Sunday, October 7, 2018

One Day One Post : TANTANGAN IV - Gagal Radikal


“Wan menurutmu dia cantik nggak?”

Ahmad menyodorkan layar ponselnya yang menampilkan gambar seorang perempuan bercadar. Dalam foto itu, si perempuan menopang dagunya dengan satu tangan.

“Nggak tahu.”

“Lho, kok gitu sih jawabnya?”

“Ya iyalah, orang mukanya aja nggak kelihatan gitu! Mau dibilang cantik, kalau ternyata cowok gimana?”

“Yee, kamu mah Wan. Sukanya mikir yang aneh-aneh!”

“Alah kamu tuh, yang kebanyakan chatting sama cewek. Bukannya belajar. Emang kamu udah setoran, Mad?”

“…” yang ditanya tidak menjawab.

“Mad, Mad! Kamu udah setoran hafalan Kitab Alfiyyah belum?” tanya Wawan lagi. Kali ini dengan sedikit mengguncang badan Ahmad.

“Eh, apa? Kamu bilang apa tadi Wan?”

“Oalah, kamu nggak ndengerin saya, to? Malah sibuk sama hapenya aja. Ya Allah cah cah piye to iki,” Wawan geleng-geleng kepala melihat kelakuan temannya itu.

“Hehe. Maafin saya, Wan. Kan tau sendiri saya lagi balesin chat,” kilah Ahmad dengan cengiran khasnya.

“Hmm.. Akhir-akhir ini saya perhatikan kamu banyak nggak fokusnya, sih. Suka telat ikut jama’ah, tidur larut malam, jarang bangun tahajud lagi. Cuman sibuk mainan hape saja. Sebenarnya apa yang terjadi sama diri kamu, Mad?”

“Saya nggak kenapa-kenapa, kok. Toh, kayaknya apa yang saya lakukan selama ini juga normal-normal saja. Chattingan saya sama akhwat ini juga biasa-biasa aja, kok. Palingan juga seringnya bahas tentang dakwah atau sekadar basa-basi gitu.”

“Mungkin menurut kamu nggak kenapa-kenapa, Wan. Tapi tentu saja kamu juga paham tentang batasan-batasan pergaulan antara laki-laki dan perempuan dalam Islam.”

“Iya, Wawan. Saya udah khatam soal bab itu.”

“Bukan apa-apa, Mad. Saya cuman mau berpesan untuk hati-hati sama orang-orang yang sering manggil ikhwan-akhwat di media sosial. Mereka kadang nggak terlalu paham bahasa Arab, belajar agama cuman via internet, lalu parahnya menjadi anggota dari gerakan-gerakan hijrah yang mengatasnamakan dakwah untuk menyebarkan paham-paham agama yang keliru.”

“Kamu ini ngomong apa, sih Wan? Jangan suudzon sama orang dulu, deh kalau belum tahu wujudnya secara langsung. Saya nggak ngerti maksud kamu sama sekali.”

“Maafin saya, Mad. Tapi saya bilang begini agar kamu berhati-hati dan mengantisipasi segala hal buruk yang mungkin bisa terjadi. Hari ini kamu merasa baik-baik saja saat chattingan sama akhwat bercadar itu. Itu hak kamu jika memiliki perasaan demikian. Dan kata-kata saya tentang gerakan-gerakan itu juga belum tentu benar. Hanya saja, satu pesan saya untuk kamu pegang. Selalu berhati-hati!” Wawan menepuk pundak Ahmad.

“Hahaha. Jangan lebay gitu, deh, Wan. Saya nggak apa-apa kok. Jangan terlalu khawatir sama saya. Saya bisa jaga diri, InsyaAllah,” jelas Ahmad dengan senyum seadanya. Meskipun demikian, Wawan tetap tidak bisa menyembunyikan keraguan dan kecurigaannya terhadap sikap Ahmad.

“Ya. Semoga saja kamu bisa menjaga dirimu dengan baik, sahabat.”

“Aamiin. Terima kasih atas do’anya, teman baik.”

***

Ahmad mematut dirinya di depan cermin. Berkali-kali menyisir rambutnya dengan sesekali membubuhkan gastby agar membuat helaiannya menjadi lebih rapi. Lima menit, sepuluh menit, lima belas menit, hingga setengah jam, ia habiskan waktunya hanya untuk menatap pantulan wajah yang itu-itu saja. Ini Sabtu di minggu kedua bulan November. Saatnya Pondok Al-Husyein memberikan perpulangan untuk para santrinya.

