Thursday, September 6, 2018

Menyusophia : Chapter 3

Mungkin sudah lima atau enam tahun berlalu sejak hari terakhir mereka saling memandang satu sama lain. Ssaatnya mereka mengambil jalan hidup masing-masing. Sementara jarak, ruang, dan waktu telah menghadang mereka di ambang pintu perpisahan. Mau tak mau, suka tak suka, benih-benih rindu itu harus mereka tanam juga.
Namun, selama lima atau enam tahun iu pulalah tidak ada lagi jalinan komunikasi ataupun hubungan baik yan berkelanjutan di antara mereka. Karena mereka hilang satu sama lain. Tepatnya, ada salah satu di antara mereka yang paling ingin menghilang.
Laila, nama perempuan itu. Satu tahun terakhir, namanya tercatat sebagai ilmuwan termuda yang berhasil meraih peghargaan dari Walikota berkat penemuannya untuk obat-obatan salah satu penyakit langka. Penduduk kota langsung mengenal namanya sebagai seorang yang amat bersaja. Dan saat itu juga, John merasa bahagia atas pencapaian seorang yang entah masih bisa ia sebut sebagai kekasihnya lagi atau tidak. Pasalnya mulai dari hari mereka berpisah, tak sepatah katapun pernah Laila katakan lagi.
Namun sekarang gadis itu ada di hadapan John. Kata komandan Arjun, mereka akan ditugaskan berdua untuk sebuah misi penyelamatan kota. Tentu saja, masih ada harapan di hati John tentang mimpi-mimpi masa lalu yang belum sempat ia wujudkan bersama Laila. Lantas, ia tidak tahu harus menanggapi tugas kali ini dengan perasaan yang bagaimana. Apakah harus senang, atau justru sedih.
***
“Sudah lama saya menunggu hari ini tiba. Ternyata, saya benar-benar bisa bertemu denganmu lagi,” John memulai pembicaraan ketika mereka telah keluar dari ruangan komandan Arjun.
“Ya, sebuah kebetulan yang terencana,” Lalia menanggapi dengan senyuman yang membuat kedua pipinya menampilkan lesung pipit yang indah.
“Kamu tetap cantik seperti dulu. Apakah kamu masih mengingat apa-apa tentang kita?” tanya John tanpa basa-basi.
Laila terhenyak mendengar kata-kata John barusan. Bukan lagi ingat, bahkan ia sangat menghafal tiap saat yang sempat mereka habiskan berdua dulu sebelum kemudian berpisah. Diskusi untuk memecahkan suatu masalah bersama, adalah salah satu makanan sehari-hari mereka di perkuliahan tempat mereka menimba ilmu dulu. Kadang, debat-debat kecil juga terjadi di antara mereka.
“Saya tentu saja masih ingat semuanya, Jenderal,” senyum itu hilang. Berganti nada putus asa bercampur tundukan kepala yang mencurigakan.
“Tapi kondisinya sekarang sudah berbeda.”
“Mengapa? Bagaimana bisa?” tanya John dengan ekspresi panik.
“Saya sudah menikah,” Laila menunjukkan jari manis sebelah kanannya.
“Tidak, bagaimana mungkin? Bukankah dulu kamu bilang akan bahwa kita sama-sama saling mencintai? Kenapa? Kenapa hari ini kamu melupakan janji itu?”
“John, saya tidak pernah melupakan mimpi-mimpi kita. Tapi, ada sesuatu yang telah terjadi dalam hidup saya, yang tidak bisa saya jelaskan kepadamu.”
“Tidak, sekarang saya sudah terlanjur tahu. Bagaimanapun juga, meskipun kamu tahu saat ini saya marah dan sakit hati, kamu tetap harus bercerita. Seberapa panjang pun latar belakang maupun pendahuluan yang akan kamu sampaikan, tetap saya dengar dan nantikan.” Seperti biasa, John yang memiliki sikap tegas untuk dirinya sendiri menunjukkan kewibawaannya pada siapa pun jua tanpa terkecuali.
“Baiklah, jika kamu memaksa. Jangan pernah menyesal sudah meminta.”

#komunitasonedayonepost
#ODOP_6

0 comments:

Post a Comment