Sunday, August 19, 2018

Ada Apa dengan Sastra Arab? Part II

Source : dictio.id

Dan puncak dari segalanya, adalah ketika aku pada akhirnya berhasil diterima di jurusan Sastra Inggris di sebuah universitas di Semarang. Saat itu, kupikir aku sudah dekat dengan tujuanku. Menjadi sastrawan, menjadi penulis. Namun, sebuah peristiwa harus menghancurkan mimpi itu dengan sadisnya. Meluluhlantakkan segala impian yang bahkan belum tumbuh tunasnya. Aku gagal kuliah. Aku gagal menjemput impianku pada saat itu.

2 tahun berlalu. Rentang 2016-2018 kuhabiskan dengan penuh harap dan penantian yang tak tenang. Kupikir, itu bukan duniaku. Aku tak nyaman berada di sana. Aku harus segera pulang dan membangun kembali pondasi-pondasi mimpi yang belum sepenuhnya tersusun rapi. Aku seperti terpenjara dalam ketidakberdayaan. Aku.. aku harus apa?

Perasaan-perasaan tak karuan itu pada akhirnya berhasil aku tangkal dengan terus menulis di sosial media. Entah dibaca banyak orang, entah segelintir orang, atau bahkan hanya aku sendiri yang membacanya. Aku tidak peduli. Seperti balas dendam, gaji bulananku sebagai seorang pekerja kusalurkan untuk membeli buku-buku. Sementara mereka tertimbun saja di rak dan belum pernah kubaca sama sekali karena alasan kesibukan bekerja. Sekian lama aku menimbun, ternyata sudah banyak juga.

Beberapa sumpah serapah sempat diajukan karena kebiasaan baruku membeli banyak buku ini. Bahkan, sempat kuutarakan jika nantinya aku tidak kuliah, lebih baik aku menghabiskan seluruh uangku untuk buku-buku saja. Agar aku tetap berwawasan luas, meski pupus sudah impianku menuntut ilmu secara langsung.

Tapi skenario Tuhan lebih indah. Entah kekuatan dari mana yang membuatku berkeyakinan tinggi untuk pergi lebih awal. Tentu saja dengan pembicaraan baik-baik dulu pada atasan. Dengan pembicaraan serius yang harus aku yang menangkan. Agar aku bisa pulang. Agar aku bisa kembali menyulam benang-benang mimpi yang sempat berserakan. Bermodal nekat diikuti dengan riap-riap muanajat, aku memberanikan diri menguatkan hati untuk mau dan mampu menerima segala kemungkinan. Sebaik atau seburuk apa pun pada akhirnya, aku selalu percaya bahwa Tuhan Maha Tahu yang terbaik untukku.

Secara ajaib, aku diperbolehkan berhenti kerja lebih cepat karena alasan jujur, dan terkesan memelas yang kubuat. 3 bulan sebelum masa kontrakku benar-benar habis, aku pulang dengan harapan baru untuk melanjutkan kuliah. Dimana pun tempatnya nanti, yang kupercaya adalah rencana Tuhan selalu yang terbaik.

Keajaiban lain, ketika aku dinyatakan berhasil diterima melalui jalur tes yang bahkan diikuti oleh ribuan mungkin, bahkan bisa mencapai puluhan atau ratusan ribu siswa dengan berbagai latar belakang di seluruh Indonesia. Entah bagaimana aku yang bahkan selama 2 tahun ini jarang bahkan tak pernah menyentuh buku-buku pelajaran, bertemu dengan guru, dan hal-hal berbau pendidikan lainnya, mampu menjadi salah satu yang berhasil memasuki jenjang perguruan tinggi. Bersaing dengan para santri, fresh graduate, dan orang-orang dengan latar belakang yang mungkin lebih baik daripada aku. Sekali lagi aku percaya bahwa inilah skenario terbaik yang Tuhan berikan padaku di waktu yang tepat.

Lalu, bagaimana bisa dari beralih haluan dari Sastra Inggris? Kenapa harus Sastra Arab?

Jawaban yang mungkin akan melegakan penasaranmu dan diriku sendiri adalah. Aku ingin merajut mimpi baru dengan plot yang juga baru. Jika pun ingin menyambung plot lama sebelumnya, mungkin saja aku justru tidak berada di posisi aku berdiri saat ini. Karena rentang waktu dua tahun itu mampu mengubah segalanya. Jurusan Sastra Inggris sudah entah berapa peminatnya sekarang. Setelah output akhirnya merupakan penulis sekelas Fiersa Besari atau Boy Candra, yang tenar dengan karya-karya mereka nan mengagumkan.

Sejauh ini, aku sadar diri. Jauh-jauh hari sudah kupersiapkan mental kalah. Aku tahu belaka seberapa adanya tingkat kemampuanku yang sebenarnya. Kelebihan dan kekurangan yang telah Allah titipkan itu, aku sadar betul bagaimana harus mengaturnya.

Lalu, ada apa dengan Sastra Arab? Adakah seseorang menjadi sumber dari segala kecintaan pada Bahasa Arab?

Jangan tanya demikian, karena jawabannya tentu saja YA. Siapa lagi kalau bukan karena Allah dan Rasul-Nya. Bahasa Arab adalah bahasa surga. Bahasa Arab adalah bahasa kitab suci, Al-Qur’an. Apalagi yang lebih indah dari itu semua?

Ada apa dengan Sastra Arab? Banyak hal, dan aku yakin tidak salah masuk ke jurusan ini.

0 comments:

Post a Comment