Sunday, June 24, 2018

Beda, Terus Kenapa?

Entahlah, sejak kapan ribuan kata dalam kepala ini meminta untuk dituliskan. Lama, aku menggelisahkan hal ini. Membuatku kadang tetap terjaga untuk beberapa jam setelah lewat tengah malam, tanpa kopi. Masih memikirkan masalah perbedaan yang tanpa ujungnya ini.

Beda. Satu kata yang saat ini membuatku sedikit tertatih untuk mengucapkan dan memikirkannya. Kata-kata bapak malam itu, benar-benar membuatku rapuh. Aku sungguh jatuh.

Mungkin, apa yang dikatakan bapak saat itu memang bukanlah pembenaran. Tapi, kebenaran yang memang terjadi pada masyarakat Indonesia pada umumnya, Jawa pada khususnya.

Entah pula sejak kapan aku merasa separuh nalarku runtuh begitu saja. Mendadak susah mengatur napas ketika kalimat-kalimat yang bapak lontarkan malam itu tiba-tiba terngiang di kepala.

Aku tahu, tidak boleh mempermainkan rasa sebelum tiba waktu tertepatnya. Tapi namanya hati, apa bisa diajak kompromi? Perasaan itu hadir karena perempuan kebanyakan, termasuk aku lebih mendahulukan hati dalam berpikir daripada logika.

Sebenarnya, tidak lucu juga jika disebut ketertarikan sesaat pada lawan jenis. Karena menurutku, perasaan ini bukan demikian adanya. Lebih dari itu, perasaan kepada seseorang yang saat ini kurasakan adalah sebentuk keyakinan yang bersumber dari lubuk hati paling dalam. Kupikir, aku tulus dalam rasaku kali ini.

Namun, apakah perasaan jualah yang menghalangi akal sehat untuk berpikir, bahwa perbedaan pemikiran akan melahirkan keputusan-keputusan yang juga akan berbeda nantinya?

Tunggu sebentar, bukankah hal tersebut wajar adanya dalam sebuah hubungan? Jadi, apa masalahnya? Kenapa bapak harus membesar-besarkan masalah perbedaan ini?

Lagipula, perbedaan yang terjadi bukankah hanya tentang organisasinya saja? Bukan soal akidah apalagi kepercayaan dalam beragama, dalam ber-Tuhan?

Allah..

Saturday, June 2, 2018

Benarkah?

Dwitasari, dalam bukunya yang berjudul "Jatuh Cinta Diam-Diam", menyertakan juga tulisan di bawahnya yang masih kuingat sampai sekarang. Tulisan itu ringkas, namun kaya akan makna, menurutku. Apalagi kalau bukan, "Setiap hati selalu menyimpan sebuah nama".

Di kalimat tersebut, ada dua "se" yang diikuti dengan "tiap" dan "buah". Dalam bahasa Indonesia, "se" merupakan imbuhan yang ditambahkan ke dalam sebuah kata, untuk merepresentasikan bahwa benda yang disebutkan jumlahnya hanya satu. Atau, "se" di sini fungsinya untuk menyingkat kata "satu" itu sendiri.

Maka, bunyi kalimatnya akan menjadi seperti ini jika diubah, "Satu hati selalu menyimpan satu nama".

Oh, ya? Benarkah? Aapakah benar begitu?

Hmm.. kurasa tidak. Tak akan pernah mungkin bahwa satu hati hanya akan menyimpan satu nama saja. Percayalah, ada begitu banyak nama yang pernah singgah dan  menjadi istimewa di sana.

Kau tahu?

Hati manusia adalah sesuatu yang sangat mudah sekali terbolak-balik. Contoh gampangnya saja, dalam hal memilih makanan yang akan kita makan, ataupun pakaian yang akan kita kenakan. Tidakkah kadang kita selalu dibuat bingung oleh begitu banyak pilihan? Kadang, perut ingin makan berat, tapi gengsi mengingatkan, untuk selalu jaga bodi. Walhasil, nggak jadi makan bakso, tapi cuman ngemut permen. Hahah.

Atau, kadang cuaca sedang dingin, namun hati kita menginginkan untuk mengenakan pakaian yang terbuka. Dalam kondisi tersebut, pada akhirnya mau tidak mau kita harus berpikir secara rasional. Dan tidak melulu mengikuti kata hati yang kadang tidak sesuai dengan keadaan.

Ya, begitulah hati. Menurutku, jika ada yang bilang, "Setiap hati selalu menyimpan sebuah nama", kurasa ada yang perlu ditambahkan untuk melengkapi kalimat tersebut.

Menjadi, "Setiap hati yang baik, akan menyimpan nama orang-orang baik di dalamnya. Namun, pasti ada, satu yang terbaik di antara mereka."

Lantas, apakah orang-orang yang baik itu termasuk di dalamnya adalah aku dan kamu?

Entahlah. Coba tanya diri kita masing-masing.

Karena yang paling tahu, kadar kemunafikan maupun kejujuran yang sebenarnya ada dalam diri kita, adalah diri kita sendiri dan Tuhan.

Selamat mencari dan bertanya!