Sudah dua bulan lamanya Ahmad tidak pulang, karena keterbatasan kiriman uang dari orang tuanya yang membuat ia harus berhemat. Namun, hari ini Ahmad sudah siap untuk melepas jeratan rindu dengan keluarganya. Ia merasa begitu bersemangat menghadapi hari ini. Sebelum sebuah telepon masuk dari kontak Whatsapp yang paling sering dihubunginya selama empat bulan terakhir, membuyarkan segalanya.

“Halo?”

“Ya. Kamu dimana?”

“Saya di pondok. Tapi sekarang sedang melakukan persiapan untuk pulang ke rumah. Ada apa menelepon?”

“Saya butuh bantuan… Adik saya diculik. Saya tidak tahu harus dengan cara apa menebusnya. Tolong.”

“Astaghfirullah, bagaimana bisa? Lantas, sekarang kamu dimana?”

“Saya di rumah teman. Saya bingung. Saya tidak tahu lagi harus bagaimana. Adik saya tidak memiliki siapapun lagi selain saya. Kamu tahu sendiri, kan, bahwa orang tua kami sudah meninggal sejak 2 tahun yang lalu?”

“Iya. Saya masih mengingat semua cerita-cerita kamu. Baiklah, kirimkan alamat tempatmu berada sekarang. Saya akan segera ke sana.”

Telepon ditutup. Rencana Ahmad untuk pulang gagal total. Ia lebih memilih menolong nyawa adik dari seorang perempuan yang baru dikenalnya lewat sosial media itu. Entah mengapa perasaan-perasaan aneh semacam ingin melindungi perempuan ini selalu muncul begitu saja.

Alamat dikirim. Ahmad tidak tahu dimana tempat itu berada. Namun, itu bukanlah sebuah masalah yang besar. Ia pikir, ia harus melakukan sesuatu sebelum semuanya terlambat. Ahmad segera bergegas, merapikan barang-barangnya lagi lalu mengambil kunci motor Wawan dengan cekatan.

“Pinjam motormu.”

“Lho katanya kamu mau pulang?”

“Tidak jadi. Ada hal penting yang harus saya urus dahulu.”

“Memangnya apa?”

“Akan saya ceritakan nanti, insyaAllah.”

“Perempuan bercadar itukah?”

”Saya pergi dulu. Assalamualaikum.”

“Eh, tapi… Waalaikumussalam. Hati-hati!”

Wawan menatap kepergian Ahmad. Ia semakin curiga terhadap sikap temannya yang berubah 180 derajat itu. Satu pertanyaannya tidak dijawab dengan baik. Menurut instingnya, Ahmad sedang jatuh cinta kepada seseorang yang bahkan belum pernah ditemuinya.

***

Ahmad menghentikan laju sepeda motornya pada sebuah rumah di tepi gang yang bersebrangan dengan pohon besar. Ia melihat lagi aplikasi Google Maps yang tadi menunjukkan jalan untuk sampai ke tempat itu. Benar, ia sudah sampai ke tujuan. Namun, rumah itu terlihat kosong, dan seolah memisahkan diri dari dunia luar.

Ponselnya berdering lagi. Melihat nama yang tertera, Ahmad segera mengusapkan jarinya ke atas untuk menerima telepon tersebut.

“Sudah sampai?”

“Emm.. Sepertinya sudah. Tapi saya tidak yakin saya berada di tempat yang benar.”

“Apakah kamu yang memakai kemeja hitam dengan celana jeans?”

“Ya, benar.”

“Baik, saya akan segera datang.”

Telepon ditutup. Terselip keraguan ketika Ahmad memasukkan ponselnya ke saku, lantas melepas helmnya. Seorang perempuan berpakaian serba hitam, bercadar, nampak keluar dari pintu rumah tersebut. Ia segera menghampiri Ahmad dan mengajaknya masuk ke dalam rumah.

Diam-diam Ahmad menyembunyikan keterkejutannya, menepis segala jenis prasangka yang sempat terlintas di hatinya. Ia mengikuti langkah perempuan itu sambil beristighfar dalam hati, meminta perlindungan kepada Allah berkali-kali.

***

“Apa yang harus saya bantu untuk membebaskan adikmu dari penculik itu?” tanya Ahmad begitu sampai di dalam. Si perempuan menutup pintu rumah tersebut secara perlahan. Ia meletakkan telunjuknya ke bibir.

“Sssssttt. Jangan keras-keras,” katanya.

“Baiklah, jadi apa yang harus saya lakukan sekarang?” Ahmad memelankan suaranya. Si perempuan mengulangi gerakannya. Mengendap-endap, menggiring Ahmad ke ruang tengah. Menoleh ke kiri dan ke kanan, seolah akan menyampaikan informasi mahapenting.

