Monday, September 3, 2018

An AlOn(e)line Love Story


Apakah dicintai itu menyenangkan?

Mungkin menyenangkan jika terbalas. Namun bagaimana jika tidak? Apakah sama menyenangkannya, ketika membuat seseorang yang mencintai itu terpatahkan hatinya? 

Aku sungguh heran pada diriku sendiri saat itu. Ketika masih duduk di bangku kelas satu, berseragam putih abu-abu. Aku lupa. Apakah saat itu aku kehausan kasih sayang atau bagaimana. Sehingga membuat rasa maluku hilang, hampir binasa begitu saja.

Aku kehilangan diriku sendiri. Dan membutuhkan terlalu banyak waktu untuk akhirnya benar-benar peka dan sadar, terhadap kejadian yang saat itu kualami.

***

Tahun pertamaku di sekolah menengah kejuruan berbasis swasta. Bukan sekolah impianku, namun menjadi kenangan paling bahagia, tak terlupakan, dan pernah sangat menyiksa atma.

Hari-hari pertama masa orientasi siswa, sama sekali tidak ada minat apalagi niat dari dalam dada. Aku hanya berangkat dengan ragaku. Tapi kutinggalkan jiwa, hati, dan otakku di rumah. Berkemul mesra dalam ruang kamar tercinta. Namun demi menaati amanat dari bapak dan ibuku, bagaimanapun aku harus rela. Menerima semuanya dengan lapang dada. Karena aku masih numpang hidup sebagai anak mereka. Jadi ya, daripada aku diusir dari rumah dan tidak dianggap sebagai anak, apa boleh buat? Aku tak bisa mengelak.

Seiring waktu berjalan, aku mulai mengenal beberapa teman di kelasku. Jika kuingat lagi, sungguh nista sekali hati ini. Pernah walau sekali, meremehkan mereka di dalam hati. Memandang para pejuang seangkatan itu dengan hanya sebelah mata. Sungguh, maafkan aku teman-teman. Aku masih anak-anak waktu itu, pemikiranku masih terjerembab dalam keangkuhan luar biasa. Mentang-mentang salah satu jebolan smp favorit waktu itu. Membuatku terlalu membangga-banggakan almamater.

Tapi, lambat laun setelah mengenal dan berbaur dengan teman-teman sekelas, aku mulai terbiasa dengan mereka. Mulai bisa membawa diri, dan menghadirkan diriku yang baru di tengah-tengah mereka. Aku yang berusaha menepis pikiran-pikiran kesombongan tadi, mencoba menggantinya dengan sikap penerimaan dan keterbukaan.

Hingga akhirnya aku mengenal seorang Gandhi. Bukan laki-laki paling tampan di kelas. Bukan juga sosok pria idaman wanita. Gandhi hanya laki-laki biasa yang pada saat itu terlihat istimewa. Di mataku. Hanya di mataku.

Namun saat itu aku terus saja berdalih, bahwa aku tidak menyukai seseorang berdasarkan rupa. Melainkan cara berpikir, kemampuan, serta kepribadiannya. Kurasa hanya itu yang pada akhirnya kujadikan alasan kuat untuk tetap tinggal. Merawat perasaan ini dari hari ke hari.

Entahlah. Pernak-pernik macam apa yang telah dibubuhkan setan pada mataku ini. Sehingga tiap melihat Gandhi, aku merasa jantungku tak lagi utuh ditempatnya. Seakan paru-paruku berhenti menghirup udara. Seakan seluruh sendiku kaku, mati rasa.

Ah, sehebat itukah Gandhi untuk akhirnya dengan berani kuperjuangkan sendiri? Meski aku tahu aku seorang wanita. Dan masih terbilang muda belia.

***

September 2013. Bulan keduaku duduk di kelas Multimedia 1 dengan bahagia. Resmi, kuikrarkan pada hati bahwa aku menyukainya. Seorang Gandhi dan semua hal tentang dirinya yang begitu biasa.

