Saturday, May 9, 2020

Re-Read Tentang Kamu, Membaca Ulang Mutiara

Sabtu, 9 Mei 2020

di kamar gelapku, desa Nusupan saat hujan deras turun dan menerocohi kasurku.

Ini kali kedua aku membaca buku yang sama dengan ketebalan yang lumayan. Bukan buku berat memang, melainkan novel dengan bahasa yang santai, lugas, dan mudah dipahami. Alasan aku membaca buku itu untuk kedua kalinya adalah untuk mengerjakan tugas penelitianku yang mandeg beberapa lama atas novel itu, dan lainnya karena aku butuh inspirasi bacaan, pun kehidupan. Tidak salah memang jika aku menjatuhkan pilihan pada salah satu novel tebal dari penulis terkenal, Tere Liye demi kembali menggali pelajaran tentang banyak hal. Judul novel itu Tentang Kamu, dengan sampul sepatu sederhana – cenderung lusuh. Namun, isi di dalam buku itu tentu tak sesederhana sampulnya.

Pepatah lama itu benar, rasanya lebih enak mengerjakan sesuatu yang sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui. Karena selain menghemat waktu, dengan aku bisa mengerjakan tugas sekaligus mendapatkan inspirasi menulis.

Selain itu, ternyata membaca ulang buku yang sama itu tidak selalu membosankan, walaupun kita telah tahu akhirnya. Bagiku, membaca dua atau beberapa kali karya yang sama itu berbeda sama sekali dengan saat pertama kali membacanya, saat seorang pembaca belum tahu apa yang ingin disampaikan penulis, juga tentang bagaimana akhir dari karya tersebut. Namun dengan membaca ulang sebuah karya, seorang pembaca bisa naik level menjadi pengamat, peneliti. Mungkin, akan banyak bagian-bagian yang digaris bawahi atau distabilo dengan warna terang karena dirasa penting untuk dikutip. Atau mungkin juga, akan ada beberapa kata-kata yang dipikirkan lagi dengan seksama.

Saat membaca novel Tentang Kamu untuk kali kedua ini, entah kenapa dan bagaimana emosiku benar-benar teraduk, meski sebelumnya pun sama. Tapi ini lebih dalam. Aku menangis tersedu-sedu saat membaca salah satu bab pada novel tersebut. Meski hanya barisan kata-kata, ajaibnya aku juga bisa membayangkan peristiwa sedih yang berusaha penulis gambarkan. Dan benar saja, Tere Liye sukses membuat air mataku bercucuran.

Aku lupa saat kali pertama membaca novel ini aku menangis atau tidak, tapi yang jelas aku menyelesaikannya secepat kilat. Hanya sehari aku merampungkan novel setebal 500an halaman itu.

Di sisi lain aku juga belajar tentang cara penulisan sang maestro. Jujur, aku juga kagum terhadap orang-orang di balik penerbitan novel-novelnya. Nyaris tanpa cacat. Tidak ada typo atau salah ketik sama sekali, dari halaman satu sampai halaman 500 sekian. Tidak ada peristiwa ganjil atau sesuatu yang tidak bisa dilogika saat membacanya. Data yang dipakai pun sangat lengkap. Aku yakin beliau, Tere Liye sangat akurat saat melakukan riset sebelum meramunya, dan menuliskannya menjadi karya epik. Namun, pasti sulit sekali menciptakan karya seperti itu. butuh waktu bertahun-tahun dan juga banyak jam terbang, pengalaman, dan elemen-elemen lainnya untuk kemudian dikawinkan menjadi satu, dan menghasilkan karya yang tidak hanya indah, tapi juga sangat bermakna dan kaya akan nilai.

Terakhir, aku benar-benar bangga Indonesia memiliki penulis seperti beliau. Aku angkat topi untuk pak Darwis Tere Liye. Selain produktif menelurkan karya setiap tahunnya, sosoknya yang sederhana dan jarang menampilkan diri pribadi – berbicara soal kehidupan pribadinya di media sosial atu media-media lainnya membuatku iri. Sebenarnya, hidup seperti apa yang beliau jalani, hingga bisa menjadi seorang sosok hebat seperti sekarang? Memang aku belum membaca seluruh karya-karya beliau – meminjam salah satu khas tulisannya di novel Tentang Kamu, mudah-mudahan aku berkesempatan membaca seluruhnya besok lusa. Juga, karya-karya para sastrawan Indonesia, dan dunia lainnya. Semoga aku berkesempatan mengenal kehebatan mereka melalui karya-karya abadi mereka dalam bentuk tulisan, utamanya.

Dan juga, mudah-mudahan aku bisa memaksa diriku untuk menjadi pembaca yang baik dan hebat dulu, sebelum akhirnya menjadi penulis baik dan hebat kelak di kemudian hari.


NB : Sengaja aku tidak menyertakan gambar, meskipun memilikinya. Buku ini amat fenomenal sehingga mudah saja untuk mencarinya di mesin pencarian. Lagipula, terbitnya juga sudah cukup lama. Hehe.


xoxo,

Risma Ariesta

Wednesday, April 22, 2020

Sepucuk Surat Untuk Alam Semesta

Sumber : Facebook - Qureta


Nusupan, 22 April 2020.

