Friday, December 25, 2015

PASSPORT TO HAPPINESS GIVEAWAY - GAGAS MEDIA DAN ACER




“Perjalanan itu menyembuhkan.”

Adalah sedikit dari sekian banyak quote indah dari buku terbaru kak Ollie, Passport To Happiness terbitan Gagas Media. Yang juga merupakan buku yang menjadi tema dari Give Away dari Gagas Media ini dengan judul yang sama, Passport To Happiness. Passport menuju kebahagiaan.

Bicara tentang bahagia, sebenarnya aku adalah siswi kelas 3 SMK penganut paham, ‘bahagia itu sederhana’. Ya, tak ada sesuatu yang benar-benar mewah di dunia ini. Karena semua yang diciptakan-Nya, kelak hanya menjadi fatamorgana dan fana belaka. Semua yang ada akan tiada suatu hari nanti. Tapi, dunia yang fana ini adalah labuhan hidup yang sangat menentukan bagaimana hidup kita kelak di tempat kekal suatu hari nanti, kampung akhirat.

Hmm.. Kembali  ke bahasan utama Give Away ini. Passport To Happiness, perjalanan menuju kebahagiaan. Seingatku, tempat-tempat yang pernah kukunjungi selama hidupku tidak seindah tempat yang diceritakan kak Ollie dalam bukunya. Maupun yang teman-teman lain ceritakan dalam event ini. Namun setelah banyak mengingat, akhirnya aku menemukan beberapa tempat yang pernah membuatku bahagia. Beberapa perjalanan menuju tempat itu, yang membuatku bahagia. Ingatanku mengawang pada perjalanan-perjalanan yang pernah kulakukan beberapa tahun silam atau bulan-bulan lalu.

Pertama, beberapa bulan yang lalu, sekitar pertengahan bulan September. Aku bersama kelima temanku: Ayuk, Noki, Aqil, Berno, dan Wawan. Berkunjung ke Hutan Mangli, di daerah Grabag, Magelang, Jawa Tengah dalam rangka keperluan syuting film untuk lomba yang akan kami ikuti. Kami berenam berangkat dari Borobudur pukul 9 waktu itu. Menyusuri jalan raya Magelang sekitar satu setengah jam dengan motor. Membuat pantat ini panas rasanya berlama-lama duduk di jok motor. Hmm, walaupun hanya sekadar membonceng, tapi rasanya tetap capek! Di sepanjang jalan, aku melihat deretan pinus yang seperti menyengat  penglihatanku yang mulai terkantuk-kantuk. Sungguh, deretan pohon pinus yang rindang dan dingin itu mampu membius mataku seketika itu juga. Hutan Mangli, tempat para pinus hidup dan berdiri dengan kokoh ini baru kutahu terletak di kaki Gunung Andong. Sungguh kebetulan yang membahagiakan! Ingin rasanya aku mengajak teman-temanku itu mendaki Gunung Andong yang sangat terkenal di kalangan para pendaki itu. Tapi, tidak lucu kan kalau mendaki gunung di siang hari bolong? Haha. Akhirnya kami pun hanya bisa menikmati jajaran pinus yang melingkupi kami bak sejuta tabir yang memisahkan antara langit, udara bebas, dan tanah tempat kami berpijak. Suasana dingin mendominasi hutan pinus yang permai ini. Dalam hati, aku berjanji pada diriku sendiri untuk kembali ke tempat ini. Selain itu, Hutan Mangli memberiku kenangan tentang persahabatan antara laki-laki dan perempuan yang seharusnya tetap menjadi sahabat saja, bukan lebih. Ya. Sekarang, aku banyak belajar dari para pinus yang sedang memenuhi memori dalam ingatanku. Untuk tidak pernah berharap lebih pada seorang teman. Untuk tetap berdiri dengan kaki sendiri dengan kokoh dan gagah. Meskipun bersama-sama, terkadang juga menyenangkan. Senyum getir akhirnya menghiasi wajahku setelah mengingat kembali kenangan yang  telah berlalu itu. Namun setidaknya, aku pernah bahagia bersama mereka.


