Saturday, August 18, 2018

Ada Apa dengan Sastra Arab? Part I


Source : badansarab.blogspot.com

Adakah aku tersesat memasuki jurusan ini? Mungkinkah kiranya jurusan ini akan membawaku ke tengah padang pasir luas tanpa penghuni sekali pun? Bilamana jadinya ketika itu benar-benar terjadi? Akankah aku lantas tinggal bersama unta-unta kehausan yang sedang mengisi tangki persediaan minumnya di sebuah oase dengan pohon kelapa dan beberapa semak belukar yang rindang itu?

Entahlah. Aku hanya mampu menjawab semua pertanyan itu dengan satu kata. Hematnya, aku belum benar-benar tenggelam dalam jurusan ini. Cukup jarang didengar telinga, Bahasa dan Sastra Arab. Apa yang akan kau cari di sana? Mau kerja apa setelah wisuda kelak? Mungkin begitu tanya orang-orang. Terlalu sarkas untuk sebuah mimpi yang sedang mulai dirajut.

Hei! Jauh sebelum akhirnya aku berhasil memasuki jurusan Bahasa dan Sastra Arab, rupanya aku sudah tahu belaka ihwal sastra itu sendiri ketika berada di sekolah menengah pertama. Ya, saat itu 2012. Tahun pertama aku berhasil menyelesaikan cerpenku kemudian menjilidnya layaknya sebuah klipping atau makalah. Berlatar belakang atau watermark yang kupilih sendiri, sebuah gambar kartun dari boyben karbitan yang saat itu kusukai. Ah, dasar anak-anak.

Dengan tulisan berwarna kuning merah, yang tetap membuatnya tak terbaca, aku percaya diri saja menyerahkan karya perdanaku itu ke guru bahasa Indonesiaku. Sosok yang sampai saat ini masih kukenang dalam sejarah menulisku. Sosok yang mampu mengubah paradigma banyak orang, teman-temanku, aku, bahkan guru-guru se-smp sekali pun. Sebentar, biar kujelaskan sedikit bahwa tulisan ini tak sepenuhnya membahas tentang keseluruhan Sastra Arab. Namun, lebih kepada pembahasan kenapa aku memilih sastra sebagai sesuatu yang harus kupelajari secara lebih mendalam.

Kembali kepada sosok guru bahasa Indonesiaku ketika smp. Bu Ummu Salamah namanya. Guru baru yang masuk ke sekolahku ketika aku menginjak kelas 2. Tak genap dua tahun bahkan beliau mengajar. Ketika aku kelas 2, lalu sebagian kelas 3 di semester pertama. Kupikir, Allah lebih mneyeyangi beliau daripada kami semua. Ya, beliau meninggal dalam usia yang menurutku masih muda dan produktif.

Seperti kataku tadi, beliau adalah sosok yang hebat. Beliau mampu mengubah paradigma banyak orang di sekolahku. Kembali pada karya hancurku di atas. Aku masih ingat beliau mengomentarinya dengan senyum tulus yang tak dipaksakan. Mengoreksi segala kekurangan dengan sabar. Mengarahkan dan membenarkan bagaimana seharusnya aku menulis. Ah, bukan hanya kepadaku beliau seperti ini. Namun, bahkan kepada seluruh temanku yang juga sama sepertiku. Suka menulis.

Saat itu, aku sangat berharap dapat mengikuti lomba cerpen yang beliau gembar gemborkan di kelas. Katanya, hanya dipilih dua sampai tiga delegasi saja yang akan diikutkan lomba setingkat kabupaten. Tentang menulis cerpen dan juga puisi. Lalu lahirlah karya amatir itu sebagai sebuah portofolio yang kuajukan pada Bu Ummu. Dan keajaiban pun terjadi. Ya, aku ikut lomba. Namun, apalah daya seorang amatir. Tentu saja namaku tidak keluar sebagai juara. Namun, hanya sebagai peserta yang sudah bersyukur diapresiasi sebuah sertifikat yang hari ini entah ada dimana.

Lalu aku mengenal apa itu sastra. Apa itu diksi. Apa itu rima. Dan lain sebagainya. Aku suka pelajaran bahasa Indonesia, namun tak pernah mendapat nilai sempurna ketika ujian dilangsungkan. Toh, yang berguna pada akhirnya tak hanya sebatas nilai. Namun skill dan kemampuan.

Jauh sebelum smp, tulisan pertamaku adalah kumpulan diary saat aku kelas 4 sd. Belasan buku entah berapa saja yang sudah habis ku corat-coreti dengan curahan-curahan hati. Malang, sebelum lulus sd, aku membakarnya karena kesal dnegan diriku sendiri. Membuang kenangan-kenangan lain ke sungai, membiarkan mereka tenggelam atau mengalir bersama alirannya. Yang ada sekarang, adalah kenangan dimana momentum ketika kejadian itu terjadi.

Ya, aku masih ingat jika aku bersama temanku membakar berpuluh bahkan beratus lembar tulisan yang berisi curahan hati kami di sebuah lahan dekat mushola. Dan membuang beberapa kenangan lainnya di sebuah jembatan yang di bawahnya adalah sungai dengan aliran air sedemikian deras. Ah, drama pubertas.

Belum selesai sampai di situ, aku kembali jatuh cinta dengan sastra ketika masuk jenjang smk. Kelas 1, 2, dan 3 puncaknya. Aku bertemu kembali dengan sosok guru yang mendorong kemampuan menulisku. Pak Dwi namanya. Pengajar akuntansi, fotografi, bahkan fisika sekalipun. Namun, begitu passionate ketika sudah menulis.

Kata  beliau, ada laptop, beberapa kamera, dan sejumlah uang yang berhasil beliau menangkan selama menekuni dunia menulis. Jelas aku terkesima dan ingin suatu hari menyamai pencapaiannya, bahkan lebih. Beliau pula sebenarnya yang mendorongku untuk menulis novel. Ya, janjiku padanya di tahun 2015 entah 2016. Namun, sampai 2018 ini belum jua kutepati. Ya Allah.. maafkan aku pak.

0 comments:

Post a Comment