Sunday, August 19, 2018

Cerpen : Rahasia Hati



“Pin, nanti pulang sekolah kamu tolong antarkan kue dadar gulung sama lapis ini ke rumah Bu Irma yang di samping sd itu, ya! Soalnya kemarin beliau katanya mau ada hajatan di rumahnya. Terus onde-ondenya pesenan Pak Ikram yang jualan jam itu. Tolong antarkan juga nanti, ya! Kamu pernah ke rumahnya, kan pas silaturahim lebaran kemarin?” aku tersenyum mendengar penjelasan ibu, sambil memasukkan beberapa buku pelajaran untuk hari ini ke dalam tas. Seperti biasa, beliau berbicara dengan tentu saja sambil melakukan pekerjaan lain.
“Iya ibuku tercinta. Arifin sudah catat semua perkataan ibu di kepala kok. Jangan khawatir. Heheh,” aku mencangklong tas yang sudah kupenuhi perlengkapan sekolah hari ini. Mematut diri di depan cermin, menyisir rambut yang baru saja kuminyaki gasby, lalu tersenyum pada diri sendiri. Aku ganteng juga, ya. Pikirku iseng.
“Jangan lupa juga kamu minta uang kekurangan pembayarannya, ya. Mereka sudah kasih DP-nya ke ibu tempo hari. Pokoknya jangan sampai lupa!” ibu menegaskan sambil menyerahkan bungkusan plastik besar padaku.
“Iya, bu. Nggak bakalan lupa pokoknya. Yaudah, Arifin berangkat dulu, ya. Assalamualaikum,”aku tersenyum lagi, mencium tangan ibu, lalu bergegas untuk berangkat sekolah.
“Waalaikumussalam. Lho Pin, kamu nggak mau sangu, nak?”
“Eh iya, lupa, bu. Hehe.”
“Nah, kan belum apa-apa juga.”
***
“Makasih, ya Pin. Kue-kue buatan ibumu selalu ludes kalau saudara ibu ada yang mertamu ke sini. Habis enak, sih. Oh ya, ini ada sedikit buat kamu jajan, diambil ya, Pin!” Bu Irma berceloteh sembari memasukkan amplop ke saku bajuku.
“Eh nggak usah, bu. Saya diajarin sama ibu saya untuk tidak menerima suap. Heheh,” kataku polos sambil nyengir.
“Lho, kamu kira ini suap? Kan udah ibu bilang ini buat jajan kamu. Udah ambil aja, kamu yang pinter sekolahnya nanti ya, biar bisa naikin derajat ibumu kelak. Ibu ikhlas kok,” Bu Irma terus menyodorkan amplop yang akan kukembalikan itu. Yasudah, daripada menolak rezeki, aku terima saja.
“MaasyaAllah, terima kasih banyak atas doanya Bu Irma. Mudah-mudahan, doa baik juga kembali pada ibu sekeluarga, ya. Saya pamit pulang dulu. Assalamualaikum.”
“Waalaikumussalam. Hati-hati di jalan Pin!”

Sesampainya di rumah, aku langsung melepas sepatuku dan membawanya ke dalam rumah setelah mengucap salam. Sepi, seperti biasa. Ibu pasti masih berjualan di pasar. Dan akan pulang setelah ashar menjelang maghrib nanti. Kebiasaanku setelah pulang sekolah adalah mengerjakan pekerjaan rumah. Seperti mencuci piring, mencuci baju, memasak, menyapu rumah, dan lainnya. Kata ibu, walaupun anak laki-laki, tapi aku tidak boleh manja. Jika kelak aku sudah memiliki istri, maka dia adalah istriku, bukan pembantu yang bisa kusuruh apa saja nantinya.
Selama hampir 5 tahun ini, aku hanya tinggal berdua bersama ibu. Dan beliau sendirilah yang membiayai kebutuhan hidup dan sekolahku yang sudah mencapai kelas 5 ini. Aku tidak memiliki saudara kandung. Ayahku sudah meninggal ketika usiaku masih 6 tahun. Sepeninggal ayah, ibuku memilih untuk menjadi janda dan membesarkanku sendirian.