Kedua, saat aku masihlah seorang anak kecil enam Sekolah Dasar dengan segala kepolosannya. Masih segar dalam ingatan. Ketika dulu, aku sering bersepeda sepanjang pagi, pun siang, bahkan sore bersama teman-temanku. Ke persawahan, jalanan berbatu, perkampungan penduduk desa lain, kemanapun! Asalkan perjalanan yang ku lalui bersama mereka, aku merasa hidup ini lebih hidup. Seakan dunia ini, Tuhan ciptakan hanya untuk kami, bersepeda dan mengembara. Aku ingat saat semua temanku – dengan sepeda mereka masing-masing, dan seragam yang masih mereka kenakan. Berkumpul di depan rumahku, menghampiriku, mengajakku bersepeda kemanapun angin akan membawa kami berkelana menjelajahi semesta. Lalu dengan senyum yang kelewat lebar, aku tak sabar mengucap salam pada ibu dan bapakku, seraya berpamitan mencium tangan mereka. Begitulah seterusnya setiap hari sepulang sekolah. Nana, Erni, Monika, Mukas, Fajar, Tyo, Bagus. Tujuh nama yang tak akan pernah ku lupa. Mereka selalu berjasa setiap harinya. Membuat senyum di bibir ini tak pernah redup karena kebahagiaan yang mereka berikan. Ya, setidaknya asalkan bersama mereka, ke manapun tujuannya, aku bisa bahagia. Sayang, mengabadikan momen dalam bentuk foto belumlah terlalu penting bagi kami saat itu.

Pada akhirnya, waktu membawaku bersama kenangan-kenangan tentang bahagia itu dalam tahap menuju kedewasaan diriku.

Ketiga, ketika aku memasuki tahun-tahun pertama di Sekolah Menengah Pertama. Senang sekali rasanya, aku mampu memasuki sekolah favorit di daerahku. Namun karena letak sekolah dengan rumahku yang cukup jauh, membuat bapak jadi ikut-ikutan aku berangkat ke sekolah. Sederhananya, bapak jadi harus meluangkan waktunya setiap pagi untuk mengantarku dengan motor jadulnya. Tapi, disitulah letak bahagianya. Bukan tentang seberapa bagus jalan yang kami lalui untuk menuju sekolahku itu. Tapi tentang momen bersama bapak yang selalu bisa kunikmati setidaknya setiap hari di pagi hari. Kali ini, aku benar-benar menjadi penganut paham, ‘bahagia itu sederhana’. Ya, sesederhana berangkat ke sekolah dengan membonceng motor jadul bapak. Beranjak dewasa, membuat arti dari bahagia menjadi sesederhana itu.

Sekolah. Tempat menimba ilmu, memupuk mimpi, mengasa harap, menambah pengalaman, mencari teman, bahkan mengisi waktu luang. Sekolah selalu se-krusial itu dalam pikiranku. Pun momen di pagi hari saat aku kembali melalui perjalanan menuju ke sekolah bersama bapak. Bapak. Pria inilah yang tak pernah letih atau pun bosan untuk mengantarku berangkat ke sekolah setiap paginya. Seperti aku ini pelanggan ojeknya yang sangat setia. Haha. Tapi tidak seperti itu, kok. Aku hanya ingin saja selalu menikmati momen kebersamaan dengan bapak sebelum akhirnya aku tak bisa menikmatinya lagi. Sensasi duduk di belakang kemudi bapak adalah yang selalu ku rindukan tatkala hari-hari libur seperti hari ini (saat aku menulis, ini hari libur). Aku mendadak bersyukur masih bisa merasakan kasih sayang seorang bapak yang sangat dalam dan murni terhadap putri kecil kesayangannya ini. Hmm, bapak tak terlalu suka difoto.
Keempat, tempat dimana akhirnya aku selalu pulang. Tempat yang merupakan muara dari setiap perjalanan yang ku tempuh. Rumah. Aku selalu bahagia berada di rumah. Pun jalan menuju pulang ke rumah. Tempat semua penatku akhirnya terobati. Tempat segala harapan, mimpi, serta kebahagiaanku bermula dan akhirnya berakhir pula. Rumahku adalah rumah sederhana yang dipenuhi banyak jendela. Rumah dengan ruangan-ruangan sederhana, dengan sekat-sekat yang sering. Sekat yang membagi semua ruangan dengan bagian-bagian yang membuat ruangan dari rumah ini terkesan ‘banyak’. Ya, rumah kecil dengan dinding separuh triplek, dan separuh lagi batu bata yang dingin, namun hangat karena kasih sayang dan keharmonisan. Aku tumbuh dan besar di tempat ini. Aku menjadi diriku yang sekarang karena tertempa di tempat ini juga. Aku yakin, tak ada tempat indah selain rumahku sendiri. Karena sesederhana atau seburuk atau sebagus apapun kondisi rumahku, ia tetaplah rumahku. My home sweet home. Ini ayah, ibu dan adik kecilku. Aku yang memfoto.