“Nikahi aku.”

“APA?”

“Ya. Kamu tidak salah dengar. Nikahi aku sekarang. Maka adikku akan terbebas dari penculikan.”

“Tapi, tapi apa hubungannya? Apa hubungannya dengan saya dan pernikahan?”

“Hahahahahaha.. Good job! Good job! Drama yang bagus untuk ukuran seorang pemula! Marvelous!” seorang laki-laki tiba-tiba muncul dari ruangan belakang. Jika hanya dilihat dari tampilan luarnya, laki-laki tersebut hampir menyerupai seorang syeikh dari Timur Tengah atau negara Arab. Lengkap dengan jenggot tebalnya yang tumbuh memanjang.

“Siapa kamu? Apa-apaan ini? Kamu menjebak saya, Fa?” Ahmad panik. Ia menuduh Wafa, nama perempuan bercadar itu.

“Aku tidak menjebakmu. Aku, maksudku kami, justru ingin menyelamatkanmu!” suara dari balik cadar itu terdengar pelan dengan sedikit parau.

“Ya, benar! Kamu sudah tidak perlu lagi khawatir terhadap para thogut di luar sana. Yang menipu negara kita dengan topeng demokrasi. Jika kamu bergabung dengan aliansi ini, maka kita akan membentuk kekuatan yang lebih kuat untuk menegakkan hukum Islam secara murni. Kita akan mengalahkan para kafir yang menguasai pemerintahan!” lelaki berjenggot tebal itu berorasi layaknya berdiri di sebuah podium dengan ribuan penonton. Suaranya keras dan lantang. Dalam kalimat-kalimat yang ia lontarkan, secara tidak langsung terdapat doktrinasi yang disampaikan dengan intonasi dan mimik wajah yang sepertinya sudah lama dilatih.

“Dan jika kamu menjadi suamiku, maka kau berhak atas diriku berikut tiga orang wanita lainnya. Kita akan hidup bahagia, sayang,” Wafa menimpali. Suaranya masih parau. Namun sorot matanya menunjukkan seolah ia tersenyum bahagia.

“Tidak! Kalian semua bohong! Indonesia, negara kita adalah negara kesatuan yang merdeka karena perjuangan para pahlawan. Bhineka tunggal ika, semboyan negara kita bermakna berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Selama 73 tahun lamanya kita hidup dalam perdamaian karena toleransi yang sudah mengakar kuat di dalam hati. Kalian semua seharusnya tahu akan hal itu!” Ahmad tak kalah bersungut-sungutnya menghadapi dua orang itu. Sebagai seorang santri yang belajar agama Islam di Indonesia, tentu saja para kyainya telah mengajarkan banyak hal. Tak hanya soal ilmu agama saja, melainkan juga cinta kepada tanah air dan negaranya.

“Persetan dengan toleransi! Tidak ada toleransi di negeri ini. Mayoritas kita, umat Islam justru seolah berada di lautan mayoritas lainnya. Tubuh-tubuh kita tercerai berai, tidak menjadi satu. Karena apa? Karena siapa? Karena para thogut yang haus kekuasaan itu!”

“Anda keliru, pak. Tidak semua informasi yang Anda lihat dan dapatkan dari media-media, dari luaran sana itu merupakan sesuatu yang baik. jangan pernah menelan mentah-mentah sebuah informasi. Karena semua orang yang menyebarkannya bisa menjadi apapun yang mereka mau, tanpa pertimbangan benar atau salah. Panggung dunia maya yang tercipta begitu saja, dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang tidak ingin melihat negeri kita aman dan damai!”

“Ah! Banyak omong kamu! Lebih baik kamu bergabung juga dengan yang lainnya!” laki-laki berjenggot itu menarik tangan Ahmad dengan paksa. Sementara Wafa juga ikut membantunya. Sekuat mungkin Ahmad mencoba melepaskan diri, ia tetap tidak bisa pergi dari rumah itu. Pintunya terkunci. Hanya satu harapan yang masih tersisa baginya. Menghubungi Wawan dengan ponselnya. Namun bagaimana caranya?

***

Di sebuah ruangan berukuran 3x3 meter, Ahmad bersama empat orang lainnya diikat dan dijadikan sandera. Ada tiga laki-laki dan satu perempuan bercadar di antara mereka. Tangan dan kaki mereka diikat, sedangkan mulut mereka dilakban.

“Wafa! Kenapa kamu lakukan ini pada saya? Bukankah kamu bilang bahwa adikmu diculik, dan hanya kamu satu-satunya orang yang ia miliki? Kenapa kamu justru menjebak saya dengan drama semacam ini?”

