Monday, September 3, 2018

Bapakku (Bukan) Tukang Ojeg



 
Pemeran pengganti
Kata bapak, “Hidup itu seperti musafir yang sedang dalam perjalanan menuju suatu tempat. Dunia, adalah tempat numpang minumnya. Sebentar saja hidup di dunia ini. Lalu setelahnya, musafir kembali meneruskan perjalanannya lagi”.
***
Tiba-tiba, aku menjadi sosok yang cengeng ketika berbicara segala sesuatu tentang bapak. Tentang ayahku.
Sejak kecil, aku memang sudah dekat dengan bapak daripada ibu. Sehingga bagiku, aku lebih takut dimarahi ibu daripada dimarahi bapak. Mungkin berbanding terbalik dengan keluarga-keluarga lain. Yang mana, bapak lebih ditakuti daripada ibu oleh anak-anaknya.
Sejak kecil pula, kedekatanku dengan bapak mulai terjalin mesra. Selain anak pertama, aku pun merupakan anak perempuan satu-satunya di keluarga kami. Sehingga, bapak menjadi sangat penyayang kepadaku. Ketika masuk taman kanak-kanak, bapak selalu mengangantar jemputku dengan sepeda balap kesayangannya. Mengantar mengaji juga setiap sorenya. Dimana posisi dudukku di belakang kemudi bapak, dan yang didepan adalah adik sulungku.
***
Menginjak smp, aku masih selalu diantar jemput bapak setiap berangkat sekolah. Dengan dalih, transportasi umum terlalu rumit untuk sampai ke sekolahku waktu itu. Meskipun, sekolahku merupakan salah satu sekolah favorit di kotaku. Tapi, medan yang harus ditempuh untuk sampai ke sana, memanglah cukup sulit. Sehingga, bapak mengorbankan diri, harta dan waktunya untuk putri kecil kesayangannya ini. Sering, jika aku ada les tambahan, bapak sudah standby di tempatnya biasa menjemputku. Kadang, beliau mengobrol dengan bapak lain, yang juga turut menjemput anaknya. Dan malah, berteman akrab dengan bapak temanku itu.
Tapi, sepeda balap bapak pada saat itu sudah berevolusi menjadi sebuah motor Bravo. Motor bukan matic dengan bunyi knalpot terkentut-kentut, yang menghasilkan asap putih tebal, ketika sudah melintas di jalanan.
Bravo adalah motor bekas yang dibeli bapak dari hasil penjualan sepeda balap yang sebelumnya juga ia gunakan untuk mengantar aku, ibu, maupun adikku kemana-mana. Lalu saat kelahiran adikku yang kedua, bapak memutuskan menjual sepeda balap kesayangannya, dan berganti menjadi motor Bravo itu, sampai sekarang.
Aku tidak tahu, sejak kapan bapak mengikhlaskan dirinya menjadi tukang ojeg di keluarga kami. Bedanya, beliau tak pernah menarik uang bensin kepada kami, untuk minum sehari-hari, bagi motor tuanya itu.
***
Menjejaki masa smk. Bukan lagi sekolah favorit yang aku masuki. Melainkan sekolah swasta. Yang sebenarnya saja, aku tidak mau memasukinya. Tapi, adalah kuasa Allah yang menggerakkan hati bapakku untuk menyekolahkanku di tempat itu.
Ya, takdir menibakanku pada sebuah sekolah yang sejatinya tidak ingin aku masuki. Sedangkan bapak, malah mendaftarkanku di sekolah swasta itu dengan tanpa berbicara terlebih dahulu kepadaku. Sebagai lulusan dari salah satu sekolah favorit di kotaku, gengsiku jelas lebih tinggi dari apa pun saat itu. Haruslah sebuah sekolah favorit juga yang akan aku masuki nantinya. Tapi, Allah berkehendak lain.
Aku mendapat legitimasi berupa surat undangan dari sekolah swasta itu. Dengan iming-iming beasiswa gratis tidak membayar uang SPP. Setelah kutunjukkan surat itu pada ibu bapakku, orang yang paling antusias adalah bapak. Seakan, beliau baru saja menemukan bongkahan emas yang berharga.