Kesimpulannya, setiap tempat selalu mempunyai kisah dan bahagianya sendiri-sendiri. Entah itu jauh atau dekat. Sederhana atau mengagumkan. Kuno atau modern. Asalkan bersama orang-orang terkasih, mudah-mudahan bahagia itu tak perlu dicari. Tapi datang dengan sendirinya.

Dan pada akhir dari tulisan ini, aku hanya ingin sedikit curhat. Haha. Ya, aku mengikuti Give Away dari Gagas Media ini tentunya mengharapkan hadiah yang diiming-imingkan. Apalagi kalau bukan smartphone alias hp? Hehe, jadi sebenarnya begini, saat aku pergi ke suau tempat bersama teman-temanku, salah seorang teman meminjam hpku. Dan karena sesuatu yang membuatnya antusias, tanpa sadar ia menjatuhkan hpku yang membuat layarnya menjadi pecah seperti ini.
Huhuhu. Sedih sekali rasanya menggunakan hp tak beres ini selama 4 bulan terakhir ini. Sedih juga karena temanku itu tidak mengganti biaya ganti rugi secara penuh. Huhu curhat lagi ini :’( Pada akhir sekali dari tulisan ini aku hanya bisa berdo’a satu hal pada Allah untuk bisa membujuk admin Gagas Media dan pihak Acer untuk melirik tulisanku ini lalu memenangkannya sebagai pemenang smartphone Acer itu semoga :D
Hahaha ngarep pisan euy :D

Tuesday, December 15, 2015

Sabtu Malam



Sabtu malam pukul tujuh lebih enam belas menit. Sabtu yang dingin dengan hujan. Sabtu yang gelap karena malam. Sabtu malam yang kelam. Sabtu kedua tanpa percakapan AKU dan KAMU.
Sebenarnya, aku sudah sangat mengantuk sekarang. Padahal baru pukul tujuh. Mungkin karena Matika yang kuperjuangkan pagi tadi, telah banyak menguras energiku untuk malam ini. Untuk bergadang menyelesaikan sesuatu yang pernah ku mulai bersamanya. Sesuatu yang merupakan buah dari pemikirannya. Sesuatu yang masih bersisa dari KITA. Dan yup, ternyata aku menuliskan perihal tentang kamu tanpa ku sadari. Seakan, menulis tentangmu adalah kebiasaan yang kini dengan sangat terpaksa harus ku tinggalkan ketika pada akhirnya aku mulai terbiasa.

Merelakan dalam hubungan yang kau mulai lalu kau usai sendiri ini, bagiku sangat sulit. Cukup sakit jika terus saja kupaksakan. Ingin rasanya aku berhenti saja menjauhimu. Ingin rasanya aku kembali saja berjalan ke arahmu. Kalau perlu aku kan berlari agar cepat sampai. Lalu dengan segala rasa atas nama rindu yang sudah tumpah-tumpah dari wadahnya, aku ingin segera berhambur memelukmu.
Tapi bicara apa aku ini? Masihkah seorang teman perempuan memiliki hak untuk berbicara perihal cinta kepada teman laki-lakinya? Masihkah boleh seorang teman perempuan dengan sangat berharap menginginkan kabar dari teman laki-lakinya? Masihkah tidak apa-apa jika temanmu ini memikirkan dan mengharapkan hal-hal semacam itu?

