Monday, July 16, 2018

Bunga Bulan Maret



Sebuket bunga itu telah kuterima. Kata Mang Ujang, seseorang tadi mengantarnya ketika hujan turun sangat lebat. Ketika kutanya siapa nama pengirimnya, ia hanya diam dan tersenyum, menggeleng pelan. Hanya ada ucapan "terima kasih" dengan emoticon senyum yang menjadi identitas si pengirim di buket bunga itu.

Entahlah. Aku pun bingung. Perasaanku mengatakan, bahwa aku sama sekali tak pernah menuliskan alamat indekosku dengan sembarangan. Hanya beberapa gelintir orang teman kampusku saja yang mengetahui tempat tinggalku saat ini. Bahkan, orang tuaku pun tidak.

Setelah tersenyum dan mengucapkan terima kasih pada Mang Ujang, aku permisi untuk segera menuju kamar indekosku. Melemparkan tas dan tubuh malang ini sekenanya di tempat tidur.

Langit-langit kamar yang setiap hari kutatap tidak berubah. Ia selalu kosong dan menyebalkan, seperti diriku. Ya. Menurut penilaianku sendiri, aku tidak sekeren kata para pembaca novel-novelku di Wattpad.

Mereka hanya tidak tahu saja. Bahwa dibalik akun dengan username "Madame Louis" adalah gadis kumal dengan kehidupan yang serba berantakan.

Satu-satunya cara agar aku bisa bertahan dengan diriku sendiri adalah dengan bersembunyi, seperti sekarang. Membuat identitas baru yang sama sekali bertentangan dengan aku yang asli di dunia nyata. Menciptakan seorang tokoh imajiner seperti di novel-novel dengan kesempurnaan hidup dan jalan cerita yang ada di dalamnya.

Tak dapat kupungkiri. Selama bernaung dibalik akun Madame Louis di Wattpad, banyak orang yang ingin bertemu denganku secara langsung. Tidak sedikit yang ingin berfoto, saling bercerita kehidupan masing-masing, bahkan ingin menjadi sepertiku. Maksudku, menjadi seperti seorang Madame Louis. Tokoh rekaan yang kuciptakan.

2 tahun lamanya aku berkecimpung di dunia per-Wattpad-an. Sudah ada sekitar 3 bukuku yang diterbitkan. 2 novel yang masih on going, dan beberapa draft yang sengaja belum kupublish untuk ceritaku selanjutnya. Well, penerbit buku-bukuku pun hanya melakukan komunikasi denganku lewat Whatsapp, tidak lebih. Sering mereka minta untuk bertemu secara langsung denganku. Tapi selalu kutolak dengan halus, kadang malah mentah-mentah begitu saja. Mengingat, aku tak pernah mau kehidupanku yang sebenarnya terekspos oleh siapapun. Apalagi media. 

Aku tidak tahu kapan tepatnya kegilaan menulisku ini muncul. Mungkin, kejadian saat aku masih duduk di bangku SMP itu yang membuat diriku menjadi separuh orang lain. Mengubah segala pemikiran yang dulu pernah ditanamkan oleh orang tuaku. Membuatku menjadi orang asing, bahkan bagi diriku sendiri.

Terkadang, aku ingin kembali ke jalan yang benar. Kembali menjadi seperti diriku ketika usiaku masih 10 tahunan. Ketika ibu dan ayahku belum mengenal orang-orang itu. Mereka yang menghancurkan hidup kami sepenuhnya. Mereka yang selalu hadir dalam setiap tulisanku yang penuh dengan amarah dan kebencian yang sebenar-benarnya. Mereka, yang ingin aku temui dalam keadaan hidup atau mati. Kemudian, membiarkan apa yang selama ini menjadi bebanku lunas terbayar dengan cucuran darah yang mengalir dari tubuh mereka.

Ya, monster dalam diriku hampir menguasai seluruh pengendalian dalam diriku. Ia tak memiliki belas kasih. Namun, aku tahu aku masih punya Madame Louis, dan orang misterius yang mengirimkan sebuket bunga Daffodil ini, bunga di Bulan Maret.