Sekolah swsata itu sebenarnya tidak sejelek yang aku bayangkan. Malah sebaliknya, gedungnya megah, bangunannya besar, dan banyak fasilitas yang tidak kutemui di sekolahku dulu. Tapi, aku masih malas-malasan menjalani hari-hari pertama di smk pilihan bapak itu. Masih ada perbandingan-perbandingan tidak berarti yang dibenarkan oleh hatiku. Meskipun begitu, bapakku tidak pernah sekalipun memadamkan semangatnya. Ia kembali mengorbankan dirinya menjadi juru antarku berangkat sekolah. Meski saat pulang, aku mulai bisa pulang sendiri.
Sebenarnya, aku mulai ingin berangkat sekolah dan pulang sendiri. Tapi, selalu bapak katakan kepadaku, uang sakuku untuk ditabung saja, atau kalau tidak untuk sedekah saja. Mungkin, hal ini juga merupakan salah satu cara bapak untuk tetap ingin lebih dekat denganku, anaknya.
Sekolah di smk lambat laun mulai kunikmati. Meski pada awalnya tidak kusukai. Jadi benar firman Allah pada surat Al-Baqarah di ayat ke-216. Yang berarti, “… boleh jadi kamu menyenangi sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”
Dan hari ini, ketika aku sudah menjadi alumni dari smk swasta itu, alhamdulillah. Segala puji bagi Allah, pada hari dimana aku di wisuda, bapakku akhirnya menyaksikan aku lulus sebagai siswa terbaik pertama di jurusanku.
Terkadang sulit memang, mengikhlaskan diri utnuk bisa menerima ketetapan Allah. Tapi, aku harus. Demi ridha Allah, yang merupakan ridha orang tua, yang berarti adalah ridha bapak dan ibuku jua.
Lekat kenanganku bersama bapak. Beliau adalah sosok laki-laki penyabar, penyayang, kuat, tidak mudah marah, pandai memasak, dan memiliki rasa humor yang tinggi.
Tercatat hampir selama hidupku, bapaklah yang merelakan dirinya untuk mengantarku pergi kemana-mana. Mungkin hal itulah, yang membuatku sampai sekarang masih susah untuk mengendarai sepeda motor. Aku terlalu bermanja diri dan mengandalkan bapak dalam hal pergi ke suatu tempat. Aku bak tuan putri yang memiliki pengawal pribadi yang siap siaga 24 jam bahkan lebih. Hidupku seindah itu, ketika bapak bersamaku.
***
Tapi hari ini, jarak ratusan kilometer telah memisahkan kami. Kornea mataku tak lagi menemukan kehadirannya di sisiku. Telingaku tak lagi mendengar suara serta petuahnya yang menyejukkan kalbu. Tubuhku kedinginan tanpa pelukannya yang syahdu. Jiwaku kesepian tanpa kehadirannya di sisiku.
Ah, bagaimana kabarmu sekarang, pak?
Masihkah si Bravo setia menemanimu kemana-mana?
Masihkah mesin bordir ‘Juki’ itu menjadi mata pencaharianmu sampai saat ini?
Seberapa banyak cucian kotor yang harus kau cuci untuk hari ini?
Lalu, bagaimana dengan merpati-merpati itu? Sudahkah kau memastikan makanan mereka cukup?
Setiap hari, bapak juga masih menjemput ibu di pasar, kan? Ibu selalu pulang dengan selamat, kan?
Novar bagaimana? Adik bungsuku yang nakal, tapi penakut itu. Apakah bapak selalu menjemputnya juga?
Sudah berapa banyak uban yang tetap bapak biarkan tumbuh?
Seberapa lebat kumis bapak yang mulai memutih sekarang?
Di sini aku merindukanmu, pak. Setiap hari. Aku masihlah seorang anak yang sedang beranjak dewasa yang mencoba mandiri, dari hari ke hari. Tanpa bimbingan dan kehadiranmu serta ibu di sisiku.
Pak, sesungguhnya sampai hari ini aku masih menerka-nerka pelajaran apa yang ingin kalian ajarkan kepadaku. Menjauhkanku dari pengawasanmu serta ibu, bukanlah suatu keputusan yang main-main, kan?
Ada berapa banyak pertimbangan yang dahulu kau timbang berulang-ulang sebelum akhirnya mengizinkanku berlepas diri dari pandangan, pengawasan serta penjagaanmu?
Aku yakin, saat memilih melepaskanku pergi, buatmu itu adalah keputusan yang sudah kau pikirkan matang-matang dan berulang-ulang.

