Friday, August 3, 2018

Maybe.. I Have To Go..


Apa yang bisa dilakukan oleh seorang gadis biasa sepertiku? Bahkan, untuk sekadar mencintaimu saja aku tidak memiliki apapun untuk bisa mempertanggung jawabkan perasaan ini. Hanya diriku yang kupunya. Yang punya mimpi dan harapan besar kepada Allah untuk bisa membersamaimu kelak, menghabiskan sisa usia.

Meskipun, tak kupungkiri bahwa pada setiap kali munajatku kepada Rabb terdapat harapan besar, bahwa kelak yang akan meminangku adalah kamu. Namun aku juga tidak ingin menjadi hamba yang durhaka dengan terus menerus mendikte Tuhan secara demikian.

Pun begitu, aku lebih mengetahui siapa diriku yang sesungguhnya. Lebih bisa mengontrol bagaimana aku harus bertindak dan bersikap. Menjadi bijak dan dewasa pada keadaan tertentu. Namun juga bisa bermanja dan kekanakan pada situasi yang juga mendukung untuk bisa berbuat demikian.

Dengan begitu, sebenarnya aku paham bahwa mengagumimu akan menimbulkan risiko besar dalam kehidupanku nantinya. Namun, apalah daya diri ini. Aku tak berdaya untuk menolak, meskipun dengan kuat, perasaan yang telah Allah titipkan ini.

Ya, seperti yang juga kamu tahu. Bahwa perasaan ini pasti tidak begitu saja ada. Karena ia datang dengan cara menelusup ke dalam hati yang tentu saja dihembuskan oleh Allah sendiri. Ia, yang menganugerahkan perasaan ini untuk kujaga dan kurawat dengan baik. Dengan kamu sebagai objeknya.

Sungguh, sampai detik ini aku benar-benar masih berharap kepada Allah, bahwa kelak yang akan menjadi jodohku adalah kamu. Tidak di dunia, insyaAllah di akhirat. Karena perkara ini sungguh ingin aku perjuangkan. Namun, kembali aku berkaca tentang siapa diriku. Aku tidak cukup berani untuk mengutarakan yang sebenarnya kepadamu, mungkin karena perbedaan status sosial kita di masyarakat. Meskipun aku tahu, bahwa selamanya kau tak akan pernah mempermasalahkan hal ini. Hanya saja, aku saja yang memang kurang berani.

Padahal, aku sempat berkecil hati ketika tahu bahwa kau telah memiliki seseorang yang istimewa di hatimu. Ya, bukan sekali dua ternyata aku mengetahuinya. Entah benar, entah tidak. Anehnya, perasaanku tetap sama. Tidak berubah, bahkan justru semakin menguat. Keyakinan akan dirimu begitu hebat. Seperti sebuah perangkat keras yang menemukan radar yang selalu membimbingnya untuk tidak tersesat, begitulah yang dirasakan hatiku saat ini. Aku merasa telah begitu dekat dengan pernikahan. Walaupun, sampai detik ini aku bahkan tidak tahu bagaimana caranya agar bisa bertemu denganmu.

Masa depan adalah kumpulan keberhasilan yang sampai detik ini masih kubangun di kerajaan mimpiku. Terasa begitu jauh, namun kenyataannya tidak juga. Ia dekat. Kita selalu bisa mencapainya. Namun, setiap satu loncatan masa depan itu berhasil kita capai, maka loncatan lain akan menunggu untuk juga diwujudkan. Begitu seterusnya.

Kamu tahu tidak? Bahwa selama kamu masih menghubungiku setiap hari, melalui pesan-pesan singkat tapi bermakna itu. Harapanku terus saja membumbung sampai tinggi menyentuh langit. Kian panjang angan-anganku untuk terus menggenggam namamu dalam keyakinan hatiku. Mungkin, aku rasa diriku memang bersalah telah berbuat demikian. Karena bisa jadi, kamu pun berbuat demikian pada orang lain selain aku, bahkan apakah mungkin kepada semua orang? Entahlah. Sebenarnya, aku tak mau ambil pusing tentang masalah ini. Hanya saja, karena kehadiranmu yang terus menerus di kolom notifikasi ponselku membuatku terus saja berpikiran positif.

