Saturday, July 14, 2018

Janji Palsu



11 Juli 2018

Kapan kamu mulai belajar berjanji pada orang lain? Lebih dari itu, pada diri sendiri? Maksudku, belajar untuk menepatinya. Jika hanya berjanji, semua orang bisa dengan mudah mengucapkannya. Yang sulit adalah menepati dan menjalankan amanat yang telah dibebankan dengan sebaik mungkin.

Manusia emang kadang suka gitu. Mereka punya ketidaksempurnaan yang secara alami udah ada pada diri mereka sejak bayi brojol dari kandungan.

Ketika kecil, mereka cuman bisa nangis untuk dapat apapun yang mereka inginkan. Kedinginan? Tinggal nangis. Lapar? Nangis aja. Mau buang hajat? Nangis dulu deh. Orang tua paham kok sama kode itu.



Gedean dikit, manusia tetep masih belum bisa mandiri. Belum bisa ngerjain apapun sendirian. Mereka tetep butuh dua malaikat berwujud manusia yang sengaja diciptakan Tuhan buat ngurusin keperluan mereka. Singkatnya, sedari brojol manusia itu bukan apa-apa, nggak bisa ngapa-ngapain kalo nggak ngasih kode-kode rumit yang hanya bisa dipahami sama orang-orang yang audah pengalaman. Sama mereka yang peka pada ketidaksempurnaan alamiah yang Tuhan berikan itu.

Sampai akhirnya remaja bahkan dewasa, manusia kadang masih ada aja yang bergantung sama orang tua untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Mereka butuh satu sama lain untuk saling menyempurnakan.

Baik dari segi rohani dan jasmani, manusia memang sama sekali nggak bisa berjuang sendirian buat terus menerus konsisten, kuat sama apa yang ia pegang selama ini.

Simplenya, untuk bisa berhasil menjadi "orang" beneran, nggak mungkin manusia itu tumbuh tanpa adanya orang lain yang dukung. Tanpa adanya Dzat Allah yang bikin jiwa dan raganya kuat.

Kadang, kita cuman bisa lihat dari hasil yang ia miliki saat ini. Bukan dari proses selama berjuang untuk mendapatkan hasil itu. Berpikir pendek dengan menghubung-hubungkan nasab atau keturunan. Dengan mengungkit-ungkit harta yang nggak habis tujuh turunan. Dengan melihat fisik yang dipikirnya "beruntung" diciptakan Tuhan tanpa cela. Jadi, bakalan mudah untuk bisa mencapai apa-apa yang diingini.

Tapi itu cuma teori. Nggak semua kayak gitu kenyataannya.

Mungkin hanya sedikit orang yang mau bener-bener berjuang dari awal untuk membangun apa-apa yang dia inginkan. Untuk bisa merasakan gimana sih rasanya ada di zona nyaman? Dimana nggak ada lagi yang harus ia khawatirkan, kecuali kematian dan kehidupan setelahnya.

Ada uang, pasangan sayang, jabatan tinggi menjulang, apalagi?

Banyak orang bilang, kayak gitu tuh puncak kesempurnaan hidup di dunia. Ya, hanya dinilai seukuran dunia, yang bagi Allah nggak lebih dari sebelah sayap nyamuk. Lantas untuk akhiratnya gimana?

Sulit lho menjaga iman tetap dalam kondisi prima. Apalagi berharap bisa naik terus prosentasenya setiap hari, setiap hitungan mili sekon.

Menjaga kekerabatan atau hubungan baik sama orang lain, apa itu hal yang mudah? Kadang nggak jarang kan kita bisa tengkar gara-gara hal sepele? Mensyukuri rezeki, dan apapun yang Allah kasih sama kita. Menjaga amanah itu dengan baik, dipikirnya mudah?

Kalo ukuran dunia, kan nggak masuk akal harta yang kita belanjakan di jalan kebaikan (sedekah) lah yang bakal jadi harta terbaik kita di akhirat kelak. Nggak masuk akal emang buat ukuran kita. Manusia dengan pemikiran pendek dan kemampuan otak yang terbatas.

Alih-alih bicara tentang ketidaksempurnaan manusia yang banyak banget, sesederhana menepati janji, termasuk pada diri sendiri pun jika berhasil itu udah sesuatu yang amazing.

Mau bagaimanapun, ketidaksempurnaan yang kita miliki emang nggak bisa diubah atau ditolak mentah-mentah gitu aja.

Tapi, akan lebih baik jika kita menerimanya ketidaksempurnaan itu, sembari berusaha semaksimal mungkin untuk menjadi yang terbaik versi diri kita.

Bilang apapun orang lain tentang diri kita, abaikan. Tapi jangan lupakan. Karena itu akan berarti untuk kemajuan pribadi kita sendiri.

Kata-kata orang lain itu merupakan sebuah pecutan tersendiri. Minimal untuk memacu diri kita menjadi lebih baik. Selebihnya? Senyumin aja. 😌

0 comments:

Post a Comment