Tuesday, November 13, 2018

Review Film : Yowis Ben

Sumber : IMDb

Jarang ada film Indonesia yang mengangkat unsur kedaerahan secara menyeluruh. Apalagi dengan menggunakan bahasa daerah dari awal adegan film berlangsung sampai akhir film tersebut selesai. Namun, Bayu Skak yang awalnya dikenal sebagai seorang Youtuber asal Malang mematahkan itu semua.

Bayu bersama sang sutradara, Fajar Nugros menggarap film Yowis Ben dengan menghadirkan dialog yang didominasi oleh bahasa Jawa Timuran yang terkenal kasar, namun terkesan lucu di telinga. Namun jangan khawatir, untuk Anda yang kurang memahami bahasa Jawa, dalam film ini disediakan subtittle yang luwes agar Anda mampu memahami alur ceritanya.

Konflik yang disajikan dalam film ini hampir cenderung klise. Karena Bayu yang memerankan dirinya sendiri merasa butuh diakui oleh lingkungan sekitar, karena sering dilecehkan oleh teman-temannya dengan sebutan “Pecel Boy”. Ya, dalam film tersebut Bayu Skak digambarkan sebagai seorang anak baik yang berbakti pada ibunya. Setiap hari ia membantu sang ibu berjualan pecel di sekolahnya.

Lantas, sahabat karibnya, Doni (Joshua Suherman) merupakan seorang anak orang kaya yang selalu dibanding-bandingkan dengan adiknya. Membuatnya tidak nyaman dan juga haus akan pengakuan diri. Berangkat dari hal tersebut, Bayu dan Doni akhirnya memiliki ide untuk membuat band yang diharapkan akan meningkatkan eksistensi mereka di sekolah, juga akan diakui oleh orang-orang yang mereka inginkan. Pencarian personel pun dimulai. Terjaringlah Yayan (Tutus Thomson) sebagai penabuh drum, serta Nando (Brandon Salim) sebagai keyboardist.

Keempat orang tersebut mengawali karir mereka dari sebuah studio latihan yang berada di rumah Nando. Awalnya pun mereka sempat berdebat soal nama grup band, yang akhirnya setelah banyak mengucapkan kata “Yowis” maka terbentuklah nama band unik tersebut.

Seiring waktu berjalan, Yowis Ben mengunggah karya-karya mereka di Youtube dan ditonton oleh banyak orang. Termasuk Susan (Cut Meyriska) yang merupakan gadis pujaan Bayu. Konflik pun mencapai klimaksnya saat Bayu berada pada suatu titik dimana ia harus memilih antara Susan atau Yowis Ben. Pisuhan ataupun kata-kata yang dilontarkan ketika seseorang sedang marah dalam aksen Jawa Timuran pun merupakan salah satu hal unik yang selalu dimunculkan dalam film.

Yang menjadi poin tambahan dalam film ini ialah penggunaan bahasa daerahnya yang begitu kental, serta latar cerita yang mengambil tempat di Kampung Warna Jodipan di Malang pun menjadi daya tarik tersendiri. Meskipun secara konflik dan alur cerita, agaknya mengangkat sesuatu yang klise namun film yang tayang di bioskop tanggal 22 Februari 2018 ini patut mendapatkan apresiasi yang cukup memuaskan.

#ODOPBatch6
#NonFiksi

0 comments:

Post a Comment