-hal kecil semacam menguasai diri atau self control itu nggak terlalu penting. Jadi, di sini aku dapat pencerahan dari pemaparanmu. By the way, berangkat dari permasalahan tadi, kira-kira kapan kamu merasa sudah cukup dewasa dalam menyikapi suatu permasalahan?
Narasumber : Hmm.. Udah mulai spesifik, ya Ris? Hehe. Mungkin, bagiku nggak ada waktu khusus. Melainkan, kedewasaan itu muncul pada saat-saat tertentu, dalam situasi yang juga tertentu. Aku pribadi merasa aku sudah cukup dewasa ketika mampu menepis egoisme pribadi demi kebahagiaan orang lain. Semisal dengan membiarkan dia bersama orang lain yang lebih dia cintai mungkin. Hahaha.

Pewawancara : Hahaha. Waduh, waduh, waduh. Jangan baper duluan ya, Dev. Tenang aja, masih banyak kok yang nanti ngantri mau meminangmu. Eaak. Nah, sejauh ini siapa sih tokoh atau orang yang memotivasi dirimu?
Narasumber : Hehe, yang pasti orang tua dong, Ris. They are the best for me pokoknya. Nggak ada tandingannya sampai saat ini, dan mungkin sampai kapanpun.

Pewawancara : Bener banget, Dev. Orang tua ibarat kata malaikat tanpa sayap bagi hidup kita. Karena merekalah kita ada. Hiks, jadi terharu nih, Dev. Oh iya, masih terakhir nih, Dev. Gimana, sih cara kamu pribadi untuk menyikapi permasalahan ketika berada pada usia 20an ke atas yang masih rentan stress, labil, dan lain sebagainya? Mungkin kamu bisa nyebutin tips triknya, nih buat kita. Hehe.
Narasumber : Kalau ditanya tentang cara, mungkin setiap orang beda-beda ya, dalam menyikapi atau menjalankannya. Tapi bagiku pribadi, beberapa cara ini terbukti ampuh untuk mengatasi stress atau ketidakstabilan emosi yang mungkin pernah kualami. Misal permasalahannya banyak banget deadline yang harus dikerjakan dengan segera, padahal udah jenuh banget di kamar gara-gara ngerjain tugas terus. Kalo aku misal rasanya kepala udah mau pecah, yaudah sih tinggalin dulu semua beban, trus keluar gitu jalan-jalan. Lihat langit kek, awan kek, yang penting keluar buat sekadar cari angin segar biar pikiran nggak suntuk di tugas mulu. Misal juga bisa cuci mata di tempat-tempat wisata atau tempat umum yang sering ramai orang, dan lain sebagainya. tapi kalau buat ngatasin emosi yang kurang stabil, aku biasaya banyak-banyak istighfar sama allah, mohon ampun kalau mungkin ada dosa yang kulakukan di hari itu. memperbanyak baca atau denger sholawat, murotal, atau musik religi yang bisa ngademin lagi emosi yang sedang tinggi. insyaAllah, kalau niatnya baik pasti hasilnya bakalan baik.

Pewawancara : Mantap banget lah, Dev. Makasih banyak atas jawaban-jawabannya, sangat bermanfaat banget. Terima kasih juga atas waktunya, dan mau berkenan untuk jawabin pertanyaan-pertanyaanku. Lain kali, mungkin bisa lagi, ya. Hehe. Wassalamualaikum.
Narasumber : Sama-sama, Ris. Aku juga seneng kok bisa bantuin. Aamiin, semoga bisa bermanfaat buat banyak orang, ya. Waalaikumussalam.

#NonFiksi
#ODOPBatch6