“Aku tidak sedang memainkan drama, sayang. Lihat di sebelah kirimu. Dia adikku. Dan dia memang diculik sebelum ini.”

“Apa? Kamu gila! Aku tidak mengerti cara berpikirmu!”

“Maka setelah ini mengertilah.”

“Hahaha. Selamat tinggal para pecundang!” ucap lelaki berjenggot dengan seringai tipis, lantas melangkah keluar hendak menutup pintu.

“Kakak! Kakak jahat! Kenapa kakak tidak mengingat pesan dari almarhum ayah kita?” perempuan bercadar yang diikat berteriak dengan suara parau.

“Mereka sudah meninggal. Tidak ada yang bisa diharapkan dari mereka. Aku amat kasihan padamu. Andai kata hatimu terbuka dengan seruan Syeikh Ghufron, nasibmu pasti tidak akan semalang ini, adikku,” mendengar jawaban Wafa, lelaki berjenggot yang disebut Syeikh Ghufron itu kembali menyeringai sembari menutup pintu dengan keras dan menguncinya.

Perempuan bercadar yang merupakan adik Wafa tadi tersedu sembari menundukan kepala. Hanya dia sendiri yang mulutnya tidak dilakban. Sebagai seorang kakak, ternyata Wafa masih memiliki kepedulian terhadap adik semata wayangnya itu. Tiga kali sehari Wafa menyuapi adiknya, walau seringnya mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan.

Ahmad menatap adik Wafa dengan iba. Ia ikut tertunduk karena tidak bisa melakukan apa-apa lagi. Tangan dan kakinya diikat, mulutnya pun dilakban.

“Kakakku sebenarnya adalah orang yang baik. Kita dibesarkan dalam asuhan ayah dan ibu yang sangat menghargai perbedaan. Mereka mengajari kami apapun, termasuk dalam hal agama. Setelah ini, jangan pernah salahkan pakaian yang kami pakai. Karena pribadi seseorang tidak bisa dinilai hanya sekadar dari tampilan luarnya. Oh ya, namaku Alsa,” ucapnya memperkenalkan diri sembari menjelaskan sedikit tentang latar belakang keluarganya. Ahmad hanya bisa mengangguk-anggukkan kepala. Karena tak ada lagi bagian tubuh lainnya yang bisa ia gerakkan secara bebas.

“Namun semenjak orang tua kami meninggal, Kak Wafa sempat ingin melepas cadarnya dan hampir tenggelam ke dunia bebas. Lantas, sebuah peristiwa membuatnya menyesal sedemikian hebat, hingga kemudian ia bertemu dengan orang itu,” Alsa menghembuskan nafasnya berat. Ia berhenti sejenak tatkala menyebut ‘orang itu’.

“Entah apa yang ia lakukan, sehingga membuat kakakku menjadi seperti sekarang. Kakak sangat patuh terhadap semua perintahnya, meskipun sesekali kulihat kakak menangis saat menyuapiku. Namun, wajahnya seolah tak menampilkan ekspresi apapun. Ia telah benar-benar menjadi seorang robot hidup. Kurasa, otak kakak telah dicuci sedemikian rupa.” lanjut Alsa. Tidak ada yang bisa Ahmad lakukan selain terkadang mengangguk, menggeleng, atau berkedip cepat.

***

“Cepat katakan dimana teman saya berada!” Wawan mengguncang-guncang badan Ghufron. Ia bersama para santri lainnya berhasil mengepung rumah itu. Sementara Pak Kyai bersama polisi, menunggu di luar rumah.

“Apa maksudmu? Jangan ganggu ketentraman hidup saya!”

“Cih! Justru Anda yang meresahkan umat ini dengan dakwah Anda yang keliru! Anda cuci otak orang-orang awam yang belum paham betul terhadap agama! Bertaubatlah sebelum terlambat!”

“Justru kalian yang harusnya bertaubat, karena telah melakukan penyerbuan ini!”

“Bang, ada suara perempuan meminta tolong di ruangan belakang!” pekik Tio, salah seorang santri. Wawan memberikan kode pada yang lain untuk mengikuti Tio. Sementara Ghufron dipitingnya dengan jurus andalan yang paling ia kuasai dalam pencak silat.

“Kamu harus bertemu Pak Kyai secepatnya. Ikut saya!” Wawan menggiring tubuh itu secara paksa. Dibantu oleh dua rekannya yang lain, Ghufron dibawa keluar rumah untuk menemui Pak Kyai. Sementara itu, Wafa telah lebih dahulu ditangkap. Ia dimasukkan ke mobil polisi untuk kemudian dibawa ke kantor polisi agar diperiksa lebih lanjut.

