Thursday, July 9, 2015

Jejak Keberuntungan

Aku berjalan sendirian. Selalu sendirian. Tak pernah tau kemana angin kan membawaku. Tak pernah takut akan gelap ataupun dingin. Mereka sahabatku. Sahabat terbaikku. Semesta yang mengajariku bersahabat dengan mereka.

Namaku Rinda. Usiaku baru dua belas tahun seminggu yang lalu. Dan aku sendirian. Benar-benar sendirian. Aku tak memiliki satupun teman. Keluarga pun tidak. Mungkin, ayah ibuku pun tak menginginkanku terlahir di dunia.

Tuhan, malang sekali nasibku. Aku selalu berteriak pada semesta saat langkah kakiku membawa tubuh mungil ini kepada tepian bukit di pegunungan.

“SEMESTA! BUNUH SAJA AKU! LUMAT SAJA TULANG-TULANGKU! TELANLAH TUBUH INI DALAM PERUTMU!”.

Sering sekali aku menangis bersama rimbun dedaunan yang terkadang gugur di hamparan rimba. Tak peduli bahaya mengancamku. Justru bahayalah temanku. Aku sering berdialog dengan pohon, tempat para ular melilitkan tubuhnya.

“Wahai pohon, beruntung sekali dirimu. Banyak binatang yang mau singgah di tempatmu.”

“Tak pernah merasakan dinginnya rimba, tak takut menghadapi gelapnya malam. Dan juga, tak sekalipun merasa sepi.”
Dan pohonpun hanya terdiam.

Aku tersenyum getir merasai keadaanku sekarang. Sering aku berpikir bahwa Tuhan sangat tidak adil padaku. Bahwa hanya akulah, hamba-Nya yang paling tidak Ia cintai. Aku bahkan tidak berpikir bahwa aku pernah mengenal Tuhan. Karena tidak ada yang mengajariku tentang hal itu.
Seperti yang telah kalian ketahui, aku sendirian. Dan selalu sendirian.
**

Suatu pagi, langkah kakiku telah membawaku ke suatu tempat. Tempat ini sangat ramai. Dimana banyak kendaraan berseliweran, orang-orang sibuk dengan urusannya masing-masing. Dan mereka bahkan tak saling kenal satu sama lain.

Aku duduk diam di depan sebuah bangunan berdinding kayu. Di atas pintunya ada beberapa hiasan bagus. Aku tak tahu pasti apa itu. Firasatku mengatakan kalau itu adalah tulisan.

Sayangnya, aku tak bisa membaca. Jadi aku tak akan pernah mengetahui apapun di dunia ini. Sekali lagi, aku mengasihani diriku sendiri. Betapa malangnya aku, betapa sialnya nasibku.

Aku bagaikan mahluk asing dari planet lain yang tersesat di bumi manusia.

Penampilan lusuhku membuat beberapa orang melihatku dengan tatapan jijik. Aku tak mengerti arti tatapan apakah itu. Tapi firasatku mengatakan, kalau mereka tidak menyukai keberadaanku.

Namun langkah kakiku terlalu lelah untuk melangkah lagi. Setelah menyusuri rel kereta seharian kemarin, tiba-tiba aku berada di tempat ini. Dan sepertinya tubuhku butuh istirahat barang sejenak.

Aku pun tanpa sadar telah membaringkan tubuh mungilku. Berusaha menutup mataku, walau apapun yang terjadi. Dan akhirnya aku terlelap.
**

0 comments:

Post a Comment