Monday, February 25, 2019

Review Buku : Setelah Membaca Okky Madasari


Judul : Maryam
Penulis : Okky Madasari
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun Tebit : 2012
Genre : Novel
Jumlah halaman : 275
ISBN : 978-979-22-8009-8
Rating : 8/10

Kemarin saya baru saja menamatkan sebuah novel epik buah karya Okky Madasari. Siapa gerangan beliau? Perempuan kelahiran 30 Oktober 1984 ini merupakan salah satu penulis sekaligus jurnalis berbakat di Indonesia. Melalui novel Maryam yang ditulisnya sebagai buku ketiga ini, Okky dinobatkan sebagai penerima penghargaan Khatulistiwa Literary Award di tahun 2012, yang kemudian berganti nama menjadi Kusala Sastra Khatulistiwa pada tahun 2014.

Pertama kali saya mengetahui tentang perempuan bernama lengkap Okky Puspa Madasari ini ialah melalui Qureta. Sebuah portal online yang membagikan informasi dari banyak penulis. Saat itu, saya menyaksikan Okky sedang menjadi pembicara di kuliah Qureta. Dalam sebuah video yang saya tonton, beliau sedang menyebutkan karya-karyanya yang terdiri dari beberapa judul novel berikut tema besar yang digarapnya.

Bagi saya, Maryam adalah masterpiece. Tak kalah dengan dua novel sebelumnya, Entrok dan Pasung Jiwa yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Menurut saya, membaca Okky Madasari seperti menggali sejarah. Pada novel Entrok ia ceritakan tentang pemerintahan totalitarianisme dan militerianisme pada zaman orde baru. Kemudian Pasung Jiwa yang mengangkat tema besar tentang LGBT. Sedangkan untuk Maryam sendiri, Okky mengulas tentang kehidupan para jama’ah Ahmadiyah yang terusir dari tempat tinggal mereka sendiri.

Maryam yang sudah habis saya baca ini, menceritakan tentang kehidupan seorang perempuan bernama Maryam yang menganut paham Ahmadi sejak dari kakeknya. Dalam novel tersebut disebutkan bahwa meskipun Islam mereka berbeda dengan Islam kebanyakan tetangga, namun keluarga mereka sudah sejak lama berbaur dengan orang-orang sekitar. Dalam urusan muamalah, mereka memang sama saja dengan masyarakat lainnya. Namun, dari segi ibadah mereka cnederung tertutup dan eksklusif. Hal ini tergambar jelas saat para Ahmadi mengadakan pengajian rutinan, shalat Jum’at di masjid golongan mereka sendiri, bahkan tuntutan bapak ibu Maryam untuk menikah dengan laki-laki Ahmadi yang dari golongan mereka sendiri.

Seiring berjalannya cerita, Maryam sang tokoh utama memulai perjalanan cintanya yang nampak manis. Bersama Gamal, laki-laki yang juga Ahmadi, Maryam merasa dirinya akan bahagia ketika kelak mereka menikah. Karena jika itu terjadi, maka bapak ibunya juga akan senang sebab mendapat menantu yang seiman. Namun ternyata Tuhan berkata lain, Gamal pergi meninggalkan keluarganya, meninggalkan imannya, meninggalkan Maryam. Ia menganggap bahwa apa yang selama ini diyakini oleh kedua orang tuanya ialah sesat.

Lantas, setelah kejadian itu Maryam yang baru saja diwisuda merantau ke Jakarta. Di sana, ia mendapatkan sebuah pekerjaan prestisius di sebuah bank dengan gaji yang lumayan. Selain itu, ia mengenal Alam yang bukan laki-laki Ahmadi, yang berniat untuk menikahinya. Saat itu bapak dan ibunya sudah memperingatkan Maryam dari awal. Jika Alam benar-benar serius ingin mempersuntingnya, maka ia harus menjadi seorang Ahmadi. Namun, justru Maryamlah yang mengambil langkah nekat untuk keluar dari imannya. Mereka menikah tanpa persetujuan bapak dan ibu Maryam. Saat itu, hanya keluarga Alamlah yang menyetujui pernikahan mereka berdua. Dengan syarat, Maryam harus kembali mengucapkan syahadat sebagai tanda ia telah keluar dari ajaran sesat. Namun, ternyata hubungan itu tidak berjalan lama hingga kandas karena perbedaan yang dimiliki Maryam dan Alam tak akan pernah bisa disatukan.

Kegagalan dalam rumah tangga tersebut membuat Maryam ingin pulang menemui keluarganya. Namun, ternyata sudah terlambat. Keluarganya tak lagi bertempat tinggal yang sama seperti dulu karena telah diusir dari rumah mereka sendiri. Intimidasi para tetangga terhadap keyakinan yang keluarga Maryam bawa membuat mereka harus meninggalkan rumah yang telah dibangun dari keringat sendiri. Seolah perjuangan sekian lama yang senantiasa mereka lakukan tidaklah berarti apa-apa karena anggapan “sesat” yang tersemat pada ajaran yang mereka imani.

Beramai-ramai para jama’ah Ahmadiyah mengungsi dengan berdesak-desakan. Mereka berbagi tempat tinggal untuk satu sama lain sampai waktu yang tidak ditentukan. Kegigihan mereka menggenggam erat keimanan meskipun dalam kondisi terpepet, nyatanya adalah klimaks yang disuguhkan penulis untuk menguatkan identitas pemeluk paham ini. Walaupun apa yang mereka yakini berbeda dari orang-orang kebanyakan, namun hubunganya dengan Tuhan sama seperti yang lainnya.


Awalnya, saya pikir novel Maryam ini hanya akan menceritakan tentang seorang Maryam dan kehidupan pribadinya. Namun lebih dari itu, ternyata penulis menggali lebih dalam sampai ke ujung tentang kisah Maryam ini. Selain itu, Maryam menurut saya ditulis dengan cara yang tak biasa, yakni menggunakan alur maju mundur tanpa ditandai oleh pemenggalan paragraf dengan spasi atau sebuah simbol tertentu. Namun demikian, pembaca tetap bisa mengikuti alur yang disajikan dengan membayangkan adegan demi adegan yang meski tak berkesinambungan, tapi tetap bisa dimengerti. Bahasa yang digunakan juga sangat renyah untuk diikuti sampai akhir cerita di novel ini habis.

Saya menggolongkan novel ini sebagai bacaan fiksi yang cukup berat karena tema yang diangkatnya. Namun dari sisi bahasanya sendiri, jujur setelah membaca Okky Madasari, imajinasi dan alam ide saya bertambah barang satu dua tingkat lebih tinggi.

2 comments:

  1. Mantep banget novelnya tuh,,, reviewernya juga keren... Bagus bagus,,, kalo njenengan suka novel" kek gini, karyanya oka rusmini, eka kurniawan, ayu utami, nawal el sadawi, laila s chudori, dan kawan kawannya, itu juga keren bahasannya mantep.. hehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah terima kasih apresiasinya mas. Terima kasih juga rekomendasinya. Iya nih, bacaan pertama dengan tema yang bikin penasaran sama tema-tema lainnya heheh

      Delete