Saturday, July 14, 2018

Perempuan

14 Juli 2018

Menjatuhkan hati kepada orang yang belum tentu menjadi takdirmu, adalah suatu kesalahan yang menurutku cukup fatal.

Memberikan kekayaan paling berharga yang kamu miliki sebagai seorang perempuan yang merdeka itu, kurasa cukup beresiko membuatmu menjadi yang bukan dirimu sendiri nantinya.

Bagaimana tidak? Bukankah ketika kali pertama kamu mengizinkan hatimu terbawa oleh perasaan-perasaan yang belum jelas juntrungannya, kamu sudah membuka sebagian pintu gerbang hatimu yang sebelumnya kau kunci dan gembok dengan rapat?

Bukankah sebuah pengharapan yang pada akhirnya kamu peruntukkan kepada orang itu adalah sesuatu yang sesungguhnya sangat sulit untuk kamu tarik kembali?

Kalau pun kamu bisa menariknya, mungkin tak akan sampai ke akar dimana kamu belum memiliki perasaan yang istimewa itu untuknya. Kalau pun kamu sanggup, pasti masih ada bercak-bercak tak nampak yang masih tersisa lalu samar karena kau hanya bisa menceritakannya dengan mata yang masih sembab kepada dirimu sendiri.

Perempuan. Jagalah hatimu baik-baik. Sebagaimana kamu menjaga baik-baik seseorang yang ingin kamu jadikan sebagai panutan terbaik.

Sebagaimana kamu menginginkan kebaikan-kebaikan lain pada setiap orang yang kamu temui.

Sebagaimana inginnya kamu melihat orang tuamu tersenyum dengan bangga karena melihat anak gadisnya bisa bertumbuh di jalan yang baik.

Perempuan. Jadilah sesuatu yang benar-benar berharga untuk dirimu sendiri. Persembahkan yang terbaik darimu untuk kebahagiaanmu sendiri.

Karena bagaimanapun alasannya, kamu itu berharga. Kamu itu istimewa. Bersyukurlah karena  kamu adalah perempuan.

Bahagia


13 Juli 2018

Ada banyak perasaan yang saat ini sedang berkecamuk dalam hatiku.

Tentang bahagia, rasa sakit, penerimaan, keterpaksaan, dan lainnya.

Kadang, perasaan-perasaan ini timbul tenggelam begitu saja di dalam hati. Menjelma sekumpulan rasa yang seharusnya kutata dan kurapikan dengan benar.

Tapi terkadang, pada beberapa kesempatan memang sulit sekali rasanya untuk benar-benar bisa mengaturnya dengan baik.

Berbicara tentang bahagia. Mungkin benar kata orang. Bahagia itu tidak dicari, melainkan diciptakan.

Bahagia menjadi diri sendiri, menjalani pilihan sendiri, kemudian harus siap-tidak siap menerima konsekuensi dari apa yang telah dipilih.

Pertanyaannya, apakah setelah menjalani hari-hari yang didesign sendiri itu, apakah bahagia benar-benar tercipta? Benar-benar terasa? Entahlah.

Bahagia itu sebuah perasaan sederhana dengan definisi yang rumit.

Bekal



12 Juli 2018

Untuk menempuh perjalanan jauh, wajar rasanya jika jauh-jauh hari sebelumnya kita melakukan berbagai persiapan dengan matang. Melihat kembali apa-apa yang tersedia dalam ransel yang akan kita bawa, adalah langkah yang akan menentukan bagaimana perjalanan kita nanti.

Sudah cukupkah bekal yang  akan kita bawa? Ataukah terlalu banyak, sehingga kita harus mengurangi muatan yang  ada? Lihat kembali dan teliti apa-apa yang akan menjadi teman kita selama perjalanan.

Ya, ini baru perjalanan di dunia. Yang mungkin hanya beberapa hari, minggu, bulan, dan tahun. Lantas, bagaimana persiapan kita terhadap perjalanan jauh untuk kehidupan setelah kematian? Sudahkah memadai?

Banyak dari kita yang justru tidak mempersiapkan bekal ini dengan baik. Tidak terlalu mementingkan apa-apa yang akan kita bawa, dan menjadi teman kita nanti. Apakah ia akan dapat menolong kita untuk menghadapi apa-apa yang ada di hadapan nanti? Atau justru menyudutkan diri kita dalam lembah keterpurukan.