Entah kenapa, beliau enggan menikah lagi dengan alasan masih sangat mencintai ayah. Aku yang masih kecil ini, tidak paham apa itu arti cinta. Yang kutahu, ibu selalu mengajarkan untuk memberi tanpa mengharap balasan. Seperti yang selalu beliau lakukan setiap harinya. Ketika dagangannya masih banyak tersisa, beliau memilih membagikannya kepada orang-orang yang tak sengaja ditemuinya di jalan. Daripada mubadzir dan dimakan sendiri, katanya. Lebih baik dibagikan ke orang dengan niat sedekah. Ya, aku tahu itu karena setiap libur sekolah aku mendedikasikan seluruh waktuku untuk membantu ibu berjualan di pasar.

“Eh, ibu sudah pulang? Bagaimana hasil penjualan hari ini? Dagangan ibu laris, kan?” tanyaku pada ibu yang langsung duduk di kursi tamu sembari meletakkan keranjang kosong di atas meja.
“Ibu capek sekali, nak,” wajah ibu memang selalu terlihat lelah seperti itu. Namun, baru kali ini aku mendengarnya mengeluh.
“Mau Arifin pijit sebelah mana?” aku menawarkan.
“Tidak usah. Tapi, dada ibu terasa sesak sejak tadi.” ibu memegangi dadanya sambil sesekali komat-kamit, mungkin berdzikir.
“Atau kita ke dokter saja?” celetukku.
“Memangnya uang ibu sebanyak apa? Kamu nggak usah neko-neko deh, Pin. Nanti juga pasti sembuh sendiri kok. Kamu sudah sholat ashar belum? Sudah makan belum?” tanya ibu sambil mengusap kepalaku, mengusahakan senyum dengan wajah pucatnya.
“Alhamdulillah sudah keduanya, bu. Tapi apa nggak apa-apa ibu nggak periksa ke dokter dulu? Arifin masih ada tabungan kok,” aku berusaha meyakinkan ibu lagi.
Halah, wes to. Besok juga pasti sembuh, Pin. Lagian, bulan ini kan kamu belum bayar SPP juga, kan?”
“Iya, sih bu. Tapi kesehatan ibu lebih penting buat Arifin.”
Ibu rapopo, Pin. Sudah, ya. Ibu mau ambil wudhu dulu, sebelum keburu maghrib. Nanti seperti biasa kita sholat jamaah setelah itu baca Qur’an, ya!” aku mengiyakan kata-kata ibu sambil membantunya berdiri.
***
Setelah percakapan hari itu, seminggu kemudian ibuku tiba-tiba sesak napas lalu pingsan begitu saja setelah pulang dari pasar. Kebingungan, aku menangis sambil berteriak meminta tolong pada tetangga-tetangga sebelah rumahku. Bu Yani, yang rumahnya tepat di samping rumahku, langsung keluar dari rumahnya dengan tergopoh-gopoh. Pak Edi, suaminya pun sama paniknya. Karena histeris ibu pingsan, aku jadi tidak bisa menjelaskan dengan jelas apa yang terjadi sebenarnya. Jadilah mereka memutuskan untuk langsung membawa ibuku ke rumah sakit.
Sesampainya di rumah sakit, ibu langsung dibawa ke IGD untuk diperiksa dokter. Aku masih menangis. Bu Yani memelukku dan berusaha menenangkanku. Yang ada di pikiranku saat ini, hanyalah kesembuhan ibu. Tapi, di sisi lain aku juga berpikir, dari mana biaya rumah sakit akan kubayar? Tangisku semakin mengencang.
Setelah diperiksa dokter, ibuku dinyatakan mengidap penyakit asma dengan tingkatan parah menetap. Karena sudah lama dibiarkan tanpa pengobatan, penyakit ibu menjadi semakin kritis dan perlu dirawat inap.
Awalnya, yang mengetahui hal ini hanyalah Pak Edi dan Bu Yani saja. Namun, karena aku terus merengek dan mendesak mereka, akhirnya mereka mau memberi tahu yang sebenarnya.