Jujur. Terkadang dalam hari-hari berjuang ini, entah kenapa, justru sering kukatakan pada diri, untuk menyerah saja. Untuk berhenti saja. Mengakhiri perjuangan ini begitu saja. Melepaskan berbagai macam pengorbananmu dengan sia-sia. Dalam pikiranku, muncul sebuah iba kepada diri. Yang tidak henti memenuhi hati. “Tidak apa-apa, yang penting aku bahagia,” dan ini adalah bisikan setan. Bahagia dari mana?
Aku tahu, bekerja di Malaysia ini memang bukanlah mimpiku. Dan mungkin juga bukan mimpimu dan ibu. Tapi, ini adalah suatu ketetapan yang telah digariskan Allah untukku, untuk kita. Dan dengan entah bagaimana caranya, Allah gerakkan hati kita untuk sama-sama ikhlas, merelakan ketentuan yang telah digariskan-Nya.
Meski sering, aku berada pada titik terlemah dalam hidupku. Pada saat aku merasa hampa, berjalan tanpa arah, tanpa seseorang yang mampu menopangku, seseorang yang mau menyediakan bahu dan telinganya untukku bersandar. Saat itu, aku lupa pada kebesaran Allah. Aku lupa untuk bersyukur atas setiap nafas, penglihatan, pendengaran, nyawa, akal, pikiran, dan hati yang Allah berikan secara percuma kepadaku. Aku kufur nikmat seketika itu pula.
Sulit bagiku untuk mengatakan kebohogan pada ibu dan bapak. Aku tidak bisa menyembunyikan ketidak betahanku bekerja selama di Malaysia ini. Ingin rasanya aku meronta, dan berlari dari kenyataan. Menyalahkan keadaan yang begini adanya. Sempat ingin kukibarkan bendera putih, tanda menyerah. Tapi, kenangan tentang bapak dan bagaimana Bravonya berjuang, menembus kabut di pagi buta, melawan hujan saat malam mulai tiba, kembali terputar bak film lama di kepala. Pun ibu, dengan segala macam usaha dikerahkannya untuk berhasil membuatku mendapatkan pundi-pundi ringgit di negara ini. Banyak yang harus mereka korbankan demi kebahagiaanku dan kebahagiaan mereka sendiri. Sayangnya, jarang aku menyadari bahwa semua itu benar adanya.
Tapi, kembali pada kenangan-kenangan masa lalu, tentang perjuangan bapak dan semuanya, aku menjadi merasa berdosa kepada bapak ibu, bahkan diriku sendiri. Jika pada perjuangan ini akhirnya aku benar-benar berhenti, maka akan ada 3 hati yang kusakiti. Hati bapakku, ibuku, dan hatiku sendiri.
Aku seperti menyia-nyiakan perjuangan bapak dan ibuku. Dan dengan santainya menyia-nyiakan mimpi yang selama ini kuidam-idamkan dari lama. Ah, benar kiranya jika tidak berhenti bapak pun ibu selalu menyemangatiku via suara, maupun tulisan. Untuk aku menjalani hidup ini dengan penuh kesabaran dan kesyukuran. Karena tidaklah berarti apa-apa yag kujalani selama ini, jika pada akhirnya aku berhenti begitu saja.
Terima kasih bapak. Karena semangatmu, aku berhasil menjejaki negeri antah berantah yang jauh dari rumah kita. Melihat semesta ciptaan Allah yang lebih luas. Yang lebih membuatku tercengang dengan kebesaran-Nya.
Dan untukmu ibu, doamu selalu kunanti dalam setiap sesuatu yang pernah, akan, dan sedang kukerjakan.
Allahku, terima kasih telah Kau anugerahkan kedua orang tua yang begitu menyayangiku. Puji syukur kuhaturkan kehadirat-Mu karena kedua malaikat tanpa sayap-Mu itu, aku bisa melihat salah satu bagian bumi-Mu yang Maha Luas ini.

0 comments:

Post a Comment