Malam hari yang panas, setelah Isya' pukul 20.36 WIB


HAI?! Apa kabar? Sepertinya ini surat pertamaku untukmu, semesta. Mungkin, ke depannya aku akan lebih sering menulis surat-surat lain untuk menyapamu. Meski kau juga tahu, bahwa aku bicara dengan entah siapa, yang jelas aku hanya ingin menulis ini.

Hmmmm…. Fiuhhh… Ini suara napasku. Aku menariknya dalam-dalam dan membuangnya sama dalam. Rasanya, oksigen hari ini masih segar seperti biasa. Bahkan kadang-kadang, entah perasaanku saja atau memang benar, terasa lebih segar daripada yang dulu-dulu.

Baiklah, aku harus mulai dari mana, ya? Mmm.. Oh ya, aku akan sedikit bercerita sebentar. Ini tentang aku dan diriku sendiri. Mungkin juga diri banyak orang. Jadi begini, aku akan mulai membicarakan soal waktu.

Jika kukira-kira, hari saat aku menuliskan ini (22 April 2020) sudah satu bulan lamanya rupanya orang-orang di seluruh dunia hanya tinggal di rumah, dan melakukan segala sesuatu dari rumah. Kerja, ibadah, belajar, dan semua kebiasaan sehari-hari di rumah saja. Tiba-tiba pikiranku terlempar ke ingatan saat aku masih duduk di bangku sekolah. Dulu, masa libur paling lama hanyalah dua minggu, kadang bisa lebih beberapa hari, sih. Tapi rasanya sudah bosan sekali tinggal di rumah. Padahal saat masuk sekolah setiap hari, yang ada di pikiran justru liburan. (Jangan tanya aku menangi masa presiden Abdur Rachman Wahid atau tidak, karena aku juga tak pernah merasakan rasanya libur sebulan saat ramadhan, kecuali saat pandemi covid-19 ini berlangsung.) Itu berarti, aku belum terlalu tua, kan?

Kemudian bertahun-tahun setelahnya, entah bagaimana engkau, sang alam semesta berkonspirasi sehingga menyebabkan seluruh dunia lumpuh.  Maka izinkanlah aku menanyakan sesuatu padamu;

Semesta, apakah ini caramu menghukum kami?

Kami yang terlalu rakus meraup keuntungan atas kesuburanmu.

Kami yang terus mengotori alammu dengan sampah-sampah kami.

Kami yang tidak peduli pada kelestarianmu.

Lalu kemarahanmu yang tiba-tiba, menyadarkan kami betapa selama ini kami jarang bahkan tidak pernah memedulikanmu. Padahal, hidup kami jelas bergantung padamu, semesta. Engkau yang diciptakan Tuhan dengan kuasanya yang luar biasa itu jelas suatu anugerah dan nikmat yang tak terkira buat kami. Lalu, dengan sadar atau tidak, pesonamu yang indah itu melenakan diri kami. Kami tenggelam dalam debur keinginan kami sendiri terhadapmu. Kalap oleh hal-hal yang sejatinya tidak seharusnya kami nikmati sekarang.

Memang rasanya semua ini salah kami, sehingga kelalaian kami mencelakai diri kami sendiri.

Kami yang terlalu tamak mengejarmu sehingga melupakan tugas kami sendiri. Kami yang terlalu tidak ingin kehilanganmu. Kami yang terlalu percaya diri bahwa selamanya kamu memang tercipta untuk kami. Bahwa kami tidak akan kehilangan kamu. Tapi, penyakit manusia yang paling parah dan menyebalkan adalah menjadi seorang pelupa. Kami lupa akan hakikat kami hidup di dunia ini.

Lalu waktu terus berjalan mengikuti perputarannya sampai masa yang tak terbatas. Dan aku masih di sini saja dengan diriku sendiri, merenungi dan menekuri setiap peristiwa yang terjadi.

Semesta, kau pasti tahu bahwa manusia sepertiku diberi akal untuk berpikir, kan? Tapi kadang-kadang, orang sepertiku ini tidak bijak menggunakannya. Salah satunya ya ini, aku tahu aku sadar bahwa kelakuanku selama ini mungkin telah merugikan alam. Tapi apa yang akhirnya bisa kuperbuat? Setidaknya untuk diriku sendiri. Apa? Mungkin membuang sampah pada tempatnya, memungut sampah yang tidak pada tempatnya, lalu membuagnya pada tempatnya. Dan setelah itu, apa kabar dengan sampah-sampah malang itu? Berakhir ke pembuangan terakhir. Beberapa bermanfaat karena menjadi bahan penyubur tanah, didaur ulang menjadi barang baru lagi, dan tetap menjadi sampah. Beruntung jika ia bisa terurai. Jika tidak? Maka selamanya sampai sisa hidupnya yang panjang itu, ia akan tetap menjadi sampah. Tapi, yang lebih buruk adalah dibakar dan melukai lapisan ozon.

Ah, apakah belum terlambat jika sekarang aku bilang aku ingin meminta maaf?

Semesta, bagaimana bisa aku dan bangsaku terlalu jahat padamu?

Lalu saat wabah yang orang-orang sebut dengan covid-19 datang ke dunia kita, harus kunamai apa hubungan kita setelahnya?