Sunday, October 28, 2018

Si Kulit Putih III


"Siapa namanya?" Tanya ibu ketika selesai mengobati lukaku. Hanya butuh sedikit sentuhan antiseptik, obat merah, dan sedikit plaster pada luka-luka di kaki kiriku.

"Si kulit putih, bu." Jawabku. Tak terasa, menyuarakan apa yang ada dipikiranku.

"Nama yang bagus." Kata ibu menyeringai penuh arti.

"Eh emm.. itu bukan nama aslinya lah bu!" Protesku begitu sadar.

"Iya, ibu tahu. Ibu hanya memujimu yang kreatif saja menamai orang sesuka hati. Hahaha." Tawa ibu memenuhi seluruh kamarku.

Hari-hari setelah hari itu, aku baru tahu namanya. Eduard Friederich Hartman. Hmm. Lidahku kadang keseleo ketika mengucapkan namanya. Aku tidak bisa mengejanya dengan benar. Kata Ed, begitu sapaan akrabku, ia mendapatkan nama itu karena dulu, keluarga ibunya adalah kebangsaan Jerman. Tapi, ibunya lantas bermigrasi ke Indonesia karena suatu alasan yang bahkan Ed sendiri tidak tahu.

Aku mengerti sekarang. Jadi, mata kelabu dan rambut pirang kekuningan itu Ed dapatkan dari ibunya. Ya, setelah hari itu berlalu, Ed memang sering main ke rumahku. Kadang mengajariku bersepeda, atau bermain permainan lain yang membuat aku cepat akrab dengannya. Benar, kan kataku? Dia sangat ramah dan perhatian.

Hari-hari berlalu begitu cepatnya. Tanpa terasa, mengubah bulan, pun tahun. Aku sudah kelas lima semester dua. Sebentar lagi kelas enam. Kata ibu, aku harus banyak belajar dan membaca untuk bisa lulus dengan nilai yang maksimal. Ya, ibuku selalu menanamkan hal itu padaku. Nilai lebih penting, lulus dengan baik tidak kalah penting. Dan menjadi yang terbaik, terutama memperoleh peringkat pertama, adalah yang terbaik. Karena aku  terbiasa dengan paradigma itu sejak kecil, aku jadi terlalu phobia mendapatkan nilai dibawah tujuh. Dapat nilai tujuh pun, kadang hatiku merasa kecewa. Aku kurang maksimal dalam mengejar nilai. Dan sampai pada titik ini, tujuan utamaku adalah ingin membahagiakan ibuku ddngan menuruti semua perkataannya.

Berbeda dengan ayah, beliau tak pernah mempermasalahkan hal-hal seperti ini. Yang beliau bentuk dariku adalah kedisiplinan dan tepat waktu. Pun kadang juga mengajariu kemandirian, semisal mengerjakan pekerjaan rumah tangga, seperti mencuci piring  sendiri selepas makan, mencuci bajuku sendiri, menyapu kamar, dan pekerjaan-pekerjaanlain yang memang harus dikerjakananak perempuan pada umumnya. Meskipun begitu, ayah dan ibuku tetap satu tujuan. Yaitu mendidikku dengan baik. Ini yang membuatku selalu membangga-banggakan mereka dimanapun berada. Cara mereka mendidikku sebagai anak tunggal yang tidak manja, yang berdikari. Hanya rasa syukur kepada Tuhan yang selalu terucap di mulut serta hati ini.

Hari itu Sabtu, pagi hari sebelum pukul tujuh. Aku sedang bersiap hendak berangkat ke sekolah. Tidak ada ibu yang menyisir, lalu menguncir rambutku. Pun ayah yang bersedia mengantarku. Tidak. Aku melakukan semuanya sendirian. Termasuk berangkat sskolah. Aku mulai benar-benar mahir bersepeda roda dua sejakdua tahun lalu. Sejak aku duduk di bangku kelas tiga sekolah dasar. Ya, aku akui, Eduard telah berjasa besar bagiku.

Kring kring!

Bel sepeda Eduard. Aku nyaris hafal mati dengan bunyi itu.

#komunitasonedayonepost
# ODOP_6
This entry was posted in

0 comments:

Post a Comment