Bersiap sedini mungkin. Mempersiapkan kematian. Bagaimana cara menjemput kematian yang baik? Bagaimana agar kelak yang akan menjemput kita adalah malaikat rahmah yang mencabut nyawa kita dengan halus? Ya, jangan sampai malaikat maut nanti yang datang menjemput adalah malaikat yang mencabut nyawa kita dengan keras.

Ya Rabb..

Berbicara tentang bekal ini, seharusnya sering-sering kita pikirkan. Menjadi yang paling kita khawatirkan. Bukan hanya dunia dan dunia.

Semoga kelak malaikat maut yang akan menjemputku adalah malaikat rahmah yang membawa kain kafan dari surga. Walaupun, mungkin aku belum pantas untuk memasuki surga.

Namun, semoga ada belas kasihan Allah atasku. Semoga, cita-cita untuk nertemu Rasulullah SAW, beserta keluarga dan sahabatnya akan benar-benar menjadi kenyataan kelak.

Aamiin Ya Rabb..

Janji Palsu



11 Juli 2018

Kapan kamu mulai belajar berjanji pada orang lain? Lebih dari itu, pada diri sendiri? Maksudku, belajar untuk menepatinya. Jika hanya berjanji, semua orang bisa dengan mudah mengucapkannya. Yang sulit adalah menepati dan menjalankan amanat yang telah dibebankan dengan sebaik mungkin.

Manusia emang kadang suka gitu. Mereka punya ketidaksempurnaan yang secara alami udah ada pada diri mereka sejak bayi brojol dari kandungan.

Ketika kecil, mereka cuman bisa nangis untuk dapat apapun yang mereka inginkan. Kedinginan? Tinggal nangis. Lapar? Nangis aja. Mau buang hajat? Nangis dulu deh. Orang tua paham kok sama kode itu.



Gedean dikit, manusia tetep masih belum bisa mandiri. Belum bisa ngerjain apapun sendirian. Mereka tetep butuh dua malaikat berwujud manusia yang sengaja diciptakan Tuhan buat ngurusin keperluan mereka. Singkatnya, sedari brojol manusia itu bukan apa-apa, nggak bisa ngapa-ngapain kalo nggak ngasih kode-kode rumit yang hanya bisa dipahami sama orang-orang yang audah pengalaman. Sama mereka yang peka pada ketidaksempurnaan alamiah yang Tuhan berikan itu.

Sampai akhirnya remaja bahkan dewasa, manusia kadang masih ada aja yang bergantung sama orang tua untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Mereka butuh satu sama lain untuk saling menyempurnakan.

Baik dari segi rohani dan jasmani, manusia memang sama sekali nggak bisa berjuang sendirian buat terus menerus konsisten, kuat sama apa yang ia pegang selama ini.

Simplenya, untuk bisa berhasil menjadi "orang" beneran, nggak mungkin manusia itu tumbuh tanpa adanya orang lain yang dukung. Tanpa adanya Dzat Allah yang bikin jiwa dan raganya kuat.

Kadang, kita cuman bisa lihat dari hasil yang ia miliki saat ini. Bukan dari proses selama berjuang untuk mendapatkan hasil itu. Berpikir pendek dengan menghubung-hubungkan nasab atau keturunan. Dengan mengungkit-ungkit harta yang nggak habis tujuh turunan. Dengan melihat fisik yang dipikirnya "beruntung" diciptakan Tuhan tanpa cela. Jadi, bakalan mudah untuk bisa mencapai apa-apa yang diingini.

Tapi itu cuma teori. Nggak semua kayak gitu kenyataannya.

Mungkin hanya sedikit orang yang mau bener-bener berjuang dari awal untuk membangun apa-apa yang dia inginkan. Untuk bisa merasakan gimana sih rasanya ada di zona nyaman? Dimana nggak ada lagi yang harus ia khawatirkan, kecuali kematian dan kehidupan setelahnya.

Ada uang, pasangan sayang, jabatan tinggi menjulang, apalagi?

Banyak orang bilang, kayak gitu tuh puncak kesempurnaan hidup di dunia. Ya, hanya dinilai seukuran dunia, yang bagi Allah nggak lebih dari sebelah sayap nyamuk. Lantas untuk akhiratnya gimana?

