Sunday, July 8, 2018

Polyglot


Polyglot. Kata ini beberapa hari yang lalu kuketahui dari internet. Kemudian, karena penasaran aku terus mencari tahunya di Youtube. Sampai pada akhirnya, kurasa aku mulai menyukainya. Dan rasanya, ingin sekali aku bisa menjadi seperti mereka. Mnguasai banyak bahasa, sepertinya menyenangkan, bukan?

Aku lupa kapan tepatnya aku menuliskan ini di dinding kamarku. Yang selanjutnya selalu bisa kulihat setiap hari. Setiap akan tidur, dan hendak tidur.

Kurasa, itu di tahun-tahun ketika aku masih SMK antara kelas 2 atau kelas 3. Ya, saat itu aku benar-benar bersemangat ingin mempelajari beberapa bahasa tersebut. Hingga memiliki wacana untuk menuliskan beberapa kosa kata dengan arti yang sama di dinding kamar untuk kuhafal kemudian. Tapi, nyatanya itu hanya sebuah wacana.

Entahlah. Apa yang terjadi pada diriku saat itu. Seingatku, diriku yang saat itu sedang sangat terobsesi dengan K-Wave, Halyu atau lebih dikenal dengan K-Pop, ingin sekali rasanya bisa fasih berbicara layaknya para oppa dan eonni Korea. Bahkan, sekali waktu ingin berkunjung ke Negara Ginseng tersebut.

Pun juga, kelas 2 SMK adalah saat dimana aku begitu suka mendengarkan lagu One Ok Rock. Band asal Negara Matahari Terbit itu mampu menyihirku untuk juga ingin mempelajari bahasa ibu mereka, bahasa Jepang.

Bahasa Inggris. Tentu saja semua orang ingin menguasainya, bukan? Selain bahasa tersebut merupakan bahasa internasional, bagiku mampu berbahasa Inggris adalah salah satu soft skill yang akan berguna ketika hendak mendaftar pekerjaan dengan prospek kerja yang bagus.

Lalu bagaimana dengan Bahasa Arab? Kupikir, yang satu ini lain lagi. Ceritanya panjang sekali. Dan kurasa, aku baru menyadarinya belakangan ini.

Dulu, aku mengenal bahasa Arab sejak aku bisa berbicara. Orang tua serta keluargaku yang mengajarkannya. Awal sekali aku tahu bahasa ini adalah ketika mereka mengajariku bagaimana bacaan-bacaan yang harus dibaca saat sholat. Kemudian, setelah mereka merasa bahwa aku cukup mampu untuk melafalkannya, dibawalah aku ke guru ngaji yang ada di kampungku.

Namanya mbah Juni. Dari cerita yang kudapat, beliau merupakan pensiunan guru agama yang ternyata lulusan pondok Lirboyo yang ada di Kediri. Meski fisik dan perawakannya sudah sepuh, namun mbah Juni masih dalam kondisi prima mengajari murid-muridnya.

Di rumahnya yang sederhana, mbah Juni mengajari puluhan muridnya dengan sistem mirip kelas yang berjenjang. Paling rendah adalah bagi anak-anak usia balita. Mereka diajarkan untuk menghafal bagian-bagian akhir Juz 30. Dari surah At-Takasur sampai terakhir surah An-Nas. Setingkat lebih tinggi, diajari tentang cara membaca Iqra', bukan metode Al Baghdadiyyah atau yang lebih dikenal dengan "Turutan".

Di tingkat selanjutnya, mbah Juni juga mengajari murid-muridnya membaca Al-Qur'an dari juz 1 sampai juz 30. Dan yang terakhir, beliau mengajari kami membaca kitab-kitab. Aku lupa tepatnya berapa kitab yang sudah kubaca dan pelajari. Yang jelas, mbah Juni begitu telaten mengajari kami. Ya, walau memang tak kupungkiri dengan beberapa marah-marah kasih sayang. Karena ada murid-muridnya yang nakal, atau kadang sulit menirukan apa yang ia ajarkan.

Sejak aku masuk TK kecil sampai lulus SD, setiap sore pukul 3 atau pukul 4 aku selalu sudah siap untuk berangkat mengaji. Saat itu, ibu dan bapakku yang selalu mengantar bahkan menunggui. Hingga pada akhirnya, khatam Al-Qur'an pertamaku terjadi di kelas 4. Alhamdulillah.

Kurasa, 8 tahun lebih aku bertahan di pengajian yang diampu mbah Juni. Akrab sekali dengan bahasa Arab. Hanya saja, saat itu minat untuk mempelajari bahasa ini belum tumbuh merebak seperti saat ini. Baru mulai merekah lagi setelah 8 tahun kemudian, saat ini.

Ketika SMP, saat itu jadwalku berubah drastis. Pulang sekolah paling awal pukul 2 siang. Selebihnya selalu ada pelajaran tambahan sampai pukul 3 sore, bahkan lebih. Jadi, aku terpaksa memutuskan untuk tidak lagi belajar mengaji di tempat mbah Juni. Kemudian menggantinya dengan mengaji sendiri di rumah.

Sebenarnya, banyak kenangan manis yang masih kuingat sampai sekarang. Apalagi saat bulan Ramadhan datang. Bukan hanya setiap Ashar saja aku pergi mengaji. Namun selepas Maghrib, dan selepas Subuh setelah sahur. Dengan menahan kantuk yang tak tertahankan, tak jarang aku atau teman-temanku menguap lebar disertai "Haaaaah" panjang di akhirnya. Sesekali mbah Juni menegur, membuat kami malu sendiri melakukannya.

Menuliskan cerita ini, impianku menguasai bahasa Arab, juga mimpi baru untuk menjadi Polyglot. Lebih dari itu, aku merindukan sosok mbah Juni. Seorang guru ngaji tanpa pamrih. Beliau, yang di masa tuanya masih tetap menerima kedatangan murid-murid baru, mengajari mereka sampai fasih membaca Al-Qur'an dan kitab-kitab. Mengenang wajah galaknya yang lembut, sesekali tersenyum dengan giginya yang ompong.

Sungguh, aku rindu saat-saat itu. Wajah-wajah polos teman-temanku, obrolan-obrolan sederhana kami yang tanpa gadget, tanpa kesibukan masing-masing. Ah, sudah lama sekali rasanya.

Setiap lebaran datang, dulu aku selalu mengunjungi rumahnya. Menanyakan kabar, dan lain sebagainya. Tapi terakhir kalinya adalah dua tahun yang lalu. Tahun ini, entah kenapa hanya menjadi wacana.

Namun, melalui tulisan ini, aku senantiasa mendoakan kebaikan kepada beliau. Mungkin, aku memang tidak sanggup membalas jasa-jasa beliau dan keluarganya kepadaku atau teman-temanku selama ini. Tapi, insyaAllah segala kebaikannya akan mendapat balasan yang lebih baik di sisi Allah. Aamiin..

Terima kasih mbah Juni.. Engkau, sungguh guru terbaik yang pernah kupunya.

0 comments:

Post a Comment