Uang dari mana? Pikiranku langsung tertuju ke sana. Aku tidak tahu lagi harus meminta tolong pada siapa. Aku tidak mengenal saudara-saudara almarhum ayah. Pun tidak mungkin meminta bantuan dari saudara-saudara ibu, karena jauhnya jarak kami tinggal. Benar-benar tidak memungkinkan sama sekali. Ya Allah, bagaimana ini? Aku kembali menangis, kali ini tanpa dipeluk atau ditenangkan oleh Bu Yani atau Pak Edi.
***
“Assalamualaikum ibuku tercinta,” aku membuka pintu ruang rawat ibu. Alhamdulillah, kata dokter ibu sudah siuman dari pingsannya.
“Waalaikumussalam, nak. Kamu nggak apa-apa, kan?” tanya ibu dengan suara lemah. Wajahnya pias, namun bibirnya memaksakan seutas senyum. Selang oksigen terpasang di hidungnya untuk alat bantu pernapasan.
“Seharusnya Arifin yang tanya seperti itu kepada ibu,” kataku lemas. Air mataku sudah kuhapus dan kutahan sebelum memasuki ruangan ini. Itu semua kulakukan demi melihat senyum ibu lagi. Karena selama ini, sebenarnya aku tidak diizinkan untuk menjadi anak yang cengeng. Tapi kali ini, aku mengingkari janjiku pada ibu.
“Ibu nggak apa-apa, nak. Ibu pasti sembuh nanti,” ibu mengelus kepalaku lembut, sambil tetap tersenyum.
“Oh, iya bu. Ibu mau dengar puisi yang Arifin buat tidak? Kemarin waktu tugas bikin puisi, kata bu guru puisi Arifin lho yang paling bagus!” aku berusaha tersenyum mengatakan hal ini.
“Oh, ya? Coba ibu mau dengar!” kata ibu tertarik. Ia membetulkan posisi tidurnya.
“Baik,” aku mulai menarik napas dalam-dalam. Mengingat-ingat puisi yang kebetulan bertema “Ibu” yang kemarin kubuat sendiri.
Ibu
Terlalu banyak kata yang ingin keluar dari mulutku
Jika berbicara tentangmu
Aksaraku, tak kan pernah cukup untuk gambarkan
Betapa ayu dan anggunnya dirimu tanpa bermacam dandanan
Betapa sederhana dan bersahaja lakumu bukan pencitraan
Betapa teduh dan menenangkan sabdamu tanpa kebencian
Kamu.. malaikat berwujud perempuan yang dikirim Tuhan
Ibu
Untukmu, lebih dari sekadar terima kasih ingin kuhaturkan
Pada luhur budi pekerti yang selalu kauajarkan
Pun, lebih dari sekadar terima kasih tidak terhingga
Telah melahirkanku dengan rahimmu yang mulia
Untuk ibuku, dari Arifin, anakmu tercinta
Aku menyudahi pembacaan puisiku di depan ibu. Kulihat, ada genangan tipis di bawah matanya, yang coba ia hapus. Kembali, aku mengumpulkan kekuatan, menarik nafasku panjang, untuk mengatakan sesuatu kepada ibu.
“Aku ingin berhenti sekolah, bu,” kataku datar tanpa melihat wajah ibu, membuang pandanganku ke lantai. Entahlah, aku tidak tahu perubahan air muka ibu sekarang. Tadi, kulihat ia tersenyum dan seolah hendak mengatakan sesuatu padaku. Tapi, kupotong begitu saja. Ya Allah, ampuni aku. Maafkan aku, ibu.
“Astaghfirullah.. Kenapa? Kenapa kamu nggak mau sekolah lagi, nak? Apa karena ibu? InsyaAllah, dengan izin Allah ibumu ini akan sembuh kembali, nak. Kamu ini masih kecil, masih sangat panjang masa depan menantimu. Kamu harus menggapai mimpi-mimpimu. Banggakan ibu, banggakan almarhum ayahmu. Apapun yang terjadi, kamu tetap harus sekolah!” aku semakin tertunduk, menahan tangis. Ingin menjawab perkataan ibu, tapi yang keluar dari mulutku hanyalah suara parau.