Sulit lho menjaga iman tetap dalam kondisi prima. Apalagi berharap bisa naik terus prosentasenya setiap hari, setiap hitungan mili sekon.

Menjaga kekerabatan atau hubungan baik sama orang lain, apa itu hal yang mudah? Kadang nggak jarang kan kita bisa tengkar gara-gara hal sepele? Mensyukuri rezeki, dan apapun yang Allah kasih sama kita. Menjaga amanah itu dengan baik, dipikirnya mudah?

Kalo ukuran dunia, kan nggak masuk akal harta yang kita belanjakan di jalan kebaikan (sedekah) lah yang bakal jadi harta terbaik kita di akhirat kelak. Nggak masuk akal emang buat ukuran kita. Manusia dengan pemikiran pendek dan kemampuan otak yang terbatas.

Alih-alih bicara tentang ketidaksempurnaan manusia yang banyak banget, sesederhana menepati janji, termasuk pada diri sendiri pun jika berhasil itu udah sesuatu yang amazing.

Mau bagaimanapun, ketidaksempurnaan yang kita miliki emang nggak bisa diubah atau ditolak mentah-mentah gitu aja.

Tapi, akan lebih baik jika kita menerimanya ketidaksempurnaan itu, sembari berusaha semaksimal mungkin untuk menjadi yang terbaik versi diri kita.

Bilang apapun orang lain tentang diri kita, abaikan. Tapi jangan lupakan. Karena itu akan berarti untuk kemajuan pribadi kita sendiri.

Kata-kata orang lain itu merupakan sebuah pecutan tersendiri. Minimal untuk memacu diri kita menjadi lebih baik. Selebihnya? Senyumin aja. 😌

Katanya, "Hidup nggak harus selalu tentang uang?"



Senin, 9 Juli 2018

Iya. Katanya sih begitu. Kata orang yang dulu punya pekerjaan tetap dan gaji bulanan yang tiap tanggal 28 cair. Dia emang nggak khawatir masalah UANG. Sesuatu yang nggak jarang bisa bikin orang yang tadinya adem ayem tiba-tiba bertengkar. Yang tadinya orang baik-baik mendadak jadi penjahat demi sesuap nasi yang harus dibeli dengan membelanjakan uang itu sendiri.

Dulu, mudah rasanya bilang, "Rezeki Allah itu ada. Nggak pernah tertukar buat setiap mahluknya." Iya, ini teorinya. Gampang banget bilang begini. Prakteknya? Kalau nggak bener-bener usaha keras buat mencapai titik nyaman yang dulu pernah diduduki, bahkan lebih dari itu, ya emang sulit.

Banyak orang bisa jadi gelap mata gara-gara se-sen uangnya hilang. Gara-gara dia nggak punya benda  ini buat sekadar beli makan. Buat sekadar bertahan hidup untuk hari ini aja, misal. Lantas menghalalkan segala cara agar pada akhirnya bisa makan dan tetap hidup dengan sehat wal afiyat.

Tapi tahu apa yang terjadi selanjutnya? Mungkin dia berhasil bertahan hidup. Tapi hidupnya kemudian penuh dengan ketakutan. Jika orang tadi bertahan hidup dengan cara tidak benar yang ia halalkan sendiri, maka jelas akibatnya akan dapat dosa. Selain dosa, tentu akan terjadi pergeseran norma di masyarakat. Dia telah melanggar norma yang selama ini diterapkan baik tertulis maupun tidak tertulis.

Kemungkinan, jika orang-orang mampu menuntutnya ke meja hijau, maka hidupnya akan berantakan dan diliputi penyesalan tak berkesudahan. Jika pun tidak, dan dia ketagihan untuk mengulanginya lagi dan lagi, maka yang ada dia jadi kebal terhadap dosa. Norma agamanya sama Tuhan udah nggak ada. Dia nggak takut apapun, karena dia sendiri udah bikin takut orang-orang.

Benar kata ibu. Uang juga penting buat kehidupan. Minimal cukup untuk bertahan hidup. Sisanya, dicukup-cukupkan.