Karena kehilangan, adalah hal yang paling lama disesap waktu dalam tahap peratapan sakit cinta ini. Dia tak akan bisa menghilang secepat itu dari sebentuk hati yang pernah sama-sama merasakan indahnya cinta. Itu bagi hatiku, sih. Bagaimana hatimu, peduli apa temanmu ini?
Teman. Teman katamu?

Apa ini yang namanya teman: jika bertemu tak saling sapa. Jika dalam satu ruang dan waktu yang sama tak saling tanya. Jika perpisahan ini akhirnya hanya meninggalkan berkas-berkas kebencian antara kita. Teman katamu? Jika semua yang pernah kita bangun bersama harus berakhir senista ini.
Teman adalah seorang sahabat, kawan, seseorang yang ada disaat orang lain membutuhkannya. Pun sebaliknya. Teman merupakan hubungan mutualisme dari dua orang atau lebih yang saling memiliki keterikatan emosional.

Jika aku benar seseorang yang kau anggap temanmu, biarkan aku berekspresi. Karena seorang teman selalu mendukung temannya, bukan? Karena seorang teman tidak mungkin dengan tega meninggalkan temannya disaat tersulitnya, bukan? Seorang teman itu pendukung, penyemangat. Bukannya acuh tak acuh dan justru penurun mood.

Permintaan terakhirku sebagai seseorang yang pernah mencintaimu adalah: izinkan aku tetap ada dalam hidupmu (bukan hati dan pikiranmu) sebagai orang yang tetap kamu butuhkan. Karena ketahuilah, berlepas diri atasmu tidaklah semudah kelihatannya. Tidak pula sebercanda perasaanmu terhadapku.

Sabtu malam adalah yang paling istimewa, sepertimu. Terimakasih atas segalanya, temanku tersayang.

Monday, December 7, 2015

Teruntukmu..



                Satu hari tanpa percakapan denganmu.
Aku, adalah tunggu menjelma sabar yang selalu menantimu kembali (lagi).

Aku, adalah kasih sayang di antara kita yang belum benar-benar kita sempurnakan.

Aku, adalah rasa tak ingin kehilangan yang nyatanya sesegera mungkin kau usir pergi.

Lalu aku menjadi kenangan tentang kita yang tak ingin benar-benar usai.

Lalu aku menjadi kehilangan yang sampai saat ini masih harus kau suruh bertahan sendiri.

Hingga pada akhirnya, aku adalah aku yang menyayangimu dengan tulus.

Aku, bahkan tak pernah tau bagaimana denganmu? Karena rasa peduliku saat ini hanya memperkenalkan siapa aku setelah tak lagi kau perhatikan.

Aku, hanya tak ingin kau campakkan!

Aku, hanya tak ingin hangat percakapan kita usaikan!

Aku, hanya tak ingin kita buru-buru kembali menjadi aku dan kamu!

Tapi kamu, apakah sudah melupakannya? Melupakan semua yang pernah kita ciptakan? Melupakan semua yang belum sempat kita sempurnakan, lalu dengan tanpa alasan memilih untuk terburu pergi?

Sungguh, jemariku seperti tersengat oleh sesuatu bernama rasa yang menggebu untuk mengungkapkan semua kekesalanku padamu. Perasaan sangat marah karena kau sukai tanpa alasan, kemudian kau tinggalkan tanpa alasan pula.

Rasanya aku ingin pergi tapi tak mampu.

Rasanya aku ingin meninggalkan tapi tak mau.

Rasanya aku ingin kita kembali menjadi kita, tapi ku ragu. Setelah kau kecewakan dengan percuma. Karena perasaan ini hanya kau anggap bual belaka.

Kumohon, jangan begini padaku. Aku yakin kamu ingin serius denganku. Tapi apa ini keseriusanmu yang sebenarnya? Apa ini yang kau sebut rasa sayangmu kepadaku yang sesungguhnya?

Datang dan pergi sesuka hati tanpa alasan. Tidakkah kamu pikir kamu begitu egois? Meninggalkan gadis kecil ini sendirian. Tega sekali kamu!

Sungguh tak apa jika kamu memintaku harus kembali sendirian. Tapi setidaknya, berikan aku alasan! Agar aku dapat dengan ikhlas merelakan! Maka, nantinya aku juga bisa pergi dengan senyuman.