“Arifin mau kerja saja, bu. Bantu biaya pengobatan ibu,” susah payah aku menyusun kata-kata tersebut untuk keluar.
“Allah Maha Kaya, nak. Sudah, jangan terlalu dipikirkan. Jangan nangis lagi, jagoan ibu nggak boleh nangis,” kedua tangan ibu cekatan mengangkat kepalaku, mengusap air mata yang sudah tumpah di kedua pipiku.
***
Seperti kata ibu, aku tetap berangkat sekolah. Tapi, tetap saja yang ada dipikiranku hanyalah wajah ibu. Sepulang sekolah, aku sudah tidak sabar untuk segera ke rumah sakit. Karena sudah benar-benar tidak punya uang, aku terpaksa mengambil beberapa lembar seribuan yang masih tersisa di tabunganku untuk transportasi ke rumah sakit.
Sesampainya di rumah sakit, ternyata Pak RT dan beberapa tetanggaku datang menjenguk ibu. Alhamdulillah, wajah ibu sudah sumringah seperti biasanya. Walaupun, beliau masih menggunakan alat bantu pernapasan.
“Nah ini dia Arifin! Panjang umur kamu, Pin. Kami semua sedang ngomongin kamu lho, barusan!” ucap Pak RT. Aku mencium tangannya, dan beberapa orang yang ada di sana.
“Terima kasih Pak RT, dan semuanya yang sudah berkenan menjenguk ibu saya. Maaf, jadi merepotkan kalian,” aku menunduk takzim.
“Tidak, Pin. Kami datang ke sini untuk membantu kamu dan ibumu. Bapak, dan para warga sudah sepakat untuk membantu kamu dan ibumu. Masalah biaya pengobatan ibumu, nggak usah kamu pikirkan lagi. Dan alhamdulillah, ada salah satu donatur di panti asuhan yang istri bapak kelola, sedang mencari anak asuh. Dan kebetulan, bapak ingat sama kamu, Pin. Ini orangnya, namanya Pak Indra. Jadi, mulai besok kamu jadi anak angkat Pak Indra dan keluarganya,” Pak RT memperkenalkanku dengan seorang bapak berperawakan besar serta berkumis tebal. Tampangnya sangar, namun senyumnya meneduhkan, batinku. Aku bingung harus bagaimana. Antara senang atau sedih mendapat berita seperti ini.
“Lalu ibu saya nanti sama siapa, Pak RT? Kami kan hanya tinggal berdua?” tanyaku polos.
“Jadi begini, nak. Mulai besok, status kamu menjadi anak angkat bapak. Semua keperluan sekolah dan biaya kehidupanmu untuk kedepannya, akan bapak dan istri yang tanggung. Kebetulan, kami juga hanya memiliki satu anak saja. Jadi, setiap hari kamu tetap boleh pulang ke rumahmu. Tapi, mainlah sesekali ke rumah bapak,” Pak Indra menjelaskan sambil mengusap kepalaku. Tidak tahu harus bagaimana, aku hanya melirik ibu yang masih terbaring dengan senyum tulus di wajahnya. Tak kupungkiri, matanya berkaca-kaca. Meski kepalanya mengangguk-angguk seolah setuju.
“Ingat kata-kata ibu yang kemarin itu, Pin. Hari ini, mungkin Allah telah mengijabah doa-doa kita melalui Pak RT, Pak Indra, dan para warga. Ibu ikhlas, le. Asal masa depanmu akan cerah nantinya,” setelah mendengar perkataan ibu barusan, aku langsung berhambur memeluknya. Kembali menangis, lalu mengucap syukur Alhamdulillah kepada Allah.
“Terima kasih, bu!” kataku sambil mengusap sisa air mata. Kucium tangan Pak Indra dan Pak RT dengan penuh syukur kepada Allah. Alhamdulillah.
Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?
SELESAI

0 comments:

Post a Comment