Jadi, kata-kata anak kecil sok tahu ini tentang, "Uang bukan segalanya dalam kehidupan." Itu emang nggak bisa langsung ditelan mentah-mentah. Bisa keloloden nanti. Haha.

Aku tahu banyak yang lebih penting dari sekadar uang. Tapi, berusaha untuk mendapatkannya dengan kerja keras kurasa adalah sesuatu yang normal. Sebab, apa salahnya berusaha keras sedini mungkin, untuk mendapatkan hasil yang diharapkan, bahkan lebih dari itu di kemudian hari?

Ya, karena kita nggak tahu masa depan. Maka yang ada sekarang, kita hanya harus berusaha menjadi yang terbaik. Mengerjakan kebaikan-kebaikan atau usaha kecil, diimbangi dengan do'a dan sedekah.

Mungkin terlihat mudah. Namun sebenarnya melelahkan juga. Lebih lelah daripada bekerja dengan orang lain. Lelah pikirannya. Karena bagaimanapun harus memutar otak dan mencari jalan keluar terbaik untuk bisa kembali berada di titik aman dan nyaman.

Tuesday, July 10, 2018

Keputusan Prematur?

Febri - Aku - Amara


2 bulan yang lalu, tepatnya tanggal 18 Mei 2018. Aku resmi berhenti dari pabrik tempatku bekerja. Ya, aku resign atau mengundurkan diri secara baik-baik dari Hitachi Electronics Product Malaysia Berhad.

Bukan tanpa alasan aku berhenti. Tidak mungkin juga sebenarnya jika harus menyia-nyiakan begitu saja gaji setara PNS di negeri sendiri. Namun, demi mengejar cita-cita serta mengikuti naluri hati dan jiwa. Aku rela meninggalkan semua kenyamanan di negara tetangga.

Jujur, bisa kukatakan bahwa keputusanku untuk mengundurkan diri hanya bermodal nekad, keyakinan, serta riap-riap do'a yang bahkan kadang lupa untuk kupanjatkan. Namun, entah bagaimana Allah melancarkan segalanya.

Langkah kakiku dituntun-Nya untuk melangkah saja tanpa ragu. Haha. Mengingat bagaimana hatiku berdebar tak karuan ketika menyampaikan gagasan untuk berhenti bekerja, sebelum habis kontrak pada HRD. Bagaimana saat aku menulis surat pengunduran diri tanpa sepengetahuan teman-teman sekamarku. Bagaimana aku memberikannya dengan wajah pias pada HRD. Bagaimana saat akhirnya mereka menyetujui keinginanku dengan beberapa syarat yang harus kupenuhi.

Bagaimana saat aku sendirian mendorong-dorong trolly di bandara. Bagaimana saat ternyata aku kelebihan bagasi dan harus membayar biaya tambahan yang lumayan. Bagaimana saat aku menjejakkan kaki kembali ke tanah air.

Bagaimana saat aku dan bapak menerobos hujan demi bisa melihat lokasi ujian. Bagaimana saat aku ciut nyali di ruang ujian, yang kemungkinan sebagian besar dari mereka adalah fresh graduate, lulusan pesantren, dan lain sebagainya. Sedangkan aku hanya seorang lulusan smk, itu pun sudah 2 tahun yang lalu.

Ya, semua momen itu kembali terputar di kepalaku bagaikan film layar lebar yang kini ditonton banyak orang.

Dan hari ini, aku hanya tidak menyangka bahwa akhirnya Allah mengabulkan riap-riap do'aku dengan cara yang berbeda.

Alhamdulillah

Memang bukan Semarang, Jakarta, Yogyakarta, apalagi Bandung. Tempat-tempat yang sebenarnya ingin kutinggali untuk perjalanan kehidupanku selanjutnya. Namun, Allah tetap mengabulkan karena menggantinya dengan Salatiga. Ya, tempat yang juga asing dan belum pernah kukunjungi sebelumnya.

Tidak mengapa. Mudah-mudahan, ini adalah awal dari perjuanganku yang sempat tertunda 2 tahun yang lalu. Tidak ke Sastra Inggris Semarang, Alhamdulillah ke Sastra Arab Salatiga. Hehe.