Jangan tanya bagaimana bisa perasaan ini muncul dan tumbuh begitu liarnya. Karena aku sendiri pun tidak mengetahui bagaimana pastinya. Ia tetiba menyelinap ke dalam dada. Menyuguhkan seonggok harapan yang nampak bahagia. Meski kenyataan pada akhirnya, hanya semu sementara.
Bagaimana tidak?
Ketika aku sadar telah jatuh cinta kepada Gandhi, akhirnya kuciptakan bahagiaku sendiri. Diam-diam memperhatikannya dari sudut ruang kelas, yang jauh dari tempat duduknya. Lalu senyum-senyum sendiri, setelah kupastikan tak ada seorangpun yang mengetahui tabiatku saat itu. Mencari-cari informasi tentang akun sosial medianya kepada teman-teman dekatnya. Menemukan namanya di Facebook. Lalu kembali diam-diam stalking status-status masa lalunya saat itu. Dan dengan brutal, menyukai semua kiriman yang dia bagikan.
Sebenarnya kalau dilihat dari sudut pandang orang normal, yang tidak sedang jatuh cinta sepertiku tentu saja. Mungkin kelakuanku teramat bodoh waktu itu. Jelas-jelas aku gagal menyembunyikan rasa sukaku ini pada Gandhi. Aku tidak berhasil menjadi pengagum rahasianya. Karena identitasku telah terkuak sejak awal.
Namun jika kembali ke masa itu, yang ada di pikiranku hanyalah mendapatkan perhatian dari seseorang yang kusukai. Dan hanya dengan seperti itulah caranya. Aku tidak bisa menemukan cara lain. Dunia nyata bukanlah keahlianku. Karena sebenarnya, aku terlalu pemalu untuk memulai sesuatu.
***
Sejak kejadian aku menambahkan Gandhi sebagai teman Facebookku, setiap hari aku tidak pernah luput dari ponsel. Membuka Facebook, lalu men-stalk akun Gandhi. Barangkali aku terlewat tidak memberikan jempol pada status terbarunya. Barangkali statusnya sedikit menyinggung tentang aku.
Dan sejak saat itu pula, kupikir pertemanan kami berlangsung dekat di dunia maya. Aku sering menghubunginya melalui inbox. Tapi jangan tanyakan apa yang terjadi di dunia nyata. Justru sebaliknya. Kami bahkan seperti orang asing yang tak saling kenal satu sama lain. Sama-sama tidak pernah bertegur sapa. Bahkan melihat, atau tersenyum pun tidak. Kecuali aku, yang terus menerus memperhatikannya dari jauh.
Sungguh. Aku tidak selihai perempuan-perempuan cantik jaman sekarang. Yang dengan bebas mengekspresikan perasaan kepada orang yang disukainya tanpa rasa takut. Santai-santai saja ketika dilihat oleh semua orang. Aku berbeda. Aku pendiam. Aku penakut. Meskipun aku tahu, bahwa kelemahanku ini adalah jua kelebihanku.
Aku selalu takut ketika hendak berbuat maksiat. Atau sesuatu yang menurutku tidak sesuai dalam koridor Islam dan keagamaan. Sebetulnya, menurutku ini adalah keuntungan bagiku. Cepat menyadari sesuatu, dan mudah mengambil hikmah dibalik setiap kejadian. Namun satu yang kurang. Aku tahu, tapi tak kulakukan.
Sulit saat itu untuk membuatku berhenti memperjuangkan perasaanku kepada Gandhi. Meski sebenarnya, aku tahu apa yang saat itu kulakukan adalah kesalahan yang bisa jadi fatal. Namun kepalang tanggung. Aku terlanjur jatuh, dan sukar untuk berhenti. Malah, semakin berulah lantas menjadi-jadi.

Setiap hari, sepulang sekolah menuju sore hari. Rutinitas rutinku adalah bermesraan dengan hp, membuka Facebook, lalu senyum-senyum sendiri ketika berada di kronologi milik Gandhi. Ku pikir saat itu, status-statusnya ia tujukan untukku. Karena setiap hari aku selalu menghubunginya secara intens melalui inbox. Ya, tak pernah satu malam pun kulewati tanpa berchatting ria dengan Gandhi.
Pertanyaan-pertanyaan konyol seperti, “Kamu udah ngerjain PR?”, “Jadwal pelajaran besok apa aja, sih? Jadwalku hilang eh..”, “Oh iya, kamu punya sosial media lain gak? Blog gitu?” dan kalimat-kalimat tanya lainnya yang sengaja kubuat untuk dapat lebih tahu banyak tentang kehidupan Gandhi yang sebenarnya.
Saat itu, kupikir kenyataan terlalu tidak adil bagiku. Aku berharap kalau Gandhi akan melihat perjuanganku. Tapi ternyata tidak sama sekali. Hanya jawaban-jawaban pendek yang ia ketikkan untuk membalas pertanyaan-pertanyaan bodohku saat itu. Mungkin ia jijik atau bahkan tidak mengharapkan aku ada.
Ya. Aku sebenarnya tahu, bahwa Gandhi sedang mencoba berbagai cara untuk mengenyahkanku dari hidupnya. Namun diri yang terlalu bebal saat itu, tidak jua peka dan menyerah.

