Sunday, September 9, 2018

Menyusophia : Chapter 6





“Sebagai seorang sarjana Kimia, tentu tidak sulit untukmu melakukan penelitian. Namun, di atas bayang-bayang ayah mertuamu, bagaimana kamu bisa melakukannya?” John menatap wajah Laila yang kemudian tertunduk sambil tersenyum kecil.
“Saya yakin kamu akan menanyakan hal itu cepat atau lambat. Saya sengaja menyimpan klimaks cerita di akhir pertemuan kita. Tapi tenang saja, karena kamu sudah terlanjur tahu, maka saya akan menceritakan semuanya. Ya, semuanya tanpa terkecuali.”
“Baiklah, saya akan kembali bersabar.”
***
 Suamiku, meskipun ia nampak tidak peduli padaku, bahkan hidupnya sendiri, rupanya ia mengetahui banyak hal. Aku dapat mengetahui informasi-informasi penting yang kuceritakan padamu ini adalah dari racauan mulutnya dalam kondisi mabuk. Kata orang, jika seseorang sedang dalam pengaruh alkohol, maka apapun yang ia katakan adalah kebenaran. Aku tidak sepenuhnya percaya pada kalimat itu. Namun untuk beberapa kasus yang suamiku bicarakan, nampaknya memang masuk akal.
Pada suatu malam pukul satu dinihari, seseorang mengetuk pintu rumah kami dengan keras. Ya, aku yakin itu suamiku. Dengan mata setengah terbuka, aku tergopoh-gopoh membukakan pintu. Dipanggilnya namaku keras-keras, dan kata-kata lain yang tak ku mengerti maksudnya.
“Laila! Laila! Dari mana saja kamu baru membukakan pintu? Dasar istri tak tau diuntung!”
“Saya ketiduran, mas. Saya pikir mas tidak akan pulang, atau pulang pagi nanti.”
“Dasar bodoh! Cepat antar aku ke kamar!”
“Iya, mas. Kamu dari mana saja hari ini? Nampaknya banyak sekali tempat yang kamu kunjungi.”
“Hahaha. Aku habis menemui Profesor Riyanto dan beberapa simpanannya tadi. Ah, malam yang indah.”
“Oh, iya kah? Ada apa menemui mereka?”
“Kamu nggak perlu tahu, perempuan bodoh! Profesor adalah partner papa dalam segala hal. Termasuk salah satu pencetus gagasan untuk membuka kedok walikota yang sok alim itu.”
“Walikota?”
“Ya, si gendut yang merampas kebahagiaan papa dan aku. Yang membunuh ibuku dan menyembunyikan kebusukannya dengan topeng kebaikan. Persetanlah dengan semua itu! Aku sudah tidak peduli!”
Kepalaku pusing mendengar racauan Aldi. Terlalu banyak teka-teki yang harus kupecahkan dalam setiap kata yang ia ucapkan. Siapa Profesor Riyanto sebenarnya? Bagaimana bisa Pak Walikota dicap sebagai pembunuh? Entahlah.
***
“Baguslah, jika pil-pil itu bekerja dengan baik. sekarang, giliran kita menciptakan teknologi yang lebih canggih dari sekadar itu semua.”
“Benar, prof. Saya akan terus berusaha mengembangkan temuan ini hingga mencapai apa yang profesor inginkan.”
“Tentu saja, kita akan mengganti seluruh manusia sok pintar, sok tahu, dan sok alim yang ada di kota ini. Dengan begitu, aku akan menguasai kota dengan orang-orang yang sudah terprogram pada perintahku.”
Aku mendengar sedikit pembicaraan ayah mertuaku di gazebo dekat kolam renang bersama seorang pria berkepala botak. Dua cangkir teh yang kubawa di nampan ini, menjadi alasanku untuk menghampiri mereka berdua.
“Ah, ya! Kenalkan, ini menantuku. Dia juga sarjana Kimia.” ayah memperkenalkanku pada pria berkepala botak.
“Laila.” aku mengulurkan tangan setelah meletakkan dua cangkir teh ke meja kecil di gazebo tersebut.
“Riyanto. Teman baik Felix. Ternyata anakmu punya selera yang hebat juga, ya,”
“Haha,” ayah hanya bisa tertawa lantas melirikku yang masih mematung. Memberi kode untuk menarik diri.
“Terima kasih, prof. Saya pamit dulu. Selamat menikmati tehnya, ayah, prof.”
“Sama-sama nona manis.”
Tanpa menunggu apa-apa lagi aku segera meninggalkan dua lelaki itu. Cukup risi sebenarnya mendapat perlakuan seperti itu. Aldi benar. Walaupun seorang profesor, Riyanto memiliki tabiat yang tidak mencerminkan tingkat pendidikannya dengan baik.
Satu lagi teka-teki yang harus aku pecahkan sesegera mungkin. Karena terburu-buru saat ingin menaiki tangga menuju kamar, aku terjatuh. Lututku seolah menyentuh sebuah tombol rahasia yang terdapat di lantai tangga. Hingga sebuah jalan rahasia menuju sebuah ruangan terbuka dengan sendirinya.

#komunitasonedayonepost
#ODOP_6

0 comments:

Post a Comment