“Dasar kalian para pembela thogut! Bisanya Cuma menangkap dan mengadili orang-orang tak bersalah! Sedangkan yang dilindungi justru antek-antek kafir yang merusak negeri ini! Lihat saja pembalasan Allah di pengadilan tanpa akhir nanti!” pekik Ghufron ketika melihat banyaknya polisi yang berjaga di depan rumahnya. Sementara Pak Kyai membaca beberapa wirid untuk tetap tenang. Beliau sudah mengetahui betul perangai orang-orang seperti Ghufron. Terlalu bersemangat belajar ilmu agama, namun ternyata malah tersesat di jalan yang salah.

“Jangan bawa mereka ke kantor polisi. Tapi bawalah ke pondok untuk mendapatkan rehabilitasi dariku dan para santri lainnya. Mereka bukanlah seorang penjahat. Melainkan, hanya keliru saja dalam hal cara berpikir dan memahami sesuatu,” Pak Kyai berbicara kepada Wawan dan beberapa polisi yang berada di sekitar mobil tempat Wafa sudah ada di dalamnya.

“Tapi Pak Kyai, bagaimana jika dia nantinya…”

“Jangan suudzon terhadap saudara kita. Apakah aku pernah mengajarimu untuk berlaku kasar terhadap orang lain? Maafkanlah kesalahannya. Karena setiap manusia pasti memiliki kesalahan. Jadi, kupikir kita harus memberi mereka kesempatan untuk menyadari kesalahan, dan kembali ke jalan yang benar,” Pak Kyai memotong kata-kata Wawan yang menyayangkan keputusan beliau untuk membawa Ghufron dan Wafa ke pondok.

“Baik, Pak Kyai. Sendika dhawuh,” ucap Wawan pada akhirnya.

Biar bagaimanapun, pemahaman Ghufron sebelumnya tentang mendirikan sistem pemerintahan baru di Indonesia, merupakan pemikiran yang bisa dikategorikan sebagai gerakan separatis. Karena, mereka tidak bisa menerima hukum tata negara dan pemerintahan Indonesia sebagaimana yang telah diwariskan para pahlawan, sebelum negeri ini merdeka.

Pak Kyai tau akan hal itu. Seperti kata beliau, bahwa orang-orang seperti Ghufron dan Wafa bukanlah seorang penjahat. Melainkan, mereka hanya butuh diluruskan dan diberi pemahaman yang benar tentang arti sebuah bangsa dan cinta tanah air, sebagai seorang pemeluk agama yang baik. Maka dari itu, menempatkan Ghufron dan Wafa di lingkungan pondok dengan atmosfer yang mendukung, bisa jadi akan memperluas pemikiran mereka tak hanya tentang agama, namun juga bangsa dan negara.

***

“Bagaimana kamu bisa tahu?” tanya Ahmad setelah mereka sampai di pondok. Kelima sandera berhasil dibebaskan dan mendapat pertolongan intensif, termasuk dirinya dan Alsa.

“Jangan bodoh. Saya sudah curiga kepadamu sejak awal. Saya memutuskan untuk mengikutimu dari belakang setelah kamu bilang meminjam motor, tanpa menjawab satu pertanyaan saya," Wawan menjelaskan. Mereka berjalan beriringan melewati lapangan pondok yang luas.

“Lalu bagaimana dengan Pak Kyai?”

“Sejak kamu memperlihatkan foto perempuan bercadar itu kepada saya, saya langsung mencari tahu tentang lambang pada cincin yang ia kenakan. Lantas, saya memberitahu Pak Kyai akan hal ini tanpa sepengetahuanmu. Saat itu, beliau langsung tahu dan hafal tabiat apa saja yang menjadi ciri khas gerakan ini. Namun, sebelumnya saya juga tidak menyangka bahwa Pak Kyai justru akan membawa mereka kemari.”

“Maafkan saya, Wan. Ternyata saya kurang berhati-hati.”

“Tidak apa-apa, sahabat. Saya sudah sangat bersyukur bahwa kamu tetap mempertahankan kecintaanmu terhadap tanah air kita, dan reputasi kita sebagai seorang santri. Sebenarnya, ini juga termasuk sebagai tanggung jawab kita kepada Allah kelak,” Wawan merangkul bahu Ahmad, disusul balasan yang lebih erat.

“Terima kasih, sahabat baik!"

SELESAI

#TantanganODOP4
#onedayonepost
#odopbatch6
#fiksi

0 comments:

Post a Comment