Aku tidak tahu ini berlebihan atau tidak. Hanya saja, aku merasa sangat bersyukur kepada Allah telah diberi kesempatan ini.
Memang kuakui. Bukan aku yang hebat. Tapi Allah-lah yang Maha Baik.

Alhamdulillah sekali lagi. Ini masihlah awal dari segala perjuangan yang kucita-citakan itu. Aku baru sampai di pintu gerbang yang terbuka. Belum sampai melangkahkan kaki ke dalam untuk melihat-lihat. Apalagi sampai tinggal dan menetap. Belum. Ini masih hanya soal waktu.

Bismillah. Dengan menyebut nama Allah, semoga Dia memberkahi langkah-langkah selanjutnya. Karena jika memang jalanku telah Ia tetapkan untuk memperjuangkan sesuatu yang Allah ridhai, insyaAllah semuanya akan menjadi mudah.

Pun, terima kasih setulus-tulusnya kepada teman-teman yang sudah mendoakan kebaikan untukku. Semoga, kelak Allah membalasnya dengan berlipat ganda, insyaAllah.



📝rismariesttt


Sunday, July 8, 2018

Polyglot


Polyglot. Kata ini beberapa hari yang lalu kuketahui dari internet. Kemudian, karena penasaran aku terus mencari tahunya di Youtube. Sampai pada akhirnya, kurasa aku mulai menyukainya. Dan rasanya, ingin sekali aku bisa menjadi seperti mereka. Mnguasai banyak bahasa, sepertinya menyenangkan, bukan?

Aku lupa kapan tepatnya aku menuliskan ini di dinding kamarku. Yang selanjutnya selalu bisa kulihat setiap hari. Setiap akan tidur, dan hendak tidur.

Kurasa, itu di tahun-tahun ketika aku masih SMK antara kelas 2 atau kelas 3. Ya, saat itu aku benar-benar bersemangat ingin mempelajari beberapa bahasa tersebut. Hingga memiliki wacana untuk menuliskan beberapa kosa kata dengan arti yang sama di dinding kamar untuk kuhafal kemudian. Tapi, nyatanya itu hanya sebuah wacana.

Entahlah. Apa yang terjadi pada diriku saat itu. Seingatku, diriku yang saat itu sedang sangat terobsesi dengan K-Wave, Halyu atau lebih dikenal dengan K-Pop, ingin sekali rasanya bisa fasih berbicara layaknya para oppa dan eonni Korea. Bahkan, sekali waktu ingin berkunjung ke Negara Ginseng tersebut.

Pun juga, kelas 2 SMK adalah saat dimana aku begitu suka mendengarkan lagu One Ok Rock. Band asal Negara Matahari Terbit itu mampu menyihirku untuk juga ingin mempelajari bahasa ibu mereka, bahasa Jepang.

Bahasa Inggris. Tentu saja semua orang ingin menguasainya, bukan? Selain bahasa tersebut merupakan bahasa internasional, bagiku mampu berbahasa Inggris adalah salah satu soft skill yang akan berguna ketika hendak mendaftar pekerjaan dengan prospek kerja yang bagus.

Lalu bagaimana dengan Bahasa Arab? Kupikir, yang satu ini lain lagi. Ceritanya panjang sekali. Dan kurasa, aku baru menyadarinya belakangan ini.

Dulu, aku mengenal bahasa Arab sejak aku bisa berbicara. Orang tua serta keluargaku yang mengajarkannya. Awal sekali aku tahu bahasa ini adalah ketika mereka mengajariku bagaimana bacaan-bacaan yang harus dibaca saat sholat. Kemudian, setelah mereka merasa bahwa aku cukup mampu untuk melafalkannya, dibawalah aku ke guru ngaji yang ada di kampungku.

Namanya mbah Juni. Dari cerita yang kudapat, beliau merupakan pensiunan guru agama yang ternyata lulusan pondok Lirboyo yang ada di Kediri. Meski fisik dan perawakannya sudah sepuh, namun mbah Juni masih dalam kondisi prima mengajari murid-muridnya.

