Sunday, September 23, 2018

One Day One Post : TANTANGAN II Part 2 - Broken Home (Poor Family)



“Apa yang bisa diharapkan dari seorang pengangguran sepertiku? Tidak ada! Kalaupun kamu tidak sanggup menghadapi kemelaratan keluarga kita, sebaiknya cari saja laki-laki lain yang mau memberikan segala apa yang kamu minta!”
“Kamu terlalu sensitif, mas! Bukan itu yang kumaksudkan. Aku memintamu bekerja, karena tanggung jawab seorang kepala keluarga adalah menafkahi lahir dan batin. Jika kegiatanmu hanya duduk diam sambil merokok di teras seperti ini, maka secara tidak langsung kamu sudah mendzalimi hakku dan Nurma sebagai seorang yang harus kamu nafkahi!”
“Kenapa tidak kamu saja yang bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari? Toh, diamku juga untuk menunggu pesanan lukisan.”
“Lantas, sampai kapan harus menunggu? Kita sudah tidak memiliki persediaan beras lagi untuk makan besok. Apakah saya harus memasak batu?”
“Jaga bicaramu! Setidaknya, hormatilah aku sebagai suami yang harus kau taati!”
“Sudahlah mas, aku muak dengan segala alasanmu! Lebih baik aku pergi saja!”
“Ya, pergi saja! Carilah kehidupan yang lebih baik di luar sana!”
Nurma menyaksikan kejadian itu dibalik pintu kamarnya yang setengah terbuka. Sejak tadi, belajarnya terganggu karena teriakan-teriakan kemarahan orang tuanya itu. Ia tidak terlalu mengerti tentang hal apa yang sedang kedua orang tuanya perdebatkan. Usianya masih terlalu kecil untuk tahu. Yang jelas, ia memegang teguh perkataan ibunya untuk mencerdaskan dirinya sendiri terlebih dahulu. Agar kelak jika ia besar, bisa menikah dengan laki-laki yang juga terpelajar dan mampu memahami seorang perempuan dengan baik.
Namun, sekuat apapun seorang perempuan menahan perasaannya, ia pasti akan pundung juga. Akan rapuh juga. Sudah berhari-hari sebenarnya, ibu Nurma berusaha membagi jatah menanak nasi untuk dimakan dalam satu hari, oleh tiga orang. Sementara itu, tabungan pribadinya juga sudah menipis untuk bertahan hidup sehari-hari. Sedangkan uang pemberian suaminya belum juga ia terima lagi semenjak satu bulan yang lalu.
Nurma amat tahu perjuangan ibunya untuk bisa menghidupi keluarga mereka sendirian. Dari mulai kerja serabutan, menjadi buruh cuci, dan lain sebagainya. awalnya, Nurma pikir ibu melakukannya dengan senang hati, dan tidak memendam kekesalan pada ayahnya. Ternyata ia salah sangka. Setiap kekesalan yang dipendam itu, mungkin sudah menjadi bom waktu yang meledak saat semua rasa sakit sudah tidak sanggup ibunya rasakan sendiri.
Ayah Nurma adalah seorang pelukis yang hanya mengerjakan pekerjaannya jika ada yang memesan lukisan. Itupun amat jarang sekali. Mengingat orang-orang di zaman millenial ini cenderung tergantung pada benda-benda elektronik. Lukisan pun mulai terkikis dengan adanya display layar yang bahkan bisa menampilkan lebih dari satu gambar.

“Baik, saya pergi. Lebih dari itu, kamu pasti mengizinkan. Saya juga akan membawa Nurma untuk ikut serta. Jika perlu, jangan cari saya lagi.”
“Pergilah! Pergi kalian! Aku tidak butuh peremuan pemalas sepertimu!”
“Apa katamu? Sekarang siapa yang pemalas? Pantaskah seorang suami yang masih sehat fisik dan jiwanya, membiarkan begitu saja istrinya bekerja serabutan, siang dan malam. Sementara masih banyak pekerjaan rumah yang juga harus kuselesaikan, sementara kau hanya tinggal ongkang kaki di teras rumah?”
“CUKUP!” suara cempreng itu memecah ketegangan pertengkaran yang berlangsung.
“Ayah sama ibu, bisa tidak untuk tidak bertengkar terus? Sehariii saja. Agar Nurma bisa konsentrasi belajar dan menyerap ilmu dengan baik. Nurma capek, jika harus mendengarkan kalian berdebat,” gadis kecil itu memberanikan diri untuk keluar dari kamarnya. Isak tangisnya sudah tak tertahankan lagi. Ia menangis sejadinya.
Ayah dan ibunya sontak menoleh ke arah suara itu. Pandangan mereka sama-sama iba menatap anak semata wayang mereka menangis tersedu-sedu. Sementara, Nurma terduduk begitu saja setelah mengatakan unek-uneknya itu. Hingga tanpa diduga, sebuah suara membuat sayatan dalam hatinya kian menganga.
“Urus saja anakmu yang cengeng itu! Kalian sama saja tidak bisa diandalkan!” sang ayah lalu berlalu pergi begitu saja, setelah membuang puntung rokoknya sembarangan ke lantai tanah rumah mereka.

#TantanganODOP2
#onedayonepost
#odopbatch6
#fiksi

0 comments:

Post a Comment