Saturday, October 20, 2018

One Day One Post : TANTANGAN VI - Sandiwara


Setiap hari menjelang tengah malam, gadis itu selalu datang kemari. Menghidupkan lampu panggung, menyetel musik, lantas menari. Tidak ada senyum di wajah ovalnya. Sekalipun musik terkadang memutar tentang nada-nada kebahagiaan. Mimik wajahnya tetap tak berubah, datar dan menyedihkan. Tubuhnya memang piawai menghayati musik dan menginterpretasikan tarian dengan indahnya. Namun sekali lagi, wajahnya tidak. 

Pada kali lain ketika tidak tengah malam, ia datang lagi. Kali ini bersama beberapa orang lainnya. Cukup ramai personil mereka. Empat perempuan dan enam laki-laki. Dua minggu terakhir ini mereka menghabiskan waktu bersama untuk menjajal koreografer, gladi resik sebelum pertunjukan sebenarnya. Mencocokkan musik, tarian, dan mimik wajah. Gadis itu, seperti yang kutahu sejak awal, ia selalu memasang senyum palsu yang tak terdefinisikan. Namun bersama teman-temannya, ia berhasil menutupi kepura-puraan itu dengan senyuman lebar seakan tidak pernah terjadi apa-apa. Tapi aku, terlalu tidak bisa ia bohongi.

“Teman-teman, terima kasih atas kerja keras dan latihan kita selama ini. Besok, adalah acara puncak. Jadi, tolong berikan yang terbaik!” pinta salah seorang laki-laki di antara mereka. 

“Siap, coach!” semua menjawab serentak kecuali gadis tanpa ekspresi.

“Terima kasih sekali lagi. Latihan hari ini kita cukupkan sampai di sini saja. Silakan pulang agar kita bisa mempersembahkan yang terbaik besok. Selamat beristirahat,” tambahnya lagi.

Mereka saling bersalaman satu sama lain, tersenyum, lantas pergi meninggalkan ruangan ini. Seperti biasa, gadis itu tetap tinggal. Kali ini, ia tidak sendiri. Karena laki-laki yang dipanggil coach tadi juga masih di sana. Berdiri membelakanginya.

“Bagaimana bisa? Kenapa kamu tega sekali? Kepergianmu saat pertunjukan kami besok, demi menghadiri wisuda istrimu di luar negeri. Kenapa tidak bilang sejak awal?” gadis itu mulai membuka suara.

“Ini yang terbaik, aku tahu. Dengan begitu, mereka akan membenciku selamanya. Lantas, kepergianku pun tak lagi mereka cari. Dan keberadaanku, tak akan pernah lagi mereka rindukan, termasuk kamu,” suara itu kehilangan wibawanya. Seolah-olah, ia memiliki tuan lain, yang bukan laki-laki itu.

“Kenapa kau membiarkan persaan ini tumbuh? Kenapa tidak kau cegah ketika aku mulai melangkah terlalu jauh? Kenapa?” gadis itu mulai berteriak. Suaranya membias ke arahku, lantas memenuhi ruangan ini dengan isak tangis yang memilukan.

“Aku melihat tarianmu bernyawa. Awalnya, aku tidak ingin merusaknya dengan mengatakan yang sebenarnya,” laki-laki itu tidak menoleh ke arah si gadis. Namun aku tahu, ia sebisa mungkin menyembunyikan matanya yang berkaca-kaca.

“Sayangnya, aku selalu mencari tahu tentangmu. Dan ketika aku mengetahuinya, aku memilih untuk diam dan menunggu kepastian jawabanmu. Selamat, karena telah memilih yang terbaik,” gadis itu mulai bisa mengontrol emosinya dan seolah bersikap dewasa.

“Maafkan aku, yang telah datang ke hidupmu, sebagai seorang yang telah berdua. Maaf, aku harus pergi.”

Laki-laki itu pergi dengan air mata yang menggenang di pipi. Sementara gadis itu, terduduk di panggung sambil terisak. Aku, adalah kursi di barisan paling depan yang selalu memperhatikan senyum palsunya, wajah sendunya, dan kali ini, perpisahan dengan cintanya, yang telah menjadi milik orang lain.

#TantanganODOP6 #onedayonepost #odopbatch6 #fiksi

0 comments:

Post a Comment