Di rumahnya yang sederhana, mbah Juni mengajari puluhan muridnya dengan sistem mirip kelas yang berjenjang. Paling rendah adalah bagi anak-anak usia balita. Mereka diajarkan untuk menghafal bagian-bagian akhir Juz 30. Dari surah At-Takasur sampai terakhir surah An-Nas. Setingkat lebih tinggi, diajari tentang cara membaca Iqra', bukan metode Al Baghdadiyyah atau yang lebih dikenal dengan "Turutan".

Di tingkat selanjutnya, mbah Juni juga mengajari murid-muridnya membaca Al-Qur'an dari juz 1 sampai juz 30. Dan yang terakhir, beliau mengajari kami membaca kitab-kitab. Aku lupa tepatnya berapa kitab yang sudah kubaca dan pelajari. Yang jelas, mbah Juni begitu telaten mengajari kami. Ya, walau memang tak kupungkiri dengan beberapa marah-marah kasih sayang. Karena ada murid-muridnya yang nakal, atau kadang sulit menirukan apa yang ia ajarkan.

Sejak aku masuk TK kecil sampai lulus SD, setiap sore pukul 3 atau pukul 4 aku selalu sudah siap untuk berangkat mengaji. Saat itu, ibu dan bapakku yang selalu mengantar bahkan menunggui. Hingga pada akhirnya, khatam Al-Qur'an pertamaku terjadi di kelas 4. Alhamdulillah.

Kurasa, 8 tahun lebih aku bertahan di pengajian yang diampu mbah Juni. Akrab sekali dengan bahasa Arab. Hanya saja, saat itu minat untuk mempelajari bahasa ini belum tumbuh merebak seperti saat ini. Baru mulai merekah lagi setelah 8 tahun kemudian, saat ini.

Ketika SMP, saat itu jadwalku berubah drastis. Pulang sekolah paling awal pukul 2 siang. Selebihnya selalu ada pelajaran tambahan sampai pukul 3 sore, bahkan lebih. Jadi, aku terpaksa memutuskan untuk tidak lagi belajar mengaji di tempat mbah Juni. Kemudian menggantinya dengan mengaji sendiri di rumah.

Sebenarnya, banyak kenangan manis yang masih kuingat sampai sekarang. Apalagi saat bulan Ramadhan datang. Bukan hanya setiap Ashar saja aku pergi mengaji. Namun selepas Maghrib, dan selepas Subuh setelah sahur. Dengan menahan kantuk yang tak tertahankan, tak jarang aku atau teman-temanku menguap lebar disertai "Haaaaah" panjang di akhirnya. Sesekali mbah Juni menegur, membuat kami malu sendiri melakukannya.

Menuliskan cerita ini, impianku menguasai bahasa Arab, juga mimpi baru untuk menjadi Polyglot. Lebih dari itu, aku merindukan sosok mbah Juni. Seorang guru ngaji tanpa pamrih. Beliau, yang di masa tuanya masih tetap menerima kedatangan murid-murid baru, mengajari mereka sampai fasih membaca Al-Qur'an dan kitab-kitab. Mengenang wajah galaknya yang lembut, sesekali tersenyum dengan giginya yang ompong.

Sungguh, aku rindu saat-saat itu. Wajah-wajah polos teman-temanku, obrolan-obrolan sederhana kami yang tanpa gadget, tanpa kesibukan masing-masing. Ah, sudah lama sekali rasanya.

Setiap lebaran datang, dulu aku selalu mengunjungi rumahnya. Menanyakan kabar, dan lain sebagainya. Tapi terakhir kalinya adalah dua tahun yang lalu. Tahun ini, entah kenapa hanya menjadi wacana.

Namun, melalui tulisan ini, aku senantiasa mendoakan kebaikan kepada beliau. Mungkin, aku memang tidak sanggup membalas jasa-jasa beliau dan keluarganya kepadaku atau teman-temanku selama ini. Tapi, insyaAllah segala kebaikannya akan mendapat balasan yang lebih baik di sisi Allah. Aamiin..

Terima kasih mbah Juni.. Engkau, sungguh guru terbaik yang pernah kupunya.

