Wednesday, November 7, 2018

Hijrah Bukanlah Puncak Keimanan


Seseorang yang begitu awam dalam agamanya kadang berpikir bahwa dengan memulai kehidupan baru yakni berhijrah, lantas ia menemukan dirinya yang baru. Yang sudah bertaubat dari dosa-dosa. Yang tidak akan lagi terjebak dalam kubangan hawa nafsu. Yang sudah pasti benar-benar bersih dari segala alpa. Ya, sebagian orang sering menganggap demikian atas dirinya. Namun, sebenarnya tidak sesederhana itu.

Esensi dari hijrah jika dihadapkan pada era sekarang ini nampaknya memang begitu mudah. Mengubah penampilan dengan mengenakan baju-baju syar’i yang kemudian menjadi wajib katanya. Sering membagikan atau posting tentang hal-hal yang berbau islami di sosial media. Membagikan pengalaman kelam sebelum berhijrah, lantas menemukan cahaya terang, dan lain sebagainya.

Memang hal demikian baik adanya. Sah-sah saja jika kemudian apa yang dibagi bisa menginspirasi orang banyak, dan menggerakkan hati orang lain untuk juga mengamalkan atau melakukan apa yang diri bagikan dan juga lakukan. Tapi, kita tak pernah tahu sejauh mana batasan antara tulus dan riya’. Hal pertama yang harus seseorang miliki ketika berani mengumbar apa yang dialaminya ialah terletak pada niat awalnya. Apa yang sebenarnya diinginkan, apa yang sebenarnya dituju, serta bagaimana cara untuk mewujudkannya. Adalah suatu hal yang perlu kembali ditelisik.

Takut riya’ dan justru bungkam tanpa suara sama sekali juga bukan suatu pilihan yag tepat. Sebab, membagikan nikmat pemberian Allah kepada orang lain juga merupakan suatu kesyukuran yang selayaknya harus dirayakan. Bersyukur dengan hati yang baik, bersih, dan benar, membagikan pengalaman spiritual kepada orang banyak, lantas menginspirasi. 

Bukankah akan sangat berkesan ketika banyak orang juga mengikuti langkah yang kita jalani?

Bukankah juga menyenangkan ketika mereka menceritakan pengalaman spiritual mereka saat kembali kepada Allah?

Namun, itu semua bukanlah tujuan kita sejak awal. semua itu hanyalah lika-liku dalam menuju tujuan yang sebenarnya, yakni Allah dan ridho-Nya. Memahami bahwa diri bukan siapa-siapa tanpa nikmat, rahmat, dan karunia-Nya. Menyadari bahwa diri hanyalah seorang hamba yang sejatinya hina dina, disembunyikan segala keburukannya oleh Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Selalu berpikir bahwa apa yang dibagikan merupakan sekadar sharing tanpa menggurui. Selalu perbaiki niat agar tidak terjerembab dalam riya’.

Lantas, menjadi bijak dalam menyikapi apapun yang terjadi. Menjadi dewasa atas apa-apa yang memang selayaknya hars dihadapi. Hingga kemudian menjadi pribadi emas bagi diri sendiri. Bukankah itu sangat membahagiakan di kemudian hari? Melihat catatan amal yang diberikan kepada kita melalui tangan kanan. Betapa, semua itu adalah mimpi terindah yang harus kita jadikan kenyataan suatu saat nanti.

Kenali diri sendiri, selamat membijak dengan baik!

#ODOP6
#NonFiksi

0 comments:

Post a Comment