Dan sekeras apapun aku mencoba menjadi seperti seseorang yang Gandhi inginkan, sekeras itu pula aku selalu gagal. Bahkan, aku sudah kehilangan diriku sendiri waktu itu. Aku tidak lagi mengenali siapa aku sebenarnya, ketika aku jatuh cinta. Karena aku bisa saja menyerahkan seluruh diriku kepada seseorang yang kuinginkan itu. Apapun yang ia minta, akan kuberikan. Persis seperti pujangga-pujangga cinta di luar sana. Sungguh. Aku menjadi bukan diriku. Segila itu. Dan belum jua membuatku sadar.
Namun demikian, aku seperti menikmati peranku saat mencintainya dalam kebodohan. Meski sebenarnya, hatiku kacau karena perasaan yang kupunya tak kunjung terbalaskan. Aku berkali-kali jatuh cinta sendirian, pada orang yang sama. Ratusan kali berharap, meski akhirnya kenyataan tak pernah berpihak. Berpura-pura menciptakan bahagia, meski aku tahu akan hanya lara yang kurasa. Dan bahkan aku begitu egois kepada diriku sendiri. Terlalu memaksakan perasaanku yang terbalut berlapis-lapis nafsu.
Hingga suatu ketika, sebuah kejadian membuatku benar-benar harus berhenti.
***

Agustus 2014. Hampir setahun perasaan ini bersarang di dalam dada. Namun kurasa, frekuensi deg-degan ketika memperhatikan Gandhi itu sudah mulai berkurang. Mungkin rasa sebalku kepada dia yang selalu cuek dan tidak menanggapi kehadiranku, mulai mendominasi hati ini. Lebih tepatnya, aku mulai lelah jatuh cinta sendirian.
Hingga aku mengetahui sebuah status dari akun Facebook Gandhi yang nampaknya ditujukan untukku.
“Please, jangan ganggu akun ini lagi. Aku mohon jangan pernah.”
Itu seingatku. Karena sudah lama sekali sejak peristiwa itu terjadi, aku memutuskan untuk tidak ingin lagi mengusik kehidupan Gandhi dan apapun yang berhubungan dengannya. Ku rasa, status itu bukan benar-benar ditulis oleh Gandhi sendiri. Melainkan orang lain yang juga login ke akun Facebooknya.
Karena pernah juga waktu aku mengirimkan pesan melalui inboxnya, balasan yang diberikan seperti bukan Gandhi sendiri yang mengetik. “Maaf mbak, Gandi-nya lagi pergi.” Kurang lebih begitu redaksinya. Yang saat itu ku pikir adalah ibunya, yang tidak sengaja sedang membuka-buka ponsel Gandhi yang sedang online Facebook. Tapi aneh saja, kenapa Gandhi meninggalkan ponselnya sembarangan? Bukankah dia addict sekali dengan benda satu itu? Dan aku belum kunjung menyadari sesuatu yang janggal dari kejadian waktu itu.
Baru setelah status permohonan untuk jangan mengganggu akun Facebook Gandhi itu dibuat, kepekaanku datang terlambat.

Jadi begini kronologis kejadian sebenarnya. Awalnya aku sedang online di akun Facebookku seperti biasa. Namun, pada saat itu aku menggunakan laptop untuk login. Bukan dengan ponsel. Tak terasa malam sudah terlampau larut. Setelah aku berputar-putar membuka Facebook dan Google, untuk mencari beberapa informasi dan sedikit hiburan untuk menghibur hati yang lelah.
Tiba-tiba notifikasi akun Facebookku berkedip-kedip. Penasaran, aku membukanya dengan segera. Ternyata hanya dari seorang teman tak dikenal yang mengirim sesuatu di kronologiku. Aku tak ingat persis, tapi dia mengirimkan sebuah link aplikasi Facebook, semacam permainan atau kuis.
Iseng, aku meng-klik link itu dan tautan pun bergulir ke halaman selanjutnya. Maka terbukalah halaman baru dari link yang tadi aku klik. Terteralah semacam kuis yang mengharuskanku masuk dengan akun Facebook. Karena rasa penasaranku terlampau tinggi, maka ku ikuti saja apa mau aplikasi itu. Hingga akhirnya, suara ibu menyuruhku tidur karena sudah terlalu larut.

