Tuesday, February 19, 2019

Tantangan 2 RCO - Cerpen "Al-Ma'un"


Aroaital ladzii yukadzibu biddiin. Fa dzaalikal ladzii yadu’ul yatiim…”

Setiap sore selepas Ashar, langgar samping rumahku selalu ramai oleh anak-anak dari usia TK sampai SD yang belajar mengaji dengan Ustadz Fanani. Aku sendiri sudah hampir empat bulanan ini mengikuti pengajian bersama beliau secara rutin. Namun, selama tiga bulan terakhir Ustadz Fanani selalu mengajari kami untuk membaca dan mengupas satu surat yang sama, yakni surat Al-Ma’un.

Aku tidak tahu mengapa beliau dengan gigih bertahan pada satu surat tersebut tanpa sedikitpun hendak beranjak ke surat lain. Seusai mengaji, aku dan beberapa teman sering berbisik-bisik tentang mengapa Ustadz Fanani tidak juga mengajarkan kami untuk naik ke surat lain. Beberapa teman bahkan mengajakku untuk berhenti mengaji kepada beliau, dan memilih mengaji sendiri di rumah. Namun, aku menolak ajakan itu karena masih penasaran dengan apa sebenarnya tujuan beliau.

Akhirnya, mau tidak mau aku memberanikan diri untuk bertanya tentang apa alasan beliau sebenarnya. Walaupun ada ketakutan tersendiri di dalam hatiku saat hendak menyampaikan pertanyaan ini, namun rasa penasaranku jauh lebih besar daripada ketakutan itu. Maka dari itu, kuputuskan setelah mengaji sore nanti, akan kuputuskan untuk bertanya langsung pada Ustadz Fanani.

Benar saja, sore ini Ustadz Fanani masih belum bosan mengajarkan kami surat Al-Ma’un. Mulai dari membacanya, mengerti artinya, dan bisa memahami per kata yang dimaksud. Setelah pengajian usai, aku memberanikan diri untuk menghadap Ustadz Fanani yang belum beranjak dari tempat duduknya.

“Assalamualaikum, ustadz. Maaf sebelumnya, apakah saya boleh bertanya sesuatu?”

“Waalaikumussalam. Baik, silakan Danu! Mau bertanya apa?” Ustadz Fanani tersenyum lebar seperti biasa. Membuatku segan lantas menundukkan kepala.

“Maaf sebelumnya ustadz. Sebetulnya, saya dan teman-teman sudah dari lama ingin menyampaikan hal ini. Namun, tidak ada di antara kami yang berani menanyakan secara langsung kepada ustadz. Jadi, selama ini kami hanya berbicara di belakang ustadz saja,” jelasku. Rasanya senyuman itu menagih segala unek-unek yang tersimpan di hatiku. Hingga semua yang tadinya tak ingin dan tak perlu untuk kukatakan keluar semua dari mulutku.

“Langsung saja, Danu,” suruh Ustadz Fanani.

“Oh, yaya. Begini tadz, sebetulnya apa motivasi atau alas an Ustadz saat mengajari kami untuk selalu membaca surat Al-Ma’un berikut artinya? Padahal, hanya mengajinya selama beberapa hari saja kami sudah hafal, tadz. Jadi, kenapa ustadz tidak juga mengajari kami surat yang lain dalam Al-Qur’an?” dadaku benar-benar lega sekarang. Meskipun saat mengucapkannya hanya beberapa kali aku menatap mata Ustadz Fanani, selebihya aku hanya menundukkan kepala.

Lagi-lagi hanya senyum yang terkembang di wajah Ustadz Fanani. Sementara itu, tidak ada sanggahan atau kata-kata yang keluar dari mulut beliau selama beberapa saat. Kurasa, beliau justru lama memperhatikanku yang terus menunduk sambil menahan berbagai perasaan yang campur aduk ini.

“Begini anakku Danu. Kamu pernah tau ceritanya KH. Ahmad Dahlan pendiri organisasi Muhammadiyah itu tidak?” Ustadz Fanani memulai jawabannya dengan pertanyaan.

“Saya rasa belum, tadz,” jawabku jujur. Karena dari kecil sampai aku kelas 4 SD ini, ibu dan sekolah hanya mengajariku pelajaran agama praktis yang langsung bisa dipraktekkan seperti rukun islam, rukun iman, nama-nama serta sifat wajib dan mustahil Allah. Ajaran-ajaran yang kuterima sampai saat ini adalah ajaran umum yang ada dalam Islam. Sedangkan untuk sejarah tokoh-tokoh Islam aku belum terlalu mengetahuinya.

“Jadi, selama ini aku mengambil pelajaran KH. Ahmad Dahlan tersebut sebagai contoh untuk kuterapkan pada masa sekarang ini. Dulunya, awal beliau berdakwah ialah dengan mengkaji Surat Al-Ma’un bersama murid-muridnya. Jadi, pertanyaan seperti yang kau sampaikan tadi juga pernah ditanyakan oleh murid KH. Ahmad Dahlan sebelumnya,” Ustadz Fanani mengubah posisi duduknya menjadi berselonjor setelah tadi beliau selalu bersila. Sedangkan aku sedikit terkejut dengan apa yang beliau sampaikan.

“Lalu bagaimana jawabannya, tadz?” desakku tak sabar.

“Apakah kau sudah mengamalkan surat Al-Ma’un yang sudah kau baca dan hafal semua arti berikut tafsirnya pada hampir 100 hari itu?” Ustadz Fanani mengalahkanku dengan telak. Aku menggeleng dengan kepala masih tertunduk, dan jantung masih berdegup kencang seolah hendak melompat dari tempatnya.

“Lalu, jika nanti aku mengajarkan surat yang lain, akankah kau melupakan arti dan tafsiran ayat-ayat Al-Ma’un yang sudah kau baca itu?” daam hati aku tidak yakin bisa menjaganya. Lantas, kugelengkan kepalaku sekali lagi.

“Bagus. Jadi, kau sudah tahu jawabannya, kan kenapa aku belum mengajarkan surat lain untuk kalian? Karena bagiku, mengamalkan apa yang kita baca adalah sebuah keharusan. Maka dari itu, aku juga ingin para muridku bisa melakukan hal yang sama.” Ustadz Fanani mengakhiri penjelasannya. Ditariknya kedua kaki dari posisi selonjornya untuk kemudian berdiri. Sambil tersenyum, beliau menatapku lalu mengucap salam.

“Assalamualaikum. Aku yakin kau akan memahaminya cepat atau lambat Danu.”

“Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh. Aamiin, insyaAllah ustadz. Terima kasih,” aku masih terbengong di tempat dudukku.

Sementara bertanya dalam hati, “Bagaimana agar anak kelas empat SD ini bisa memahami secara cepat atau lambat?”
This entry was posted in

0 comments:

Post a Comment