Saturday, September 8, 2018

Menyusophia : Chapter 4



Usaha ayahku mengalami kebangkrutan setelah kita lulus dari perkuliahan. Pabrik garmennya seketika gulung tikar. Ratusan pekerja di PHK seluruhnya. Pabriknya ditutup, dan menjadi aset milik bank. Saat itu aku teramat marah kepada orang yang tega melakukan hal tersebut pada ayahku.
Namun, seperti singa yang kehilangan aumannya, ayah hanya bisa terdiam dengan tatapan kosong, melihat hasil dari perjuangannya selama ini dirampas paksa begitu saja. Ibu jatuh pingsan ketika peristiwa itu berlangsung. Sementara aku dan kedua adikku menangis tersedu-sedu, mengerubungi jasad ibu yang tak sadarkan diri.
“Ayah! Kenapa ayah tidak melawan mereka, yah? Kenapa ayah tidak menyuruh pengawal-pengawal kita untuk mengusir mereka? Kenapa, yah? Kenapa?” aku berhambur ke arah ayahku. Meraung-raung sembari menarik-narik bajunya. Mengutuk para keparat yang telah mengambil kebahagiaan dari keluarga kami.
“Kita sudah tak punya apa-apa lagi, nak. Mulailah beradaptasi dengan kehidupan yang sebenarnya.” Ayah mengatakannya dengan ekspresi wajah datar sama sekali. Tak ada rona kesedihan pada tiap rautnya, apalagi rona kebahagiaan. Semuanya lenyap dalam waktu sehari.
***
Hari-hari kami tidak lagi sama seperti sebelumnya. Keluarga kami mendadak miskin dan serba kekurangan. Boro-boro menghubungimu untuk sekadar mengabarkan sesuatu. Untuk makan saja saat itu kami tak mampu. Selama satu bulan ini, kami terpaksa tinggal menumpang di rumah pembantu keluarga kami dulu. Mak Inem namanya. Usianya memang tak lagi muda. Sudah dua puluh tahun lamanya beliau tinggal bersama kami.
Kamu pasti tahu, kan siapa beliau? Orang ketiga yang menjadi prioritasku setelah ayah dan ibu. Sosok yang sudah kuanggap seperti nenek sendiri, yang telah merawatku semenjak usiaku belum genap lima tahun. Ngomong-ngomong, beliau hanya tinggal bersama cucunya di sebuah rumah sederhana di tepi kota kita. Amat jauh dari hiruk pikuk kota.
Mak Inem menawarkan tempat tinggal sementara untuk keluarga kami, sembari menenangkan pikiran ayah agar bisa berpikir jernih tentang solusi yang akan diambil. Namun, ada yang berbeda pada rona wajah ayah selama satu minggu terakhir ini. Ia menjadi lebih sering bepergian ke suatu tempat. Berangkat fajar, pulang petang. Namun ada yang berbeda dari kepulangannya kemarin. Dicarinya diriku yang sedang membantu Mak Inem dan Ibu di dapur. Tiba-tiba, tubuh tegap besar itu memelukku dengan erat. Ada haru dalam tangisannya. Ia membisikkan kata-kata yang membuatku entah harus merasa bahagia atau bersedih.
“Terima kasih telah ada di hidup ayah, nak. Dan maafkan ayah jika harus mengorbankanmu. Tapi, apa yang ayah lakukan semata-mata demi kebaikan kita bersama, nak. Semoga kamu bersedia.”
“Apa maksud ayah bilang begitu? Laila tidak mengerti, yah.”
“Mulai besok ayah akan mulai bekerja di tempat kenalan ayah dulu.”
“Wah, bagus dong, kalau begitu!”
“Iya, nak. Namun, pekerjaan itu tidak ayah dapatkan secara gratis.”
“Lantas?”
“Kenalan ayah memintamu untuk menikah dengan anaknya.”
“Apa? Menikah? Telingaku salah mendengar, kan, yah?”
“Tidak, nak. Lusa keluarga mereka akan datang kemari. Dua minggu kita akan menyusun rencana pesta pernikahan. Dan setelahnya, kau akan tinggal bersama keluarga mereka.”
“Bagaimana dengan ayah, ibu, adik-adik, dan Mak Inem?”
“Tak usah kau pikirkan kami. Sebuah kata setuju darimu saja, itu sudah lebih dari cukup untuk membuat keluarga kita kembali bangkit.”
Aku melepas pelukan ayah. Ku langkahkan kaki menuju ibu dan Mak Inem yang sejak tadi mendengarkan dengan khidmat. Pandangan mataku tertuju ke lantai, namun pikiranku melayang entah kemana. Johnathan. Bagaimana kabarmu di perantauan? Masihkah kau mengingat kisah, berikut mimpi yang belum sempat kita rajut bersama? Masih pantaskah aku mengharapkan kedatanganmu untuk menjemputku sebagai seorang permaisuri yang akan kau persunting di kemudian hari?
***
“Hari ini seperti yang kamu ketahui, saya akhirnya memilih jalan untuk meninggalkan kamu waktu itu. Maaf baru menjelaskan dan menceritakan semuanya sekarang. Saya tahu selama ini kamu mencari saya. Apalagi setelah penghargaan yang walikota berikan itu. Namun, karena saya tahu kamu akan mencari saya, maka dari itu saya memutuskan pergi meninggalkan kota ini untuk beberapa saat.” Laila mengakhiri ceritanya. Mereka sekarang duduk di salah satu bangku yang terdapat di sepanjang koridor kantor polisi.
“Saya tidak menyangka, bahwa kisah kita ternyata akan berakhir sedramatis ini. kamu benar, saya memang sempat hampir putus asa ketika mencarimu dulu. Namun, kemudian saya melupakan segala tentangmu demi kembali fokus pada mimpi almarhumah ibu yang belum sempat saya wujudkan kala itu. Yakni menjadi seorang polisi. Menjadi penegak hukum di negeri ini. Haha, tampaknya kita pernah berada di posisi yang sama,” John tertawa getir, mengikuti pandangan Laila. Di depan mereka berdiri tiang bendera merah putih, dengan hamparan paving luas yang menjadi lapangan upacara setiap hari Senin.
“Tapi kupikir ceritamu belum berakhir. Kamu belum menceritakan tentang alasanmu tidak mengenakan cincin pernikahan saat ini,” tambah John masih dengan tatapan lurus ke depan. Laila terhenyak mendengar pernyataan itu. Ia melihat sekilas jemarinya yang tak menggunakan satu pun perhiasan. Lantas mengepalkan tangannya
“Jangan bilang…”
“Ini adalah alasan mengapa komandan Arjun meminta saya secara pribadi untuk menemanimu untuk bertugas ke kota sebelah.”
“Maksudmu?”

#komunitasonedayonepost
#ODOP_6

0 comments:

Post a Comment