“Barangkali kamu juga memiliki perasaan yang sama,” “Barangkali Allah telah menakdirkan kamu sebagai orang yang ditugaskan untuk membimbingku kelak,” “Barangkali diriku, visi dan misi kita, di masa depan akan sama, dan menjadi kuat jika kita benar-benar menyatukannya.” atau apapun itu bentuknya. Yang jelas, selama pikiran-pikiran positif ini terus saja memenuhi kepalaku, aku belum bisa berhenti untuk mengharapkanmu kepada Allah.

Tuan, jika memang engkau adalah orang yang benar-benar ditakdirkan untukku kelak, semoga kau mau mengajariku tentang banyak hal. Tentang apa-apa yang belum kuketahui. Tentang apa-apa yang belum bisa kuterima dengan baik. Tentang segala hal yang berkaitan dengan dunia dan akhiratku, insyaAllah..

Tapi tuan, jika kelak yang Allah takdirkan untukku bukanlah kamu, maka semoga saja aku tidak akan kecewa dengan ketetapan Allah. Sekalipun, ia yang datang tidak lebih baik darimu menurutku, namun bisa jadi ialah yang terbaik menurut Allah untukku. Karena benar, jodoh, maut, dan rezeki itu tidak pernah tertukar.

Jadi tuan, untuk mengakhiri tulisan ini, aku akan selalu berharap kepada Allah tentang segala kebaikan bagi dunia dan akhiratku. Menghilangkan sedikit demi sedikit keragu-raguan tentang kamu yang masih menjadi rahasia. Mungkin bahkan meruntuhkan pertahanan harapan, karena benar-benar tidak kusebut namamu di dalam setiap doaku. Agar nantinya, jika memang bukan kamu yang menjadi peneman sisa usiaku kelak, hati ini tidak terkotori oleh apa-apa yang bukan dan belum menjadi hakku untuk memilikinya.

Sekian tuan, tulisan ini kubuat dengan kesadaran penuh. Tidak bermaksud untuk mengemis cinta darimu. Juga bukan memaksa agar engkau mau menerima perasaan ini seutuhnya. Namun, tulisan ini menjadi obat penawar bagi hatiku yang telah lama gundah karena kehadiranmu. Mungkin, memang aku yang salah..tapi tidak. Hari ini, akan kucoba untuk tidak menyalahkan siapapun, termasuk diriku sendiri. Selebihnya, mungkin yang akan kulakukan untuk kedepannya adalah menerima apa-apa yang telah menjadi takdirku. Memaafkan masa lalu, dan segala sesuatu yang membuatku terluka.

Oke, cukup sampai di sini. Jika tulisan ini kuunggah di media sosial dan kamu membacanya. Maka ada tiga kemungkinan yang akan menjadi responsmu. Pertama, kamu tidak peka dan tidak peduli, bahkan tidak membaca tulisan panjang ini. Kedua, kamu mungkin peka, namun kamu tidak memiliki perasaan yang sama denganku. Jadi, kuanggap usahaku ini tidak membuahkan hasil yang kuharapkan. Ketiga, kamu peka dan memiliki perasaan yang sama terhadapku.

Kamu pasti tahu, kan, sampai titik ini aku mengharapkan respons yang mana?

Setiap manusia, wajar memiliki fitrah untuk mencintai. Dan wajar pula, memiliki harapan untuk berbalas. Atau orang yang disukai memiliki perasaan yang sama dengannya. Ya, sekali lagi kukatakan, bahwa peristiwa-peristiwa demikian adalah hal yang wajar kita rasakan sebagai seorang manusia.

Tapi Tuan, apapun respons yang nantinya kamu berikan, atau tidak kamu tunjukkan itu, mungkin sama sekali tidak akan mengubah apapun pada hati ini. Aku, yang tetap berharap. Atau aku, yang dengan bijaksana mengikhlaskanmu yang belum pernah kumiliki.

0 comments:

Post a Comment