Saturday, July 7, 2018

Review (mungkin) : Tentang Kamu

Aku tidak habis pikir pada diriku sendiri. Menenggelamkan diri selama hampir 24 jam, menyelami buku ini, kemudian melumatnya sampai habis. Maksudku, tentu saja tidak 24 jam penuh aku terus membaca

Namun, kau tahu? 500 halaman bukanlah sesuatu yang mudah. Bagiku, prestasi pertamaku menghabiskan buku tebal terakhir kalinya adalah saat masih kelas 3 smp. Ketika membaca buku Sepatu Dahlan setebal 300an halaman. Itupun karena tenggat waktu yang diberikan si empunya buku. Ya, dulu aku selalu meminjam. Tidak sanggup untuk membelinya sendiri

Tidak sesederhana judulnya, "Tentang Kamu" menyuguhkan sebuah kisah berbeda, yang bahkan dari awal bab sudah salah kutebak. Kupikir, Tere Liye akan kembali membuat pembaca jatuh cinta pada tokoh utama yang diceritakan mengalir di dalam cerita. Seperti dalam novel "Hujan"

Jujur, walaupun sudah 2 tahun yang lalu aku membacanya, aku masih tidak bisa melupakan bagaimana setiap adegan yang ditulis apik oleh Tere Liye. Kisah tentang Lail dan Esok yang bergenre Science Fiction. Berlatar masa depan saat kelahiran bayi ke 1 milyar diumumkan. Ah, entah aku lupa latar waktu di buku itu tahun berapa

"Tentang Kamu". Sebenarnya, sudah lama aku memiliki buku ini. Kurasa, aku membelinya tahun lalu. Saat berita masif beredar bahwa tahun depan, buku Tere Liye tidak akan beredar lagi. Ya. Aku termasuk satu dari sekian banyak fans beliau yang merasa kecewa. Kemudian membelanjakan separuh tabunganku, demi membeli buku-buku beliau yang belum sempat kubaca

Aku tidak tahu apakah ini bisa disebut kegilaan atau bukan. Namun, yang kutahu aku midah sekali jatuh cinta. Termasuk pada karya-karya epic semacam yang ada di buku ini

Kisah ternyata tidak terfokus pada tokoh pertama yang diceritakan, Zaman Zulkarnaen. Bukan. Melainkan, klien firma hukum tempatnya bekerja yang telah meninggal dunia. Uniknya, klien tersebut meninggal dengan aset sebesar 19 triliyun rupiah tanpa ahli waris

Ah, mungkin aku terlambat membaca  novel sebagus ini. Tidak apa. Aku tetap bersyukur karena pada akhirnya berhasil menamatkan kisah hidup seorang anak pelaut tangguh, bernama ibu Sri Ningsih

Aku tidak tahu kisah ini betulan terjadi atau tidak. Yang jelas, dalam beberapa bab sekali baca, aku langsung terkesima. Dengan jalan cerita, dan gaya bahasa Tere Liye yang begitu cerdas ketika mengungkapkan bagaimana masa lalu ibu Sri, hingga akhirnya Zaman benar-benar berhasil memecahkan kasus tersebut

Masa kecil Sri Ningsih yang begitu memilukan, masa remajanya yang memuat pengkhianatan, masa dewasanya yang berhasil memiliki pabrik besar di ibu kota. Lalu saat beliau menghabiskan waktu di London, bekerja sebagai supir bus perempuan sekaligus bertemu suaminya yang berkebangsaan Turki, lalu kehilangan semuanya. Bayi-bayi sekaligus suaminya. Kemudian menghabiskan waktu di panti jompo Kota Paris. Mengajar sekolah menari sampai keliling dunia. Hingga meninggalnya beliau dengan damai di lanti jompo

Sungguh. Aku benar-benar membayangkan jika kisah ini betulan ada di dunia. Akan sangat beruntung sekali orang-orang yang pernah ditemui dan dikenal oleh sosok bernama Sri Ningsih. Pribadi seserhana, namun dengan pemikiran yang tak pernah sesederhana kelihatannya

Pada akhirnya, novel ini sukses menumbuhkan motivasi di hatiku. Tak hanya mengandalkan mimpi dan angan-angan besar, namun juga semangat juang dan pergerakan yang konstan untuk tidak menyerah

Ah, rasanya ingin juga menulis kisah semacam ini. Semoga. Semoga suatu hati nanti aku bisa menepati janji ini. InsyaAllah..

📝rismariesttt