Keesokan harinya, aku berangkat sekolah seperti biasa. Mengikuti kelas seperti biasa. Namun, tidak ada Gandhi hari itu. Ia tidak masuk sekeolah tanpa alasan. Apakah dia sakit? Atau justru membolos? Nampaknya aku sudah sedikit tak terlalu peduli dengan hal itu. Hari itu seperti hari-hari biasa yang berjalan begitu biasa. Sampai ketika salah satu teman dekat Gandhi datang menghampiriku dengan tampang mengejek.
“Ciee ciee yang fall in love sama Gandhi! Udahlah lo ngomong langsung aja ke dia! Nggak usah pake aplikasi-aplikasi segala! Hahaha,” tawanya kian mengeras setelah melihat ekspresiku yang berubah cengo.
“Siapa yang suka sama Gandhi coba? Aplikasi apa sih maksudmu?” aku mencoba berkilah.
“Halah nggak usah sok nggak tahu gitu deh! Tuh di Facebookmu banyak banget buktinya! Hahaha,” ia masih tertawa dengan suara keras sambil melenggang pergi meninggalkanku.
Seketika itu pula, aku terkejut bukan kepalang setelah mendengar apa yang barusan ia ucapkan. Nampaknya, keisenganku tadi malam justru berbuah malapetaka bagi diriku sendiri.
Cepat-cepat ku ambil ponsel di saku rok, ku hidupkan data internet yang sejak tadi pagi belum sempat ku sentuh sama sekali. Lalu segera meluncur ke aplikasi Facebook. Dan benar saja, di kronologiku banyak sekali boot yang muncul secara otomatis akibat aplikasi yang semalam ku buka.
Aplikasi yang bisa melihat siapa saja orang yang suka membuka profil kita. Kurang lebih seperti ini aplikasi yang ku mainkan saat itu. Tidak seperti aplikasi biasanya yang tidak memunculkan hasilnya dalam bentuk status Facebook. Namun aplikasi ini berbeda. Dan aku tidak tahu.
Ada sekitar lima status yang sama, yang menuliskan daftar lima orang yang sering melihat profil Facebookku. Dan akun Facebook Gandhi lah yang selalu tertera di barisan pertama. Aku tak tahu aplikasi ini jujur atau tidak. Namun karena kejadian ini, nampaknya seseorang lain yang juga login di Facebook Gandhi telah memblokir pertemanan dengan Facebookku. Terbukti, ketika ku lihat daftar permintaan pertemanan baru yang menampilkan akun Facebook Gandhi di kolom teratas.
Mungkin kejadian ini adalah hal yang sepele. Namun cukup membuatku terpukul. Betapa aku harus benar-benar sadar siapa aku menurut Gandhi. Betapa aku benar-benar harus mundur. Karena memang sejak awal aku tahu apa yang telah ku lakukan adalah sebuah kesalahan.

Dulu, ku pikir aku benar-benar menyukai Gandhi dan segala yang ada padanya. Namun seiring berjalannya waktu, ku rasa aku hanya terjebak dalam kekaguman yang terlalu lama. Kepedean yang justru membuatku jatuh cinta sendirian dan patah hati sendirian. Aku hanya kesepian dan membutuhkan sesuatu saat itu. Namun, langkah yang ku ambil salah. Aku tidak lantas berjalan menuju Allah. Namun malah sibuk mencari perhatian manusia.
Mungkin, melalui kejadian itu, Allah ingin mengingatkanku bahwa masih ada Dia bersamaku. Bahwa masih ada kasih sayang-Nya yang tidak akan membuatku merasa kesepian lagi. Namun aku yang bodoh ini, terlalu lama untuk menyadari. Sudah begitu terlambat untuk mengerti.
Aku bertanya pada hatiku sendiri. Adakah Allah mau mengampuniku? Apakah Allah akan menerimaku lagi sebagai hamba-Nya? Setelah sekian banyak dosa yang ku buat dari kekonyolanku sendiri? Pertanyaan ini seakan aku lupa pada Firman Allah yang berbunyi :
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, dan orang-orang yang berhijrah, dan berjihad di jalan Allah, mereka itulah yang mengharapkan rahmat Allah. Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (Q.S Al Baqarah : 218)

Jadi, kemana saja aku selama ini? Aku bahkan sempat ragu terhadap perkataan Allah. Apakah mungkin ini terjadi karena telah terlalu banyaknya dosa yang telah ku lakukan selama ini? Entahlah.
Sampai tibanya diriku pada hari ini. Hari ke sekian ratus setelah aku berusaha melupakan Gandhi dan melanjutkan hidupku, alhamdulillah telah pernah ku rasakan ketenangan luar biasa yang menyelimuti hatiku. Dan aku tahu, itu datangnya dari Allah SWT semata.
Hikmah dari jatuh cinta dan patah hati sendirianku adalah ini. Berhasil kembali ke jalan Allah dan merajut kebahagiaan hakiki.
Bismillahirrahmaanirrahim. Ku katakan pada diri, untuk mengejar Allah dulu, Allah lagi, Allah terus. Ya, ini aku yang sekarang. Yang sedang berusaha membaik dalam taat.

END

0 comments:

Post a Comment